SISTEMATIKA PENYUSUNAN KRITIK DAN ESAI SASTRA
OLEH
MUH. HASYIM
Sebuah kritik sastra mempunyai beberapa ciri, antara lain:
1. Memberikan tanggapan terhadap objek kajian (hasil karya sastra)2. Memberikan pertimbangan baik dan buruk sebuah karya sastra
3. Bersifat objektif
4. Memberikan solusi atau kritik-konstruktif
5. Tidak menduga-duga
6. Memaparkan penilaian pribadi tanpa memuat ide-ide.
Sedangkan secara umum, esai memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
- Merupakan prosa. Artinya dalam bentuk komunikasi tertulis berisi gagasan.
- Singkat. Maksudnya dapat dibaca dengan santai dalam waktu yang relatif singkat.
- Memiliki ciri khas. Seorang penulis esai yang baik memiliki karakter tulisan yang khas yang membedakannya dengan tulisan orang lain.
- Selalu tidak utuh. Artinya penulis memilih segi-segi yang penting dan menarik dari objek dan subjek yang hendak ditulis.
- Bersifat subjektif.
Dalam penilaian diri pada pertemuan minggu lalu masih ada peserta didik yang mencentang tidak pada soal nomor 3 dan 5. Baiklah, sebelum kita melakukan literasi tentang sistematika, terlebih dahulu diingatkan lagi tentang π (bentuk kritik dan esai sastra.(3) dan (mengenali kritik mimetik, kritik pragmatis, kritik ekspresif, dan kritik objektif.(5)).
- Kritik mimetik adalah bentuk kritik yang memandang kaya sastra sebagai tiruan aspek alam atau paham yang menganggap sastra merupakan gambaran kehidupan dunia.
- Kritik pragmatis adalah bentuk kritik yang memandang karya sastra sebagai sesuatu yang dibangun dari efek pendengar dan pembaca yang meliputi kesengan, estetis, pendidikan, dan lainnya.
- Kritik ekspresif adalah bentuk kritik yang memandang karya sastra sebagai ekspresi, curahan perasaan, atau imajinasi dari diri pengarang.
- Kritik objektif adalah bentuk kritik yang menggunakan pendekatan atau pandangan bahwa karya sastra memiliki struktur yang utuh. Misalnya pertimbangan baik buruk terhadap kemampuan seseorang dalam menampilkan suatu karya di teater.
Baiklah. Selanjutnya kita bersama melihat RPP berikut iniπ
Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) Bahasa Indonesia
Pertemuan ke1212
Nama Sekolah :SMA Negeri 1 Atambua
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas/ Semester : XII/Genap
Tahun Pelajaran : 2020/ 2021
Alokasi Waktu :2 JP x 10 minggu (20 x Pertemuan)
A. Kompetensi Dasar |
Membandingkan kritik sastra
dan esai dari aspek pengetahuan dan pandangan penulis |
||||
Mengonstruksi sebuah kritik
atau esai dengan memerhatikan sistematika dan kebahasaan baik secara lisan
maupun tulis |
|||||
B. Tujuan Pembelajaran |
Siswa dapat Mengidentifikasi
hasil kritik dan esai sastra |
||||
C.
Materi Pembelajaran |
sistematika penyusunan kritik dan esai
sastra |
||||
D. MetodePembelajaran |
demonstrasi |
||||
Kegiatan Pembelajaran
1. Pendahuluan (15 12Menit) □
Guru
mengucapkan salam saat masuk kelas dan menanyakan keadaan peserta didik □
Guru dan Peserta didik berdoa bersama dan menyanyikan lagu wajib
Nasional □
Guru mengecek kehadiran siswadan memberi motivasi (yel-yel) □
Guru menyampaikan tujuan dan manfaat
pembelajaran tentang topik yang akan dibahas □
Guru menyampaikan garis besar cakupan materi dan langkah
pembelajaran serta memberikan apersepsi entang materi yang
akan dipelajari 2. Kegiatan Inti (60 Membandingkan kritik sastra dan esai
dari aspek pengetahuan dan pandangan penulisMenit) □
Literasi : Peserta
didik diberi motivasi dan panduan untuk melihat, mengamati, membaca dan
menuliskannya kembali. Mereka diberi tayangan dan bahan bacaan terkait materi tentangkerangka tulis kritik dan
esai sastra □
Berpikir
Kritis : Guru memberikan kesempatan untuk mengidentifikasi
sebanyak mungkin hal yang belum dipahami, dimulai dari pertanyaan faktual
sampai ke pertanyaan yang bersifat hipotetik. □
Kolaborasi
: Peserta didik dibentuk dalam beberapa kelompok untuk
mendiskusikan, mengumpulkan informasi, mempresentasikan ulang, dan saling
bertukar informasi. □
Komunikasi : Peserta
didik mempresentasikan hasil kerja kelompok atau individu, mengemukakan
pendapat atas presentasi yang dilakukan kemudian ditanggapi kembali oleh
kelompok atau individu yang mempresentasikan. □
Kreatif : Guru
dan peserta didik membuat kesimpulan tentang hal-hal yang telah dipelajari. Peserta didik kemudian diberi kesempatan untuk menanyakan kembali
hal-hal yang belum dipahami. 3.Penutup (15 Menit) □ Guru bersama peserta didik merefleksikan pengalaman
belajar □ Guru memberikan penilaian lisan secara acak dan singkat □ Guru memberikan penugasan kepada siswa yang berhubungan materi
yang telah disampaikan □ Guru menyampaikan rencana pembelajaran
pada pertemuan berikutnya dan berdoa. |
|||||
E. Alat dan Sumber Belajar 1. Alat/bahan:Papantulis, Spidol, Laptop/computer, LCD Proyektor, Handphone 2. Sumber/media: □ BukuBahasa Indonesia Kelas XII Penerbit Intan Pariwara, Ika Setyaningsih dkk □
Internet http://gg.gg/bindosmansa |
|||||
F. PenilaianHasilBelajar
Z |
Mengetahui, KepalaSMA Negeri 1 Atambua, Drs.Marianus Antoni NIP.196203051994121001 |
Atambua, 3 Februari 2021 Tim Guru Mata Pelajaran Bindo, NIP. 196902071998021003 NIP. 196611231994032006 |
- Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
- Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
- Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita. Ia tak mengklaim satu makna. Ia tak berarti: tak punya isi kognitif atau tak punya manfaat yang besar.
- Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan. Mungkin sosok itu (umumnya tak bernama) si sakit yang tak jelas sakitnya. Mungkin benda itu sekaleng kecil balsem. Atau selimut—hal-hal yang dalam kisah-kisah besar dianggap sepele. Dalam teater Putu Wijaya, justru itu bisa jadi fokus.
- Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin. Putu Wijaya tak tertarik untuk berbicara tentang lapisanlapisan sosial. Teater Mandiri adalah ”teater miskin” karena ia, sebagaimana yang kemudian dijadikan semboyan kreatif Putu Wijaya, ”bertolak dari yang ada”.
- Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta. Siang hari ia akan bertugas sebagai wartawan. Malam hari, ketika kantor sepi, ia akan menggunakan ruangan yang terbatas dan sudah aus itu untuk latihan teater. Dan ia akan mengajak siapa saja: seorang tukang kayu muda yang di waktu siang memperbaiki bangunan kantor, seorang gelandangan tua yang tiap malam istirahat di pojok jalan itu, seorang calon fotograf yang gagap. Ia tak menuntut mereka untuk berakting dan mengucapkan dialog yang cakap. Ia membuat mereka jadi bagian teater sebagai peristiwa, bukan hanya cerita.
- Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri. Juga teater yang hidup dari tarikmenarik antara patos dan humor, antara suasana yang terbangun utuh dan disintegrasi yang segera mengubah keutuhan itu.
- Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan selalu tersembunyi ketidaksadaran.
- Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”. Saya kira ia salah. Ia mungkin berpikir tentang keindahan dalam pengertian klasik, di mana tata amat penting. Bagi saya Teater Mandiri justru menunjukkan bahwa di sebuah negeri di mana tradisi dan antitradisi berbenturan (tapi juga sering berkelindan), bukan pengertian klasik itu yang berlaku.
- Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan. Sebagaimana dalam puisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang hadir dalam pentas Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi, bukan pesan, apalagi khotbah. Hal ini penting, di zaman ketika komunikasi hanya dibangun oleh pesan verbal yang itu-itu saja, yang tak lagi akrab dengan diri, hanya hasil kesepakatan orang lain yang kian asing.
- Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
- Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak. Sumber: Majalah Tempo Edisi Senin, 27 Juni 2011
SISTEMATIKA |
KUTIPAN TEKS |
PERNYATAAN PENDAPAT |
|
ARGUMEN |
|
PENEGASAN ULANG |
|
Nama: Maria Elsyana Krista Nahak
BalasHapusKelas: XII sosial 8
1. Teks di atas termasuk ke dalam teks …
Esai, karena si penulis, Gunawan Muhammad, membuat sebuah karangan prosa.
2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai!
● Pernyataan Pendapat
Kutipan Teks: Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku
kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau
dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan:
”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater
ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—
dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak
berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
●Argumen
Kutipan Teks:
1.)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
menggebrak persepsi kita.
2.)Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
yang tak berarti dihadirkan.
3.)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
Grotowski.
4.)Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
Senen Raya 83, Jakarta.
●Penegasan ulang
Kutipan Teks: Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”.
Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama : Rifky Fauzan
BalasHapusKelas : XII Sosial 7
1. Teks di atas termasuk ke dalam teks esai
2. Ssitematika beserta struktur dapat di uraikan sebagai berikut :
Sistematika : Pernyataan Pendapat
Kutipan Teks : Di depan kita pentas yang berkecamuk.
Sistematika : Argumen
Kutipan Teks :
1. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
2. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
3. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
4. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen.
5. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan selalu tersembunyi ketidaksadaran.
6. Bagi saya Teater Mandiri justru menunjukkan bahwa di sebuah negeri di mana tradisi dan antitradisi berbenturan (tapi juga sering berkelindan), bukan pengertian klasik itu yang berlaku.
7. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan. Sebagaimana dalam puisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang hadir dalam pentas Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi, bukan pesan, apalagi khotbah. Hal ini penting, di zaman ketika komunikasi hanya dibangun oleh pesan verbal yang itu-itu saja, yang tak lagi akrab dengan diri, hanya hasil kesepakatan orang lain yang kian asing.
Sitematika : Penegasan Ulang
Kutipan Teks :
1. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
2. Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama: Sri Wahyuni Lay Rihi
BalasHapusKelas: XII Sosial 8
1. Teks di atas termasuk ke dalam teks …
Esai, karena si penulis, Gunawan Muhammad, membuat sebuah karangan prosa.
2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai!
● Pernyataan Pendapat
Kutipan Teks: Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku
kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau
dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan:
”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater
ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—
dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak
berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
●Argumen
Kutipan Teks:
1.)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
menggebrak persepsi kita.
2.)Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
yang tak berarti dihadirkan.
3.)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
Grotowski.
4.)Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
Senen Raya 83, Jakarta.
●Penegasan ulang
Kutipan Teks: Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”.
Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama: Vamilia rouch
BalasHapusKelas : XII sosial 8
1. Teks tersebut termasuk dalam teks teks esai, Karena objek kajiannya berupa fenomena dan juga tidak terdapat data-data yang dapat membuktikan kebenaran pendapat pengarang selain alasan yang berasal dari pribadi penulis sendiri atau pandangan penulis.
2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai!
☆Pernyataan Pendapat
Kutipan Teks: Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku
kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau
dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan:
”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater
ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—
dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak
berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
☆Argumen
Kutipan Teks:
1.)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
menggebrak persepsi kita.
2.)Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
yang tak berarti dihadirkan.
3.)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
Grotowski.
4.)Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
Senen Raya 83, Jakarta.
☆Penegasan ulang
Kutipan Teks: Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”.
Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama : AGNESIA ELVIRA MOLO
BalasHapusKelas : XII.S.8
1. Teks diatas termasuk kedalam teks esay. Karena, objek kajiannya berupa fenomena san juga tidak terdapat data-data yang dapat membuktikan kebenaran pendapat pengarang selain alasan yang berasal dari pribadi penulis sendiri atau pandangan penulis.
2. SISTEMATIKA
* PERNYATAAN PENDAPAT
Kutipan Teks :
1. Di depan kita pentas yang berkecamuk.
* ARGUMEN
Kutipan Teks :
1. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
2. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
3. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
4. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen.
5. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan selalu tersembunyi ketidaksadaran.
6. Bagi saya Teater Mandiri justru menunjukkan bahwa di sebuah negeri di mana tradisi dan antitradisi berbenturan (tapi juga sering berkelindan), bukan pengertian klasik itu yang berlaku.
7. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan. Sebagaimana dalam puisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang hadir dalam pentas Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi, bukan pesan, apalagi khotbah. Hal ini penting, di zaman ketika komunikasi hanya dibangun oleh pesan verbal yang itu-itu saja, yang tak lagi akrab dengan diri, hanya hasil kesepakatan orang lain yang kian asing.
* PENEGASAN ULANG
Kutipan Teks :
Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama: maria jeniwida g bau
BalasHapusKelas : Xll sosial 8
1. Termasuk teks esai
2. * pernyataan pendapat
Di depan kita pentas yg bekecamuk juga satu suku kata yang meledak. Grrr, dor, blong, los. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan aduh, anu. Didepan kita panggung teater mandiri. Teater mandiri tahun ini berumur 40 tahun sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di indonesia. Ia bagian dari sejarah indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari sejarah indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan bangun dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan sebagai teror dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kita.
* argumen
1. Pada putu wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imajinasi, sesuatu yg fisik yg menggebrak persepsi kita.
2. Ini terutama hadir dalam teaternya yang membuat teater mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, dimana sosok dan benda yang tak berarti di hadirkan.
3. Bagi sy teater ini adalah teater miskin dalam pengertian yang berbeda
4 . Saya ingin bagaimna pada tahun 1971, putu wijaya memulainya ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah tempo, yang berkantor disebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang dijalan senen raya jakarta
* penegasan ulang
Sebeb yang tak terkatakan juga bagian dari yang ada dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama: Maulana Hafif
BalasHapusKelas : XII Sosial 7
1. Teks diatas termasuk ke dalam teks essay
2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai
- Pernyataan pendapat
Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
- Argumen
Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita. Ia tak mengklaim satu makna. Ia tak berarti: tak punya isi kognitif atau tak punya manfaat yang besar.
Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan. Mungkin sosok itu (umumnya tak bernama) si sakit yang tak jelas sakitnya. Mungkin benda itu sekaleng kecil balsem. Atau selimut—hal-hal yang dalam kisah-kisah besar dianggap sepele. Dalam teater Putu Wijaya, justru itu bisa jadi fokus.
Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin. Putu Wijaya tak tertarik untuk berbicara tentang lapisanlapisan sosial. Teater Mandiri adalah ”teater miskin” karena ia, sebagaimana yang kemudian dijadikan semboyan kreatif Putu Wijaya, ”bertolak dari yang ada”.
Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta. Siang hari ia akan bertugas sebagai wartawan. Malam hari, ketika kantor sepi, ia akan menggunakan ruangan yang terbatas dan sudah aus itu untuk latihan teater.
- Penegasan Ulang
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama: Beatris Oliveira
BalasHapusKelas: XII Alam 2
1. Teks di atas termasuk ke dalam teks …
Jawaban:
Esai, karena si penulis, Gunawan Muhammad, membuat sebuah karangan prosa.
2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai!
Jawaban:
● Pernyataan Pendapat
Kutipan Teks: Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku
kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau
dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan:
”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater
ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—
dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak
berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
●Argumen
Kutipan Teks:
1.)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
menggebrak persepsi kita.
2.)Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
yang tak berarti dihadirkan.
3.)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
Grotowski.
4.)Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
Senen Raya 83, Jakarta.
●Penegasan ulang
Kutipan Teks: Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”.
Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama: PUTRI FEBRIANI
BalasHapusKelas: XII ALAM 2
1. Teks di atas termasuk ke dalam teks …
Esai, karena si penulis, Gunawan Muhammad, membuat teks tersebut menyerupai sebuah karangan prosa.
2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai!
● Pernyataan Pendapat
Kutipan Teks: Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku
kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau
dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan:
”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater
ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—
dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak
berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
●Argumen
Kutipan Teks:
1.)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
menggebrak persepsi kita.
2.)Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
yang tak berarti dihadirkan.
3.)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
Grotowski.
4.)Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
Senen Raya 83, Jakarta.
●Penegasan ulang
Kutipan Teks: Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”.
Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
NAMA : YULIANA JAGA
BalasHapusKELAS : XII MIPA 1
1. Teks di atas termasuk ke dalam teks esai
2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai
• PERNYATAAN PENDAPAT
1. Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
2. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
• ARGUMEN
1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.
5. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
6. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu.
7. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.
8. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya.
9. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
• PENEGASAN ULANG
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak. Sumber: Majalah Tempo Edisi Senin, 27 Juni 2011
Nama : Varaditta putri zahra salsabila
BalasHapusKelas : XII MIPA 1
1. Teks di atas termasuk ke dalam teks esai
2. Sistematika beserta struktur dapat di uraikan sebagai berikut :
Sistematika : Pernyataan Pendapat
Kutipan Teks : Di depan kita pentas yang berkecamuk.
Sistematika : Argumen
Kutipan Teks :
1. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
2. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
3. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
4. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen.
5. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan selalu tersembunyi ketidaksadaran.
6. Bagi saya Teater Mandiri justru menunjukkan bahwa di sebuah negeri di mana tradisi dan antitradisi berbenturan (tapi juga sering berkelindan), bukan pengertian klasik itu yang berlaku.
7. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan. Sebagaimana dalam puisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang hadir dalam pentas Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi, bukan pesan, apalagi khotbah. Hal ini penting, di zaman ketika komunikasi hanya dibangun oleh pesan verbal yang itu-itu saja, yang tak lagi akrab dengan diri, hanya hasil kesepakatan orang lain yang kian asing.
Sitematika : Penegasan Ulang
Kutipan Teks :
1. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
2. Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak
Nama : Maria Yosef Usboko
BalasHapusKelas : XII Alam 2
1. Teks tersebut termasuk dalam teks teks esai, Karena objek kajiannya berupa fenomena dan juga tidak terdapat data-data yang dapat membuktikan kebenaran pendapat pengarang selain alasan yang berasal dari pribadi penulis sendiri atau pandangan penulis.
2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai!
π³Pernyataan Pendapat
Kutipan Teks: Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku
kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau
dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan:
”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater
ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—
dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak
berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
π³Argumen
Kutipan Teks:
1.)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
menggebrak persepsi kita.
2.)Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
yang tak berarti dihadirkan.
3.)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
Grotowski.
4.)Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
Senen Raya 83, Jakarta.
π³Penegasan ulang
Kutipan Teks: Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”.
Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama : Ni Putu Ika Parwati
BalasHapusKelas : XII.A1
1. Teks diatas termasuk kedalam teks esay. Karena, objek kajiannya berupa fenomena san juga tidak terdapat data-data yang dapat membuktikan kebenaran pendapat pengarang selain alasan yang berasal dari pribadi penulis sendiri atau pandangan penulis.
2. SISTEMATIKA
* PERNYATAAN PENDAPAT
Kutipan Teks :
1. Di depan kita pentas yang berkecamuk.
* ARGUMEN
Kutipan Teks :
1. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
2. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
3. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
4. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen.
5. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan selalu tersembunyi ketidaksadaran.
6. Bagi saya Teater Mandiri justru menunjukkan bahwa di sebuah negeri di mana tradisi dan antitradisi berbenturan (tapi juga sering berkelindan), bukan pengertian klasik itu yang berlaku.
7. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan. Sebagaimana dalam puisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang hadir dalam pentas Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi, bukan pesan, apalagi khotbah. Hal ini penting, di zaman ketika komunikasi hanya dibangun oleh pesan verbal yang itu-itu saja, yang tak lagi akrab dengan diri, hanya hasil kesepakatan orang lain yang kian asing.
* PENEGASAN ULANG
Kutipan Teks :
Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama :Elisabeth Jeany J. Boisala
BalasHapusKelas : XII MIPA 1
1. Teks di atas termasuk ke dalam teks esai, karena si penulis (Gunawan Muhammad) membuat sebuah karangan prosa.
2. Sistematika teks tersebut :
• Pernyataan Pendapat
Kutipan Teks: Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror” dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
• Argumen
Kutipan Teks:
1) Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
2) Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
3) Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski.
4) Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.
• Penegasan ulang
Kutipan Teks: Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
NAMA : CLAUDIA ZYTA TOBU
BalasHapusKELAS : XII MIPA 2
1. Teks di atas termasuk ke dalam teks esai
2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai
• PERNYATAAN PENDAPAT
1. Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
2. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
• ARGUMEN
1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.
5. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
6. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu.
7. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.
8. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya.
9. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
• PENEGASAN ULANG
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
NAMA : MARIA KARANI SAPUTRI
BalasHapusKELAS : XII ALAM 2
NO ABSEN : 19
1. Teks di atas termasuk ke dalam teks "Esai". karena si penulis, Gunawan Muhammad membuat sebuah karangan prosa.
2.struktur teks :
✧Pernyataan Pendapat
Kutipan Teks: Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku
kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau
dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan:
”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater
ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—
dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak
berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
✧Argumen
Kutipan Teks:
1.)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
menggebrak persepsi kita.
2.)Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
yang tak berarti dihadirkan.
3.)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
Grotowski.
4.)Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
Senen Raya 83, Jakarta.
✧Penegasan ulang
Kutipan Teks: Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”.
Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
NAMA:YULIANA FREDERIKA BEREK
BalasHapusKELAS:XII A.1
1. teks diatas termasuk dalam teks esai
2. sistematika teks tersebut adalah
.pernyataan pendapat
Kutipan Teks: Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror” dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
• Argumen
Kutipan Teks:
1) Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
2) Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
3) Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski.
4) Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.
• Penegasan ulang
Kutipan Teks: Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama: Markus C. Bere Mau
BalasHapusKlas: XII A.1
1.teks tersebut termasuk dalam teks esai
2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai!
● Pernyataan Pendapat
Kutipan Teks: Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku
kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau
dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan:
”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater
ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—
dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak
berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
●Argumen
Kutipan Teks:
1.)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
menggebrak persepsi kita.
2.)Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
yang tak berarti dihadirkan.
3.)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
Grotowski.
4.)Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
Senen Raya 83, Jakarta.
●Penegasan ulang
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”.
Dari sana kreativitas yang sejati bertolak
Nama : Viennye Wilhelmina Djawa
BalasHapusKelas : XII Alam 2
1. Teks di atas termasuk kedalam teks esai karena si penulis, Gunawan Muhammad, membuat sebuah karangan prosa
yang membahas suatu masalah dari sudut pandang pribadi penulis.
2. Sistematika Teks
- Pernyataan Pendapat
Kutipan teks :
1) Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau
dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
2) Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater
ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
- Argumen
Kutipan teks :
1) Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
2) Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
3) Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski.
4) Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.
5) Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik
antara ”peristiwa” dan ”cerita”.
6) Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti.
7) Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.
8) Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan
puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre,
”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak.
9) Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap.
- Penegasan Ulang
Kutipan teks :
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”.
Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
NAMA : Maria Angelika Djaga
BalasHapusKELAS : XII MIPA 2
1. Teks di atas termasuk ke dalam teks esai
2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai
▪Pernyataan Pendapat
1. Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
2. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
▪ Argumen
1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.
5. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
6. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu.
7. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.
8. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya.
9. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
▪ Penegasan Ulang
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama : Monica Alves
BalasHapusKelas : XII A2
1. Teks di atas termasuk kedalam teks esai
2. Analisis sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai
-Pernyataan pendapat
Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku
kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau
dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan:
”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater
ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—
dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak
berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
-Argumen
Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
menggebrak persepsi kita.
Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
yang tak berarti dihadirkan.
Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
Grotowski.
Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
Senen Raya 83, Jakarta.
Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu
Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik
antara ”peristiwa” dan ”cerita”
Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang
dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya.
Keraguan ini bisa dimengerti.
Sartre pernah mengatakan, salah satu motif
menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di
mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan
pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.
Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan
puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre,
”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai
kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan
puisi tidak.
Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia
mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap.
-Penegasan Ulang
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”.
Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama: Markus C. Bere Mau
BalasHapusKlas: XII A.1
1.teks tersebut termasuk dalam teks esai
2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai!
● Pernyataan Pendapat
Kutipan Teks: Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku
kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau
dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan:
”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater
ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—
dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak
berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
●Argumen
Kutipan Teks:
1.)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
menggebrak persepsi kita.
2.)Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
yang tak berarti dihadirkan.
3.)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
Grotowski.
4.)Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
Senen Raya 83, Jakarta.
●Penegasan ulang
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”.
Dari sana kreativitas yang sejati bertolak
NAMA : Maria Angelika Djaga
BalasHapusKELAS : XII MIPA 2
1. Teks di atas termasuk ke dalam teks esai
2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai
▪Pernyataan Pendapat
1. Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
2. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
▪ Argumen
1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.
5. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
6. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu.
7. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.
8. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya.
9. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
▪ Penegasan Ulang
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama : Sherlyani Maria Natalia Siku
BalasHapusKelas : XII Alam 1
1. Teks di atas termasuk ke dalam teks esai
2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai
PERNYATAAN PENDAPAT
1. Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
2. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
ARGUMEN
1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.
5. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
6. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu.
7. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.
8. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya.
9. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
PENEGASAN ULANG
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
NAMA :JONIA IMACULADA DA COSTA SOARES
BalasHapusKELAS:Xll ALAM 2
1.Teks di atas termasuk ke dalam teks …
Esai, karena si penulis, Gunawan Muhammad, membuat sebuah karangan prosa.
2.Sitematika beserta struktur dapat di uraikan sebagai berikut :
Sistematika : Pernyataan Pendapat
Kutipan Teks : Di depan kita pentas yang berkecamuk.
Sistematika : Argumen
Kutipan Teks :
1. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
2. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
3. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
4. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen.
5. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan selalu tersembunyi ketidaksadaran.
6. Bagi saya Teater Mandiri justru menunjukkan bahwa di sebuah negeri di mana tradisi dan antitradisi berbenturan (tapi juga sering berkelindan), bukan pengertian klasik itu yang berlaku.
7. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan. Sebagaimana dalam puisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang hadir dalam pentas Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi, bukan pesan, apalagi khotbah. Hal ini penting, di zaman ketika komunikasi hanya dibangun oleh pesan verbal yang itu-itu saja, yang tak lagi akrab dengan diri, hanya hasil kesepakatan orang lain yang kian asing.
Sitematika : Penegasan Ulang
Kutipan Teks :
1. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
2. Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama : Sindy Saputri
BalasHapusKelas : XII.Alam.1
Absen: 23
1. Teks di atas termasuk ke dalam teks …
Esai, karena si penulis, Gunawan Muhammad, membuat teks tersebut menyerupai sebuah karangan prosa.
2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai!
● Pernyataan Pendapat
Kutipan Teks: Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku
kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau
dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan:
”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater
ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—
dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak
berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
●Argumen
Kutipan Teks:
1.)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
menggebrak persepsi kita.
2.)Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
yang tak berarti dihadirkan.
3.)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
Grotowski.
4.)Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
Senen Raya 83, Jakarta.
●Penegasan ulang
Kutipan Teks: Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”.
Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama: Marselina Devita Manek
BalasHapusKelas: 12 Alam 2
1. Teks di atas termasuk dalam jenis teks esai
2. Sistematika teks beserta struktur
• PERNYATAAN PENDAPAT
Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
• ARGUMEN
1) Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
2) Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
3) Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
4) Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen.
5) Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan selalu tersembunyi ketidaksadaran.
6) Bagi saya Teater Mandiri justru menunjukkan bahwa di sebuah negeri di mana tradisi dan antitradisi berbenturan (tapi juga sering berkelindan), bukan pengertian klasik itu yang berlaku.
7) Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan. Sebagaimana dalam puisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang hadir dalam pentas Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi, bukan pesan, apalagi khotbah. Hal ini penting, di zaman ketika komunikasi hanya dibangun oleh pesan verbal yang itu-itu saja, yang tak lagi akrab dengan diri, hanya hasil kesepakatan orang lain yang kian asing.
• PENEGASAN ULANG
1) Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
2) Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama : fenny yustina lola dabe
BalasHapusKelas : xll alam 1
No. Absen: 10
1. Teks diatas termasuk kedalam teks.....
esai, karena si penulis Gunawan Muhamad membuat teks yang menyerupai sebuah karangan prosa
2.Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai !
■Pernyataan pendapat
Kutipan teks: didepan kita pentas yang berkecamuk .juga satu suku
Kata yang meledak :"Grr" Dor" Blong"Los" . Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan :" aduh" Anu". Di depan kita : panggung teater mandiri.
Teater mandiri pekan ini berumur 40 tahun-sebuah riwayat yang tak mudah , seperti semua grup teater di indonesia . Ia bagian dari sejarah indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian cerita pembangunan " bangun" dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur.Putu wijaya, pendiri tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai " teror"- dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru tak berpesan.ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
■ Argumen
Kutipan teks:
1.pada Putu Wijaya , kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume disebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita .
2.ini terutama hadir dalam teaternya - yang membuat teater mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa , dimana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan
3.Bagi saya, teater ini adalah" teater miskin" dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski.
4.saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor disebuah gedung tua bertingakat dua dengan lantai yang goyang di jalan Senen Raya 83, Jakarta
■ penegasan ulang
Kutipan teks: sebab yang tak terkatakan juga bagian dari " yang ada" .
Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama : Tesa.M.T.Nubein
BalasHapusKelas : XII.Alam.2
Absen: 28
1. Teks di atas termasuk ke dalam teks …
Esai, karena si penulis, Gunawan Muhammad, membuat teks tersebut menyerupai sebuah karangan prosa.
2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai!
● Pernyataan Pendapat
Kutipan Teks: Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku
kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau
dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan:
”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater
ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—
dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak
berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
●Argumen
Kutipan Teks:
1.)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
menggebrak persepsi kita.
2.)Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
yang tak berarti dihadirkan.
3.)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
Grotowski.
4.)Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
Senen Raya 83, Jakarta.
●Penegasan ulang
Kutipan Teks: Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”.
Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama : Agustinus Dedemus Seran
BalasHapusKelas : XII Alam 2
1. Teks di atas termasuk ke dalam teks …
Jawab:
Esai, karena si penulis, Gunawan Muhammad, membuat sebuah karangan prosa.
2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai!
Jawab:
⊙ PERNYATAAN PENDAPAT
Kutipan Teks:
1.) Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
2.) Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater
ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—
dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak
berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
⊙ARGUMEN
Kutipan Teks:
1.) Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
menggebrak persepsi kita.
2.) Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
yang tak berarti dihadirkan.
3.)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
Grotowski.
4.) Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
Senen Raya 83, Jakarta.
5.) Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
6.) Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu.
7.) Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.
8.) Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya.
9.) Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
⊙PENEGASAN ULANG
Kutipan Teks:
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”.
Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama : Gracia Zefanya Rusanto (11)
BalasHapusKelas : XIIALAM1
1. Teks di atas termasuk ke dalam teks esai
2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai
• PERNYATAAN PENDAPAT
1. Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
2. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
• ARGUMEN
1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.
5. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
6. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu.
7. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.
8. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya.
9. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
• PENEGASAN ULANG
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak. Sumber: Majalah Tempo Edisi Senin, 27 Juni 2011
Nama : Julian K. E. Santoso
BalasHapusKelas : XII Alam 2
1. Teks di atas termasuk ke dalam teks esai
2. Sistematika dan struktur :
•Sistematika : Pernyataan Pendapat
Kutipan Teks :
1. Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
2. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
•Sistematika : Argumen
Kutipan Teks :
1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
menggebrak persepsi kita.
2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
yang tak berarti dihadirkan.
3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
Grotowski.
4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
Senen Raya 83, Jakarta.
•Sistematika : Penegasan ulang
Kutipan Teks:
1. Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”.
Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama : Carola Anugrah Putri Bere
BalasHapusKelas : XII Alam 2
1. Teks tersebut termasuk dalam teks teks esai, Karena objek kajiannya berupa fenomena dan juga tidak terdapat data-data yang dapat membuktikan kebenaran pendapat pengarang selain alasan yang berasal dari pribadi penulis sendiri atau pandangan penulis.
2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai!
⚪Pernyataan Pendapat
Kutipan Teks: Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku
kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau
dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan:
”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater
ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—
dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak
berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
⚪Argumen
Kutipan Teks:
1.)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
menggebrak persepsi kita.
2.)Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
yang tak berarti dihadirkan.
3.)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
Grotowski.
4.)Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
Senen Raya 83, Jakarta.
⚪Penegasan ulang
Kutipan Teks: Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”.
Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama:Fardinal Pratama Putra
BalasHapusKelas:Xll Alam 2
1. Teks di atas termasuk ke dalam teks Esai, karena si penulis, Gunawan Muhammad, membuat teks tersebut menyerupai sebuah karangan prosa.
2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai!
* Pernyataan Pendapat
Kutipan Teks: Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku
kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau
dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan:
”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater
ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—
dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak
berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
*Argumen
Kutipan Teks:
1.)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
menggebrak persepsi kita.
2.)Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
yang tak berarti dihadirkan.
3.)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
Grotowski.
4.)Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
Senen Raya 83, Jakarta.
*Penegasan ulang
Kutipan Teks: Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”.
Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama : Maya Triana Siama
BalasHapusKelas : XII Alam 2
No. Absen : 22
1. Teks diatas termasuk kedalam teks esay. Karena, objek kajiannya berupa fenomena dan juga tidak terdapat data-data yang dapat membuktikan kebenaran pendapat pengarang selain alasan yang berasal dari pribadi penulis sendiri atau pandangan penulis.
2. Analisislah sistematika teks berdasarkan struktur yang sesuai :
☆PERNYATAAN PENDAPAT
Kutipan Teks :
Di depan kita pentas yang berkecamuk.
☆ARGUMEN
Kutipan Teks :
1. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
2. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
3. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
4. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen.
5. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan selalu tersembunyi ketidaksadaran.
6. Bagi saya Teater Mandiri justru menunjukkan bahwa di sebuah negeri di mana tradisi dan antitradisi berbenturan (tapi juga sering berkelindan), bukan pengertian klasik itu yang berlaku.
7. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan. Sebagaimana dalam puisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang hadir dalam pentas Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi, bukan pesan, apalagi khotbah. Hal ini penting, di zaman ketika komunikasi hanya dibangun oleh pesan verbal yang itu-itu saja, yang tak lagi akrab dengan diri, hanya hasil kesepakatan orang lain yang kian asing.
☆PENEGASAN ULANG
Kutipan Teks :
Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama:Fardinal Pratama Putra
BalasHapusKelas:Xll Alam 2
1. Teks di atas termasuk ke dalam teks Esai, karena si penulis, Gunawan Muhammad, membuat teks tersebut menyerupai sebuah karangan prosa.
2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai!
* Pernyataan Pendapat
Kutipan Teks: Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku
kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau
dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan:
”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater
ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—
dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak
berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
*Argumen
Kutipan Teks:
1.)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
menggebrak persepsi kita.
2.)Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
yang tak berarti dihadirkan.
3.)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
Grotowski.
4.)Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
Senen Raya 83, Jakarta.
*Penegasan ulang
Kutipan Teks: Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”.
Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama :Stevania Laku Loi
BalasHapusKelas : XII Alam 2
1.Teks tersebut termasuk dalam teks essai
2.Sistematikanya yaitu:
a.Pernyataan pendapat
1)Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
2)Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
b.Argumen
1)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita. Ia tak mengklaim satu makna. Ia tak berarti: tak punya isi kognitif atau tak punya manfaat yang besar.
2)Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan. Mungkin sosok itu (umumnya tak bernama) si sakit yang tak jelas sakitnya. Mungkin benda itu sekaleng kecil balsem. Atau selimut—hal-hal yang dalam kisah-kisah besar dianggap sepele. Dalam teater Putu Wijaya, justru itu bisa jadi fokus.
3)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin. Putu Wijaya tak tertarik untuk berbicara tentang lapisanlapisan sosial. Teater Mandiri adalah ”teater miskin” karena ia, sebagaimana yang kemudian dijadikan semboyan kreatif Putu Wijaya, ”bertolak dari yang ada”.
4)Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.
c)Penegasan ulang
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak. Sumber: Majalah Tempo Edisi Senin, 27 Juni 2011
Grasella Listin Haki
BalasHapusXII A1
1. Teks di atas termasuk ke dalam teks esai.
2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai
• PERNYATAAN PENDAPAT
1. Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
2. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
• ARGUMEN
1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.
5. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
6. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu.
7. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.
8. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya.
9. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
• PENEGASAN ULANG
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak. Sumber: Majalah Tempo Edisi Senin, 27 Juni 2011
Nama : Dersia Devita M.K.Putri
BalasHapusKelas : Xll Alam 1
1.) teks diatas termasuk dalam teks !
*Termasuk dalam teks Esai karena penulis , membuat sebuah karangan prosa.
2.) Analisis sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai!
*Pernyataan Pendapat
~Kutipan teks : Di depan kita pentas yang berkecamuk .juga satu suku kata yang meledak ."Grrr","Dor","Blong",Los",atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan :"aduh","anu",.Di depan kita panggung teater mandiri.
Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia.la bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan"bangun"dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur.Putu Wijaya,pendiri dan tiang utama teater ini,melihat peran pembangunan ini sebagai"teror"dengan cara yang sederhana .Putu tak berseru,tak berpesan.la punya pendekatan tersendiri kepada kata.
*Argumen
~Kutipan teks:
1.Pada putu Wijaya,kata adalah benda.kata adalah materi yang punya volume disebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
2.Ini terutama hadir dalam teaternya yang membuat Teater mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa,dimana sosok dan benda yang berarti dihadirkan.
3.Bagi saya teater ini adalah"teater miskin"dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski.
4.Saya ingat, bagaimana pada tahun,1971,Putu Wijaya memulainya.la bekerja sebagai salah satu redaktur majalah tempo,yang berkantor disebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai goyang di jalan Senen raya 83,Jakarta.
5.Bagi saya teater Mandiri justru menunjukkan bahwa di sebuah negeri di mana tradisi dan antitradisi berbenturan (tapi juga sering berkeliaran),bukan pengertian klasik itu berlaku.
*Penegasan Ulang
~ Kutipan teks:
1.Sartre kemudian menyadari ia salah .Sejak 1960-an,ia mengakui bahwa bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang di bawah sadar ,tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani,le vecu.la tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater mandiri,tapi la pasti melihat bahwa berbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya "Teror" ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
2.Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari"Yang ada".Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama : Putri Bunga Daeng
BalasHapusKelas : 12 Alam 1
No.absen : 20
1. Teks di atas termasuk ke dalam teks esai
2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai
>PERNYATAAN PENDAPAT
1.)Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
2.) Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
>ARGUMEN
1.)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
2.) Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
3.) Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
4.)Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.
5.) Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
6.) Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu.
7.)Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.
8.)Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya.
>PENEGASAN ULANG
1.)Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
2.)Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak. Sumber: Majalah Tempo Edisi Senin, 27 Juni 2011
Tegar Rizqi Maulana
BalasHapusXII Alam 1
1 . teks di atas merupakan sebuah teks essay karena dalam setiap kalimatnya terdapat prosa dan cukup singkat serta memiliki ciri khasnya
2. Analisis sistematik text
PERNYATAAN PENDAPAT
Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
ARGUMEN
1. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta. Siang hari ia akan bertugas sebagai wartawan. Malam hari, ketika kantor sepi, ia akan menggunakan ruangan yang terbatas dan sudah aus itu untuk latihan teater. Dan ia akan mengajak siapa saja: seorang tukang kayu muda yang di waktu siang memperbaiki bangunan kantor, seorang gelandangan tua yang tiap malam istirahat di pojok jalan itu, seorang calon fotograf yang gagap. Ia tak menuntut mereka untuk berakting dan mengucapkan dialog yang cakap. Ia membuat mereka jadi bagian teater sebagai peristiwa, bukan hanya cerita.
2. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu.
3. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan. Sebagaimana dalam puisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang hadir dalam pentas Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi, bukan pesan, apalagi khotbah. Hal ini penting, di zaman ketika komunikasi hanya dibangun oleh pesan verbal yang itu-itu saja, yang tak lagi akrab dengan diri, hanya hasil kesepakatan orang lain yang kian asing.
PENEGASAN ULANG :Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak. Sumber: Majalah Tempo Edisi Senin, 27 Juni 2011
Nama : Syahrul Mubarakh
BalasHapusKelas : XII ALAM 2
no absen : 27
1. Teks diatas termasuk ke dalam teks essay
2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai
π Pernyataan pendapat
Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
π Argumen
Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita. Ia tak mengklaim satu makna. Ia tak berarti: tak punya isi kognitif atau tak punya manfaat yang besar.
Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan. Mungkin sosok itu (umumnya tak bernama) si sakit yang tak jelas sakitnya. Mungkin benda itu sekaleng kecil balsem. Atau selimut—hal-hal yang dalam kisah-kisah besar dianggap sepele. Dalam teater Putu Wijaya, justru itu bisa jadi fokus.
Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin. Putu Wijaya tak tertarik untuk berbicara tentang lapisanlapisan sosial. Teater Mandiri adalah ”teater miskin” karena ia, sebagaimana yang kemudian dijadikan semboyan kreatif Putu Wijaya, ”bertolak dari yang ada”.
Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta. Siang hari ia akan bertugas sebagai wartawan. Malam hari, ketika kantor sepi, ia akan menggunakan ruangan yang terbatas dan sudah aus itu untuk latihan teater.
π Penegasan Ulang
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama Deasyana Anggini Mau
BalasHapusKelas. XII S.8
1. Teks tersebut termaksud dalam teks esai.
2.SISTEMATIKA
PERNYATAAN PENDAPAT
kutipan teks: di depan kita pentas yang bercambuk juga suku kata yang meledak
Grrr,Dor,Blong,Los atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: Aduh atau Anu di depan kita: panggung teater mandiri pekan ini berumur 40 tahun, sebuah riwayat yang tak mudah seperti hampir semua grup teater di Indonesia.ia bagian dari sehy Indonesia yang penting sebagi bagian dari cerita pembagunan " Bagun" dalam arti jiwa yang tak lelap tidur putu Wijaya pendiri dan tiang utama teater ini,melihat pembagunan ini sebgai teror" dengan cara yg sederhana.
ARGUMENTASI
Pada putu Wijaya kata adalah benda kata adalah materi yang punya volume di seluruh ruang,sebuah bunyi dan imaji, sesuatu fisik yang menggebrak presepsi kita.ia tak mengklaim satu makna ia tak berarti tak punya isi kongnif atau tak punya manfaat yang besar.ini terutama hadir dalam teaternya yang membuat teater mandiri akan di kenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa,dimna sosok benda yang tak berarti tak di hadirkan.
PENEGASAN ULANG
Sarte pernah mengatakan,salah satu monif menciptakan seni adalah Menampilkan tata di mna semula tak ada memasangkan
Kesatuan pikiry ke dalam keragam hal-ihwal.saya kira ia salah ia mungkin berpikir tentang keindahan klasik, dima na tata amat penting.bagi saya teater mandiri justru menunjukan bahwa di sebuah negeri bahwa tradisi dan antitradisi bebernturan ( tapi juga sering berkelimpahan ),bukan pengertian klasik itu yang berlaku.
Nama: Carlota Angela Marici Lau
BalasHapusKelas: XII Alam 2
1.Teks di atas termasuk dalam teks esai.
2. Analisis sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai, yaitu:
●.PERNYATAAN PENDAPAT.
Kutipan teks:
Di depan kita pentas yang berkecamuk.
Juga satu suku kata yang meledak: "Grrr", "Dor", "Blong", "Los". Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: "aduh", "anu".
Di depan kita: panggung Teater Mandiri. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun - sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesi yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan "bangun" dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur.
Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai "teror" - dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
●.ARGUMEN.
Kutipan teks:
1). Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
2). Ini terutama hadir dalam teaternya - yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, dimana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
3). Bagi saya, teater ini adalah "teater miskin" dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski.
4). Saya ingat bagaimana pada tahum 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.
●. PENEGASAN ULANG.
Kutipan teks: Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari "yang ada".
Dari sana kreativitas yang sehati bertolak.
Rian Trimansyah
BalasHapusXIIA1
1. Teks di atas termasuk teks esai.
2. #sistematika pernyataan pendapat. Kutipan teks : Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
#sistematika argumen. Kutipan teks :
1)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
2)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
3)Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya.
4)Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.
5)Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Sartre kemudian menyadari ia salah.
6)Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
#sistematika penegasan ulang. Kutipan teks : Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama : Anastasia A.D.Rosary
BalasHapusKelas : XII Mipa 2
1. Esai
2. Sistematika
•Pernyataan Pendapat
Kutipan teks
1) Di depan kita pentas yang berkecamuk.
2)Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
tertidur.
• Argumen
Kutipan teks
1) Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
menggebrak persepsi kita.
2) Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
yang tak berarti dihadirkan.
3)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
Grotowski.
4) Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
Senen Raya 83, Jakarta.
5) Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.
6) Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya.
7) Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
• Penegasan Ulang
Kutipan teks
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
pelajaran Bahasa Indonesia.
BalasHapusNama : Agnesia Nadia Bau
Kelas : XII AI
1. Teks diatas termasuk dalam teks esai.
2.✓ Pernyataan pendapat
Di depan kita pentas yang berkecamuk juga satu suku kata meledak:grr, dor, blong, los. atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: aduh,anu. di depan kita panggung teater mandiri.Teater mandiri pekan ini berumur 40 tahun sebuah riwayat yabg tak mudah seperti hampir semua grup teater di indonesia. ia bagian dari sejarah indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan bangun dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Puti Wijaya pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai teror dengan cara sederhana.Putu tak berseru tak berpesan.ia punya pendekatan tersendiri kepada kita.
✓ Argumen
1) pada putu wijaya, kata adalah benda. kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang,sebuah kombinasi bunyi dan imaji,sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
2)ini terutama hadir dalam teater yang membuat teater mandiri akan di kenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa dimana sosok dan benda tak berarti dihadirkan.
3)Bagi saya teater ini adalah teater miskin dalam pengertian yabg berbeda dalam rumusan Jerzy Grotowski.
4)saya ingat bagaimana pada tahun 1971 Puti Wijaya memulainya.ia bekerja sebagai salah satu redaktor majalah Tempo, yang berkantor di sebuh gedubg tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang dijalan Senen raya 83, Jakarta.
✓penegasan ulang
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari "yang ada" dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama: Yunus Valentino Nabuasa
BalasHapusKelas:Xll Alam 2
1. Teks di atas termasuk ke dalam teks Esai, karena si penulis, Gunawan Muhammad, membuat teks tersebut menyerupai sebuah karangan prosa.
2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai!
* Pernyataan Pendapat
Kutipan Teks: Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku
kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau
dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan:
”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater
ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—
dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak
berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
*Argumen
Kutipan Teks:
1.)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
menggebrak persepsi kita.
2.)Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
yang tak berarti dihadirkan.
3.)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
Grotowski.
4.)Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
Senen Raya 83, Jakarta.
*Penegasan ulang
Kutipan Teks: Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”.
Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama: Ludovikus Andrian Tahu
BalasHapusKelas: XII Alam 2
1.Teks di atas termasuk dalam teks esai.
2. Analisis sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai, yaitu:
●.PERNYATAAN PENDAPAT.
Kutipan teks:
Di depan kita pentas yang berkecamuk.
Juga satu suku kata yang meledak: "Grrr", "Dor", "Blong", "Los". Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: "aduh", "anu".
Di depan kita: panggung Teater Mandiri. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun - sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesi yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan "bangun" dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur.
Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai "teror" - dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
●.ARGUMEN.
Kutipan teks:
1). Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
2). Ini terutama hadir dalam teaternya - yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, dimana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
3). Bagi saya, teater ini adalah "teater miskin" dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski.
4). Saya ingat bagaimana pada tahum 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.
●. PENEGASAN ULANG.
Kutipan teks: Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari "yang ada".
Dari sana kreativitas yang sehati bertolak.
Nama : Grasela J.S. Amaral
BalasHapusKelas : XII A 1
Tugas : Bindo
Rabu, 3 Februari 2021
1. Teks diatas termasuk kedalam teks esai karena si penuli Gunawan Muhammad, membuat sebuah karangan prisa yang membahas suatu masalah dari sudut pandang pribadi penulis
2. Analisis sistematika
Pernyataan pendapat
Di depan kita pentas yang berkecambuk,juga suatu suku kata yang meledak "Grrr",
"Dorr", "Blong", "Los". Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: " aduh", " annu". Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun- sebuah riwayat yang tidak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia.
Argumen
Pada Putu Wijayah, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji,sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi mita.
Ini yerutama hadir dalam teater-nya yang membuat teater Mandiri akan dikenang sebagai cobtoh terbaik teater sebagai peristiwa,dimana sosok benda yang tak berarti di hadirkan.
Bagi saya, teater ini adalah "teater miskin" dalam pengertoan yang berbeda dengan rumusan Jerzy Growtoski
Saya bagaimana pada tahun 1997, Putu Wijayah memainya. Ia bekerja sebagai salah satu deraktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di jalan Senen Raya 83,Jakarta
Dari sini memeng kemudian berkembang gaya Putu Wijayah: sebuah teayer yang dibangun dari dialetik antara " peristiwa" dan " cerita"
Orang memang bisa ragu, apa yang sebenarnya dibangun (dan dibangunkan) eh teayer Putu Wijayah. Keranguan ini bisa di mengerti.
Satre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah " memperkanalkan tata dimana semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal"
Pernah pula Satre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa " kata adalah aksi". Prosa menurut Satre, " terlibat" dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengkomunikadikan ide, sedangkan puisi tidak.
Satrw kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an,ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap.
Penegasan Ulang
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari " yang ada". Dasi sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama: Sofronia Marsiana Seran
BalasHapusKelas: Xll Alam 2
1 Teks diatas termasuk dalam teks esai
2 Analisis sistematika teks tersebut berdasarkan sturuktur yang sesuai
Pernyataan pendapat
1 Didepan kita pantas untuk berkecambak. Juga satu suku kata yang meledak : "Grr" ,"Blog", "Los".Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan :" Aduh ", "Anu".Didepan kita panggung teater mandiri
2 Teater mandiri pekan ini berumur 40 tahun sebuah riwayat tak mudah seperti hampir semua gfrup teater di indonesia. Ia bagian dari sejarah indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan " bangun " dalam arti jiwa yang tak kelap tertidur . Putu wijaya pembangunan ini sebagai " teror " dengan cara yang sederhana putu tak berserah tak berpesan. Ia punya pendekatan sendiri kepada kata.
Argumentasi
1 ada puputu wijaya kata adalah benda. Kata adalah mmateri yang punya volume disebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang mengebrak persepsi kita.
2 Ini terutama hadir dalam teaternya-yang membuat Teater mandiri kita akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa ,dimana sosol dan benda yang tak berarti dihadirkan
3 Bagi saya, teater ini adalah " teater miskin " dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski
4 saya ingat, bagaimana tahun 1971, putu wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu reduktur majalah tempo, yang berkantor disebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang dijalan senen raya 83 , jakarta
Penegasan Ulang
Kutipan teks : sebab yang tak yang tak terkatakan juaga bagian dari " yang ada "
Dari sana kreativitas yang sejati bertolak
AureliaUsatnesi
BalasHapus12 Alam 1
1. Teks di atas termasuk dalam jenis teks esai
2. Sistematika teks beserta struktur
• PERNYATAAN PENDAPAT
Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
• ARGUMEN
1) Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
2) Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
3) Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
4) Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen.
5) Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan selalu tersembunyi ketidaksadaran.
6) Bagi saya Teater Mandiri justru menunjukkan bahwa di sebuah negeri di mana tradisi dan antitradisi berbenturan (tapi juga sering berkelindan), bukan pengertian klasik itu yang berlaku.
7) Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan. Sebagaimana dalam puisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang hadir dalam pentas Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi, bukan pesan, apalagi khotbah. Hal ini penting, di zaman ketika komunikasi hanya dibangun oleh pesan verbal yang itu-itu saja, yang tak lagi akrab dengan diri, hanya hasil kesepakatan orang lain yang kian asing.
• PENEGASAN ULANG
1) Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
2) Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak
Nama : Brigita C.T. Pusparani
BalasHapusKelas : XII MIPA 2
1. Teks diatas termasuk kedalam teks esay. Karena, objek kajiannya berupa fenomena san juga tidak terdapat data-data yang dapat membuktikan kebenaran pendapat pengarang selain alasan yang berasal dari pribadi penulis sendiri atau pandangan penulis.
2. SISTEMATIKA
* PERNYATAAN PENDAPAT
Kutipan Teks :
1. Di depan kita pentas yang berkecamuk.
* ARGUMEN
Kutipan Teks :
1. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
2. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
3. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
4. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen.
5. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan selalu tersembunyi ketidaksadaran.
6. Bagi saya Teater Mandiri justru menunjukkan bahwa di sebuah negeri di mana tradisi dan antitradisi berbenturan (tapi juga sering berkelindan), bukan pengertian klasik itu yang berlaku.
7. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan. Sebagaimana dalam puisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang hadir dalam pentas Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi, bukan pesan, apalagi khotbah. Hal ini penting, di zaman ketika komunikasi hanya dibangun oleh pesan verbal yang itu-itu saja, yang tak lagi akrab dengan diri, hanya hasil kesepakatan orang lain yang kian asing.
* PENEGASAN ULANG
Kutipan Teks :
Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
NAMA : Adriano Daniel Kolo
BalasHapusKELAS : XII MIPA 2
1. Teks di atas termasuk ke dalam teks esai
2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai
• PERNYATAAN PENDAPAT
1. Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
2. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
• ARGUMEN
1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.
5. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
6. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu.
7. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.
8. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya.
9. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
• PENEGASAN ULANG
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak. Sumber: Majalah Tempo Edisi Senin, 27 Juni 2011
NAMA : Maria Angelika Djaga
BalasHapusKELAS : XII MIPA 2
1. Teks di atas termasuk ke dalam teks esai
2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai
▪Pernyataan Pendapat
1. Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
2. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
▪ Argumen
1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.
5. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
6. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu.
7. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.
8. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya.
9. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
▪ Penegasan Ulang
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Esbqrqbatbtabrabdbdvdbdvdvdbd
BalasHapusGabut kah?
HapusNAMA : Arlando G. Uskono
BalasHapusKELAS : XII Alam 4
1. Teks di atas termasuk ke dalam teks esai
2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai
▪Pernyataan Pendapat
1. Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
2. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
▪ Argumen
1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.
5. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
6. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu.
7. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.
8. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya.
9. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
▪ Penegasan Ulang
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
NAMA : Geovani V.M. Tae Lake
BalasHapusKELAS : XII ALAM 4
1. Teks di atas termasuk ke dalam teks esai
2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai
• PERNYATAAN PENDAPAT
1. Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
2. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
• ARGUMEN
1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.
5. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
6. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu.
7. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.
8. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya.
9. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
• PENEGASAN ULANG
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak. Sumber: Majalah Tempo Edisi Senin, 27 Juni 2011
Nama : Athanasius Keitaro Besi Datoklaran
BalasHapusKelas : XII Alam 4
1. Teks di atas termasuk ke dalam teks esai
2. Ssitematika beserta struktur dapat di uraikan sebagai berikut :
Sistematika : Pernyataan Pendapat
Kutipan Teks : Di depan kita pentas yang berkecamuk.
Sistematika : Argumen
Kutipan Teks :
1. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
2. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
3. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
4. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen.
5. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan selalu tersembunyi ketidaksadaran.
6. Bagi saya Teater Mandiri justru menunjukkan bahwa di sebuah negeri di mana tradisi dan antitradisi berbenturan (tapi juga sering berkelindan), bukan pengertian klasik itu yang berlaku.
7. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan. Sebagaimana dalam puisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang hadir dalam pentas Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi, bukan pesan, apalagi khotbah. Hal ini penting, di zaman ketika komunikasi hanya dibangun oleh pesan verbal yang itu-itu saja, yang tak lagi akrab dengan diri, hanya hasil kesepakatan orang lain yang kian asing.
Sitematika : Penegasan Ulang
Kutipan Teks :
1. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
2. Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
nama : fadel priadiva yamin
BalasHapuskelas :XII alam 4
1. Teks di atas termasuk teks esai.
2. #sistematika pernyataan pendapat. Kutipan teks : Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
#sistematika argumen. Kutipan teks :
1)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
2)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
3)Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya.
4)Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.
5)Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Sartre kemudian menyadari ia salah.
6)Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
#sistematika penegasan ulang. Kutipan teks : Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
BalasHapusNama:maria yuanita emburea
Kelas:XII mipa 4
1. Teks diatas termasuk dalam teks esai.
2.✓ Pernyataan pendapat
Di depan kita pentas yang berkecamuk juga satu suku kata meledak:grr, dor, blong, los. atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: aduh,anu. di depan kita panggung teater mandiri.Teater mandiri pekan ini berumur 40 tahun sebuah riwayat yabg tak mudah seperti hampir semua grup teater di indonesia. ia bagian dari sejarah indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan bangun dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Puti Wijaya pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai teror dengan cara sederhana.Putu tak berseru tak berpesan.ia punya pendekatan tersendiri kepada kita.
✓ Argumen
1) pada putu wijaya, kata adalah benda. kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang,sebuah kombinasi bunyi dan imaji,sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
2)ini terutama hadir dalam teater yang membuat teater mandiri akan di kenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa dimana sosok dan benda tak berarti dihadirkan.
3)Bagi saya teater ini adalah teater miskin dalam pengertian yabg berbeda dalam rumusan Jerzy Grotowski.
4)saya ingat bagaimana pada tahun 1971 Puti Wijaya memulainya.ia bekerja sebagai salah satu redaktor majalah Tempo, yang berkantor di sebuh gedubg tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang dijalan Senen raya 83, Jakarta.
✓penegasan ulang
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari "yang ada" dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama : Resky Wardana Saputra
BalasHapusKelas : XII ALAM 4
1. Teks di atas termasuk ke dalam teks esai
2. Ssitematika beserta struktur dapat di uraikan sebagai berikut :
Sistematika : Pernyataan Pendapat
Kutipan Teks : Di depan kita pentas yang berkecamuk.
Sistematika : Argumen
Kutipan Teks :
1. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
2. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
3. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
4. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen.
5. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan selalu tersembunyi ketidaksadaran.
6. Bagi saya Teater Mandiri justru menunjukkan bahwa di sebuah negeri di mana tradisi dan antitradisi berbenturan (tapi juga sering berkelindan), bukan pengertian klasik itu yang berlaku.
7. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan. Sebagaimana dalam puisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang hadir dalam pentas Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi, bukan pesan, apalagi khotbah. Hal ini penting, di zaman ketika komunikasi hanya dibangun oleh pesan verbal yang itu-itu saja, yang tak lagi akrab dengan diri, hanya hasil kesepakatan orang lain yang kian asing.
Sitematika : Penegasan Ulang
Kutipan Teks :
1. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
2. Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama: Maria Magdalena Da Costa
BalasHapuskelas: XII Alam 4
1. Teks diatas termasuk kedalam teks esay. Karena, objek kajiannya berupa fenomena dan juga tidak terdapat data-data yang dapat membuktikan kebenaran pendapat pengarang selain alasan yang berasal dari pribadi penulis sendiri atau pandangan penulis.
2. Analisislah sistematika teks berdasarkan struktur yang sesuai :
•PERNYATAAN PENDAPAT
Kutipan Teks :
Di depan kita pentas yang berkecamuk.
•ARGUMEN
Kutipan Teks :
1. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
2. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
3. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
4. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen.
5. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan selalu tersembunyi ketidaksadaran.
6. Bagi saya Teater Mandiri justru menunjukkan bahwa di sebuah negeri di mana tradisi dan antitradisi berbenturan (tapi juga sering berkelindan), bukan pengertian klasik itu yang berlaku.
7. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan. Sebagaimana dalam puisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang hadir dalam pentas Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi, bukan pesan, apalagi khotbah. Hal ini penting, di zaman ketika komunikasi hanya dibangun oleh pesan verbal yang itu-itu saja, yang tak lagi akrab dengan diri, hanya hasil kesepakatan orang lain yang kian asing.
•PENEGASAN ULANG
Kutipan Teks :
Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama : Maria Anita Soares Pereira
BalasHapusKelas : XII ALAM 4
1. Teks diatas termasuk dalam teks esai.
2. Analisis Sistematika
*Pernyataan Pendapat
1. Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
2. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
*Argumen
1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
menggebrak persepsi kita.
2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
yang tak berarti dihadirkan.
3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
Grotowski.
4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
Senen Raya 83, Jakarta.
5. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.
6. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya.
7. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
*Penegasan Ulang
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama: Valentina Motu Mau
BalasHapusKelas : Xll alam 4
1.Teks tersebut termasuk dalam teks essai
2.Sistematikanya yaitu:
a.Pernyataan pendapat
1)Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
2)Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
b.Argumen
1)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita. Ia tak mengklaim satu makna. Ia tak berarti: tak punya isi kognitif atau tak punya manfaat yang besar.
2)Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan. Mungkin sosok itu (umumnya tak bernama) si sakit yang tak jelas sakitnya. Mungkin benda itu sekaleng kecil balsem. Atau selimut—hal-hal yang dalam kisah-kisah besar dianggap sepele. Dalam teater Putu Wijaya, justru itu bisa jadi fokus.
3)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin. Putu Wijaya tak tertarik untuk berbicara tentang lapisanlapisan sosial. Teater Mandiri adalah ”teater miskin” karena ia, sebagaimana yang kemudian dijadikan semboyan kreatif Putu Wijaya, ”bertolak dari yang ada”.
4)Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.
c)Penegasan ulang
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak. Sumber: Majalah Tempo Edisi Senin, 27 Juni 2011
Nama : Maria Lydiana Sait
BalasHapusKelas : XII.A3
1. Teks diatas termasuk dalam teks esai.
2.✓ Pernyataan pendapat
Di depan kita pentas yang berkecamuk juga satu suku kata meledak:grr, dor, blong, los. atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: aduh,anu. di depan kita panggung teater mandiri.Teater mandiri pekan ini berumur 40 tahun sebuah riwayat yabg tak mudah seperti hampir semua grup teater di indonesia. ia bagian dari sejarah indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan bangun dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Puti Wijaya pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai teror dengan cara sederhana.Putu tak berseru tak berpesan.ia punya pendekatan tersendiri kepada kita.
✓ Argumen
1) pada putu wijaya, kata adalah benda. kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang,sebuah kombinasi bunyi dan imaji,sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
2)ini terutama hadir dalam teater yang membuat teater mandiri akan di kenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa dimana sosok dan benda tak berarti dihadirkan.
3)Bagi saya teater ini adalah teater miskin dalam pengertian yabg berbeda dalam rumusan Jerzy Grotowski.
4)saya ingat bagaimana pada tahun 1971 Puti Wijaya memulainya.ia bekerja sebagai salah satu redaktor majalah Tempo, yang berkantor di sebuh gedubg tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang dijalan Senen raya 83, Jakarta.
✓penegasan ulang
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari "yang ada" dari sana kreativitas yang sejati bertolak
Nama : Pasquila Fahik
BalasHapusKelas : XII ALAM 4
1. Teks diatas termasuk dalam teks esai.
2. Analisis Sistematika
*Pernyataan Pendapat
1. Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
2. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
*Argumen
1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
menggebrak persepsi kita.
2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
yang tak berarti dihadirkan.
3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
Grotowski.
4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
Senen Raya 83, Jakarta.
5. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.
6. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya.
7. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
*Penegasan Ulang
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama : Inggrid A. N. Layandi
BalasHapusKelas : XII Alam 4
1. Teks di atas termasuk ke dalam teks esai
2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai
▪Pernyataan Pendapat
1. Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
2. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
▪ Argumen
1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.
5. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
6. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu.
7. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.
8. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya.
9. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
• Penegasan Ulang
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak. Sumber: Majalah Tempo Edisi Senin, 27 Juni 2011
Nama : Megiana Manek
BalasHapusKelas. XII.ALAM.4
1. Teks diatas termasuk dalam teks esai
2.
☑️Pernyataan pendapat
Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: "Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak
☑️Argumen
Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
B saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski.
ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.
Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”
Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti.
Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.
Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, "terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai
Kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak.
kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap.
☑️Penegasan ulang
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dar "yang ada". Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama: Fatima Maria Andriani
BalasHapusKelas: XIIA 3
1. Teks di atas termasuk ke dalam teks …
Teks diatas termasuk teks esai
2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai!
✓ Pernyataan Pendapat
Kutipan Teks: Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku
kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau
dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan:
”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater
ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—
dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak
berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
✓Argumen
Kutipan Teks:
1.)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
menggebrak persepsi kita.
2.)Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
yang tak berarti dihadirkan.
3.)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
Grotowski.
4.)Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
Senen Raya 83, Jakarta.
✓Penegasan ulang
Kutipan Teks: Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”.
Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama : Maria Gracela Sandra De Beny
BalasHapusKelas : XII A4
1. Teks di atas termasuk ke dalam teks esai
2. Sitematika beserta struktur dapat di uraikan sebagai berikut :
Pernyataan Pendapat
Kutipan Teks : Di depan kita pentas yang berkecamuk.
Argumen
Kutipan Teks :
1. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
2. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
3. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
4. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen.
5. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan selalu tersembunyi ketidaksadaran.
6. Bagi saya Teater Mandiri justru menunjukkan bahwa di sebuah negeri di mana tradisi dan antitradisi berbenturan (tapi juga sering berkelindan), bukan pengertian klasik itu yang berlaku.
7. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan. Sebagaimana dalam puisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang hadir dalam pentas Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi, bukan pesan, apalagi khotbah. Hal ini penting, di zaman ketika komunikasi hanya dibangun oleh pesan verbal yang itu-itu saja, yang tak lagi akrab dengan diri, hanya hasil kesepakatan orang lain yang kian asing.
8. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
Penegasan Ulang
Kutipan Teks :
1. Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama: Sonia R. Correia
BalasHapusKelas : Xll Mipa 4
1.Teks tersebut termasuk dalam teks essai
2.Sistematikanya yaitu:
a.Pernyataan pendapat
1)Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
2)Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
b.Argumen
1)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita. Ia tak mengklaim satu makna. Ia tak berarti: tak punya isi kognitif atau tak punya manfaat yang besar.
2)Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan. Mungkin sosok itu (umumnya tak bernama) si sakit yang tak jelas sakitnya. Mungkin benda itu sekaleng kecil balsem. Atau selimut—hal-hal yang dalam kisah-kisah besar dianggap sepele. Dalam teater Putu Wijaya, justru itu bisa jadi fokus.
3)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin. Putu Wijaya tak tertarik untuk berbicara tentang lapisanlapisan sosial. Teater Mandiri adalah ”teater miskin” karena ia, sebagaimana yang kemudian dijadikan semboyan kreatif Putu Wijaya, ”bertolak dari yang ada”.
4)Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.
c)Penegasan ulang
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak. Sumber: Majalah Tempo Edisi Senin, 27 Juni 2011
NAMA : ANAGIN MARICO MENDONCA
BalasHapusKELAS : XII ALAM 4
1. Teks diatas termasuk ke dalam teks essay
2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai
# Pernyataan pendapat
Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
#Argumen
Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita. Ia tak mengklaim satu makna. Ia tak berarti: tak punya isi kognitif atau tak punya manfaat yang besar.
Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan. Mungkin sosok itu (umumnya tak bernama) si sakit yang tak jelas sakitnya. Mungkin benda itu sekaleng kecil balsem. Atau selimut—hal-hal yang dalam kisah-kisah besar dianggap sepele. Dalam teater Putu Wijaya, justru itu bisa jadi fokus.
Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin. Putu Wijaya tak tertarik untuk berbicara tentang lapisanlapisan sosial. Teater Mandiri adalah ”teater miskin” karena ia, sebagaimana yang kemudian dijadikan semboyan kreatif Putu Wijaya, ”bertolak dari yang ada”.
Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta. Siang hari ia akan bertugas sebagai wartawan. Malam hari, ketika kantor sepi, ia akan menggunakan ruangan yang terbatas dan sudah aus itu untuk latihan teater.
#Penegasan Ulang
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama : Anagin Marici Mendonca
BalasHapusKelas : XII Alam 4
1. Teks diatas termasuk ke dalam teks essay
2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai
#Pernyataan pendapat
Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
# Argumen
Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita. Ia tak mengklaim satu makna. Ia tak berarti: tak punya isi kognitif atau tak punya manfaat yang besar.
Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan. Mungkin sosok itu (umumnya tak bernama) si sakit yang tak jelas sakitnya. Mungkin benda itu sekaleng kecil balsem. Atau selimut—hal-hal yang dalam kisah-kisah besar dianggap sepele. Dalam teater Putu Wijaya, justru itu bisa jadi fokus.
Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin. Putu Wijaya tak tertarik untuk berbicara tentang lapisanlapisan sosial. Teater Mandiri adalah ”teater miskin” karena ia, sebagaimana yang kemudian dijadikan semboyan kreatif Putu Wijaya, ”bertolak dari yang ada”.
Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta. Siang hari ia akan bertugas sebagai wartawan. Malam hari, ketika kantor sepi, ia akan menggunakan ruangan yang terbatas dan sudah aus itu untuk latihan teater.
#Penegasan Ulang
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama : Maria Meditha Loi
BalasHapusKelas : XII.A.4
1. Teks tersebut termasuk ke
dalam Esai.
2. Sistematika teks :
✳ Pernyataan Pendapat
Kutipan teks :
Di depan kita pentas yang .
berkecamuk. Juga satu.
suku kata yang meledak:
”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”.
Atau dua suku kata yang
mengejutkan dan
membingungkan:
”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita:
panggung Teater Mandiri.
Teater Mandiri pekan ini
berumur 40 tahun—sebuah
riwayat yang tak mudah,
seperti hampir semua grup
teater di Indonesia. Ia
bagian dari sejarah
Indonesia
yang sebenarnya penting.
sebagai bagian dari cerita
pembangunan ”bangun”
dalam arti jiwa yang tak
lelap tertidur. Putu Wijaya,
pendiri. dan tiang utama
teater ini, melihat peran
pembangunan ini sebagai
”teror”— dengan cara yang
sederhana. Putu tak berseru,
tak berpesan. Ia punya.
pendekatan tersendiri
kepada kata.
✳ Argumen
Kutipan teks :
1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski.
4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.
5. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
6. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti.
7. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.
8. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak.
9. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap.
✳ Penegasan Ulang
Kutipan teks :
Sebab yang tak terkatakan
juga bagian dari ”yang ada”.
Dari sana kreativitas yang
sejati bertolak.
Nama : Agnes Elisabeth Ena
BalasHapusKelas : XII Alam 4
1. Teks diatas termasuk dalam teks esai.
2. Analisis Sistematika
~ Pernyataan Pendapat
1. Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
2. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
~ Argumen
1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
menggebrak persepsi kita.
2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
yang tak berarti dihadirkan.
3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
Grotowski.
4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
Senen Raya 83, Jakarta.
5. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.
6. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya.
7. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
~ Penegasan Ulang
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak
NAMA : Seno M Pallawagau
BalasHapusKELAS : XII Alam 4
1. Teks di atas termasuk ke dalam teks esai
2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai
• PERNYATAAN PENDAPAT
1. Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
2. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
• ARGUMEN
1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.
5. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
6. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu.
7. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.
8. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya.
9. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
• PENEGASAN ULANG
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak. Sumber: Majalah Tempo Edisi Senin, 27 Juni 2011
Nama : Maria D. C Asy
BalasHapuskelas : XllA³
1. Teks diatas termasuk kedalam teks esay.
2.analisah sistematika teks tersebut yaitu:
*️⃣Pernyataan Pendapat
Kutipan Teks: Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku
kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau
dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan:
”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater
ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—
dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak
berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
*️⃣Argumen
Kutipan Teks:
1.)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
menggebrak persepsi kita.
2.)Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
yang tak berarti dihadirkan.
3.)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
Grotowski.
4.)Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
Senen Raya 83, Jakarta.
*️⃣Penegasan ulang
Kutipan Teks: Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”.
Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama: Maria Karini Saputri
BalasHapusKelas: XII Mipa 3
1. Teks di atas termasuk ke dalam teks esai
2.struktur teks :
✧Pernyataan Pendapat
Kutipan Teks: Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku
kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau
dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan:
”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater
ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—
dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak
berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
✧Argumen
Kutipan Teks:
1.)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
menggebrak persepsi kita.
2.)Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
yang tak berarti dihadirkan.
3.)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
Grotowski.
4.)Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
Senen Raya 83, Jakarta.
✧Penegasan ulang
Kutipan Teks: Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”.
Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama : crisanta mathilda dita bina
BalasHapusKelas : XII ALAM 3
no absen : 09
1. Teks diatas termasuk ke dalam teks essay
2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai
π Pernyataan pendapat
Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
π Argumen
Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita. Ia tak mengklaim satu makna. Ia tak berarti: tak punya isi kognitif atau tak punya manfaat yang besar.
Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan. Mungkin sosok itu (umumnya tak bernama) si sakit yang tak jelas sakitnya. Mungkin benda itu sekaleng kecil balsem. Atau selimut—hal-hal yang dalam kisah-kisah besar dianggap sepele. Dalam teater Putu Wijaya, justru itu bisa jadi fokus.
Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin. Putu Wijaya tak tertarik untuk berbicara tentang lapisanlapisan sosial. Teater Mandiri adalah ”teater miskin” karena ia, sebagaimana yang kemudian dijadikan semboyan kreatif Putu Wijaya, ”bertolak dari yang ada”.
Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta. Siang hari ia akan bertugas sebagai wartawan. Malam hari, ketika kantor sepi, ia akan menggunakan ruangan yang terbatas dan sudah aus itu untuk latihan teater.
π Penegasan Ulang
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak
Nama: Fransiska W.B.Noka
BalasHapusKelas: XII Alam 4
1. *Teks diatas termasuk kedalam teks esai
2. * pernyataan pendapat
Di depan kita pentas yg bekecamuk juga satu suku kata yang meledak. Grrr, dor, blong, los. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan aduh, anu. Didepan kita panggung teater mandiri. Teater mandiri tahun ini berumur 40 tahun sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di indonesia. Ia bagian dari sejarah indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari sejarah indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan bangun dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan sebagai teror dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kita.
* argumen
1. Pada putu wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imajinasi, sesuatu yg fisik yg menggebrak persepsi kita.
2. Ini terutama hadir dalam teaternya yang membuat teater mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, dimana sosok dan benda yang tak berarti di hadirkan.
3. Bagi sy teater ini adalah teater miskin dalam pengertian yang berbeda
4 . Saya ingin bagaimna pada tahun 1971, putu wijaya memulainya ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah tempo, yang berkantor disebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang dijalan senen raya jakarta
* penegasan ulang
Sebeb yang tak terkatakan juga bagian dari yang ada dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama : Lucia Filianes Funan Lamba
BalasHapusKelas : XII MIPA 4
1. Teks di atas πtermasuk ke dalam teks …
Jawab: Teks Geer karya Gunawan Muhammad tersebut termasuk ke dalam teks esai.
2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai!
Jawab:
Berikut analisis sistematika teks Geer karya Gunawan Muhammad :
* Pernyataan Pendapat
1. Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
2. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
*Argumen
1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita. Ia tak mengklaim satu makna. Ia tak berarti: tak punya isi kognitif atau tak punya manfaat yang besar.
2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin. Putu Wijaya tak tertarik untuk berbicara tentang lapisanlapisan sosial.
4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.
5. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri. Juga teater yang hidup dari tarikmenarik antara patos dan humor, antara suasana yang terbangun utuh dan disintegrasi yang segera mengubah keutuhan itu.
6. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen.
7. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.
8. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan.
9. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu.
* Penegasan Ulang
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama: Andreas Tadon Bota
BalasHapusKelas : xii alam 4
1. Teks di atas termasuk ke dalam teks esai
2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai
▪Pernyataan Pendapat
1. Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
2. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
▪ Argumen
1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.
5. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
6. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu.
7. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.
8. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya.
9. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
▪ Penegasan Ulang
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama: Maria Melita Bauk
BalasHapusKelas: XII MIPA 3
1 . teks di atas merupakan sebuah teks essay karena dalam setiap kalimatnya terdapat prosa dan cukup singkat serta memiliki ciri khasnya
2. Analisis sistematik teks
a. PERNYATAAN PENDAPAT
Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
b. ARGUMEN
1. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta. Siang hari ia akan bertugas sebagai wartawan. Malam hari, ketika kantor sepi, ia akan menggunakan ruangan yang terbatas dan sudah aus itu untuk latihan teater. Dan ia akan mengajak siapa saja: seorang tukang kayu muda yang di waktu siang memperbaiki bangunan kantor, seorang gelandangan tua yang tiap malam istirahat di pojok jalan itu, seorang calon fotograf yang gagap. Ia tak menuntut mereka untuk berakting dan mengucapkan dialog yang cakap. Ia membuat mereka jadi bagian teater sebagai peristiwa, bukan hanya cerita.
2. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu.
3. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan. Sebagaimana dalam puisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang hadir dalam pentas Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi, bukan pesan, apalagi khotbah. Hal ini penting, di zaman ketika komunikasi hanya dibangun oleh pesan verbal yang itu-itu saja, yang tak lagi akrab dengan diri, hanya hasil kesepakatan orang lain yang kian asing.
c. PENEGASAN ULANG :Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak. Sumber: Majalah Tempo Edisi Senin, 27 Juni 2011
Nama : Theresia R. Tubani
BalasHapusKelas : Xll Alam 4
1. Teks di atas termasuk teks Esai
2. Analisa sistematika teks :
*Pernyataan pendapat :
1) Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
2) Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
*Argumen :
1) Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
2) Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
3) Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski.
4) Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.
5) Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.
6) Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya.
7) Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu
*Penegasan Ulang :
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak. Sumber: Majalah Tempo Edisi Senin, 27 Juni 2011
Nama : Viktoria A L Nena
BalasHapusKelas : 12 alam 4
ang hari ia akan bertugas sebagai wartawan. Malam hari, ketika kantor sepi, ia akan menggunakan ruangan yang terbatas dan sudah aus itu untuk latihan teater.
#Penegasan Ulang
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
BALAS
Maria Meditha Loi5 Februari 2021 19.18
Nama : Maria Meditha Loi
Kelas : XII.A.4
1. Teks tersebut termasuk ke
dalam Esai.
2. Sistematika teks :
✳ Pernyataan Pendapat
Kutipan teks :
Di depan kita pentas yang .
berkecamuk. Juga satu.
suku kata yang meledak:
”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”.
Atau dua suku kata yang
mengejutkan dan
membingungkan:
”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita:
panggung Teater Mandiri.
Teater Mandiri pekan ini
berumur 40 tahun—sebuah
riwayat yang tak mudah,
seperti hampir semua grup
teater di Indonesia. Ia
bagian dari sejarah
Indonesia
yang sebenarnya penting.
sebagai bagian dari cerita
pembangunan ”bangun”
dalam arti jiwa yang tak
lelap tertidur. Putu Wijaya,
pendiri. dan tiang utama
teater ini, melihat peran
pembangunan ini sebagai
”teror”— dengan cara yang
sederhana. Putu tak berseru,
tak berpesan. Ia punya.
pendekatan tersendiri
kepada kata.
✳ Argumen
Kutipan teks :
1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski.
4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai ya
5. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
6. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti.
7. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.
8. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak.
9. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap.
✳ Penegasan Ulang
Kutipan teks :
Sebab yang tak terkatakan
juga bagian dari ”yang ada”.
Dari sana kreativitas yang
sejati bertolak.
Nama: Viktoria A L Nena
BalasHapusKelas : 12 alam 4
1. Teks tersebut termasuk ke
dalam Esai.
2. Sistematika teks :
✳ Pernyataan Pendapat
Kutipan teks :
Di depan kita pentas yang .
berkecamuk. Juga satu.
suku kata yang meledak:
”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”.
Atau dua suku kata yang
mengejutkan dan
membingungkan:
”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita:
panggung Teater Mandiri.
Teater Mandiri pekan ini
berumur 40 tahun—sebuah
riwayat yang tak mudah,
seperti hampir semua grup
teater di Indonesia. Ia
bagian dari sejarah
Indonesia
yang sebenarnya penting.
sebagai bagian dari cerita
pembangunan ”bangun”
dalam arti jiwa yang tak
lelap tertidur. Putu Wijaya,
pendiri. dan tiang utama
teater ini, melihat peran
pembangunan ini sebagai
”teror”— dengan cara yang
sederhana. Putu tak berseru,
tak berpesan. Ia punya.
pendekatan tersendiri
kepada kata.
✳ Argumen
Kutipan teks :
1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski.
4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.
5. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
6. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti.
7. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.
8. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak.
9. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap.
✳ Penegasan Ulang
Kutipan teks :
Sebab yang tak terkatakan
juga bagian dari ”yang ada”.
Dari sana kreativitas yang
sejati bertolak.
Nama : Magdalena C. Soi Bau
BalasHapusKelas : Xll Alam 3
1. Teks tersebut termasuk esai sastra karena si pengarang, Gunawan Muhamad membuat sebuah karangan prosa yang membahas suatu masalah dengan dengan sudut pandang pribadi penulis.
2. Sistematikanya yaitu :
A. Pernyataan Pendapat
"Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata."
B. Argumen
1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita. Ia tak mengklaim satu makna. Ia tak berarti: tak punya isi kognitif atau tak punya manfaat yang besar.
2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan. Mungkin sosok itu (umumnya tak bernama) si sakit yang tak jelas sakitnya. Mungkin benda itu sekaleng kecil balsem. Atau selimut—hal-hal yang dalam kisah-kisah besar dianggap sepele. Dalam teater Putu Wijaya, justru itu bisa jadi fokus.
3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin. Putu Wijaya tak tertarik untuk berbicara tentang lapisanlapisan sosial. Teater Mandiri adalah ”teater miskin” karena ia, sebagaimana yang kemudian dijadikan semboyan kreatif Putu Wijaya, ”bertolak dari yang ada”.
Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta. Siang hari ia akan bertugas sebagai wartawan. Malam hari, ketika kantor sepi, ia akan menggunakan ruangan yang terbatas dan sudah aus itu untuk latihan teater. Dan ia akan mengajak siapa saja: seorang tukang kayu muda yang di waktu siang memperbaiki bangunan kantor, seorang gelandangan tua yang tiap malam istirahat di pojok jalan itu, seorang calon fotograf yang gagap. Ia tak menuntut mereka untuk berakting dan mengucapkan dialog yang cakap. Ia membuat mereka jadi bagian teater sebagai peristiwa, bukan hanya cerita.
4. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri. Juga teater yang hidup dari tarikmenarik antara patos dan humor, antara suasana yang terbangun utuh dan disintegrasi yang segera mengubah keutuhan itu.
5. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan selalu tersembunyi ketidaksadaran.
C. Penegasan
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak. Sumber: Majalah Tempo Edisi Senin, 27 Juni 2011
Anggelina Bernardin Bria
BalasHapusXII MIPA 4
1. Teks tersebut termasuk dalam teks esai
2. Analisi sistematika teks
Pernyataan pendapat
Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia.
Argumen
1). Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
2) Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
3) Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin. Putu Wijaya tak tertarik untuk berbicara tentang lapisanlapisan sosial.
4) Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta. Siang hari ia akan bertugas sebagai wartawan. Dan ia akan mengajak siapa saja.Ia membuat mereka jadi bagian teater sebagai peristiwa, bukan hanya cerita.
6) Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
7) Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan selalu tersembunyi ketidaksadaran.
8) Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”. Bagi saya Teater Mandiri justru menunjukkan bahwa di sebuah negeri di mana tradisi dan antitradisi berbenturan (tapi juga sering berkelindan), bukan pengertian klasik itu yang berlaku.
9) Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan.
10) Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
Penegasan ulang
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak. Sumber: Majalah Tempo Edisi Senin, 27 Juni 2011
NAMA: ROSWITA IMELDA I EMBULA
BalasHapusKELAS: XII ALAM 4
1. Teks tersebut termasuk ke
dalam Esai.
2. Sistematika teks :
● Pernyataan Pendapat
Kutipan teks :
Di depan kita pentas yang .
berkecamuk. Juga satu.
suku kata yang meledak:
”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”.
Atau dua suku kata yang
mengejutkan dan
membingungkan:
”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita:
panggung Teater Mandiri.
Teater Mandiri pekan ini
berumur 40 tahun—sebuah
riwayat yang tak mudah,
seperti hampir semua grup
teater di Indonesia. Ia
bagian dari sejarah
Indonesia
yang sebenarnya penting.
sebagai bagian dari cerita
pembangunan ”bangun”
dalam arti jiwa yang tak
lelap tertidur. Putu Wijaya,
pendiri. dan tiang utama
teater ini, melihat peran
pembangunan ini sebagai
”teror”— dengan cara yang
sederhana. Putu tak berseru,
tak berpesan. Ia punya.
pendekatan tersendiri
kepada kata.
●Argumen
Kutipan teks :
1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski.
4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.
5. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
6. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti.
7. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.
8. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak.
9. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap.
●Penegasan Ulang
Kutipan teks :
Sebab yang tak terkatakan
juga bagian dari ”yang ada”.
Dari sana kreativitas yang
sejati bertolak.
Nama : Noviana Trysusela soi
BalasHapusKelas : Xll. Alam3
1. Teks diatas termasuk dalam teks esai
2. Sistematika teks tersebut adalah
* Peryataan pendapat
Kutipan teks : Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku yang meledak: "Grrr","Dor", "Blong", "Los". Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan : "Aduh", "Anu". Di depan kita panggung teater mandiri.
Teater mandiri pekan ini berumur 40- Tahun sebuah riwayat yang tak mudah , seperti hampir semua grup teater di Indonesia.Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembagunan " bangun" dalam arti jiwa yang tak lelep tertidur. Putu Wijaya , pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembagunan ini sebagai " teror" dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kita.
** Argumen
Kutipan teks :
1. Pada Putu Wijaya , kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
2. Ini terutama hadir dalam teaternya- yang membuat Teater mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa , dimana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
3. Bagi saya, teater ini adalah " teater miskin" dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski.
4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971. Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu derektur mejalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di jalan Senen Raya 83. Jakarta.
*** Penegasan ulang
Kutipan teks:
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari " yang ada " . Dari sana kreativitas yang bertolak.
Nama : Mariani j.a.langgut
BalasHapusKelas. : XII.A3
1. Teks di atas termasuk ke dalam teks …
Teks diatas termasuk teks esai
2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai!
π Pernyataan Pendapat
Kutipan Teks: Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku
kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau
dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan:
”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater
ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—
dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak
berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
π Argumen
Kutipan Teks:
1.)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
menggebrak persepsi kita.
2.)Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
yang tak berarti dihadirkan.
3.)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
Grotowski.
4.)Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
Senen Raya 83, Jakarta.
π Penegasan ulang
Kutipan Teks: Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”.
Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Kelas : Xll A4
1. Teks di atas termasuk ke dalam teks Esai
2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai
Sistematika.
▪️Pernyataan pendapat
Kutipan teks :
Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata."
▪️Argumen
1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita. Ia tak mengklaim satu makna. Ia tak berarti: tak punya isi kognitif atau tak punya manfaat yang besar.
2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan. Mungkin sosok itu (umumnya tak bernama) si sakit yang tak jelas sakitnya. Mungkin benda itu sekaleng kecil balsem. Atau selimut—hal-hal yang dalam kisah-kisah besar dianggap sepele. Dalam teater Putu Wijaya, justru itu bisa jadi fokus.
3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin. Putu Wijaya tak tertarik untuk berbicara tentang lapisanlapisan sosial. Teater Mandiri adalah ”teater miskin” karena ia, sebagaimana yang kemudian dijadikan semboyan kreatif Putu Wijaya, ”bertolak dari yang ada”.
Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta. Siang hari ia akan bertugas sebagai wartawan. Malam hari, ketika kantor sepi, ia akan menggunakan ruangan yang terbatas dan sudah aus itu untuk latihan teater. Dan ia akan mengajak siapa saja: seorang tukang kayu muda yang di waktu siang memperbaiki bangunan kantor, seorang gelandangan tua yang tiap malam istirahat di pojok jalan itu, seorang calon fotograf yang gagap. Ia tak menuntut mereka untuk berakting dan mengucapkan dialog yang cakap. Ia membuat mereka jadi bagian teater sebagai peristiwa, bukan hanya cerita.
4. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri. Juga teater yang hidup dari tarikmenarik antara patos dan humor, antara suasana yang terbangun utuh dan disintegrasi yang segera mengubah keutuhan itu.
5. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan selalu tersembunyi ketidaksadaran.
▪️Penegasan ulang
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Nama : Christasula Meysi Muti Mali
BalasHapusKelas : XII Alam 3
1. Teks diatas termasuk ke dalam teks essai
2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai:
> Pernyataan pendapat
Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
> Argumen
Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita. Ia tak mengklaim satu makna. Ia tak berarti: tak punya isi kognitif atau tak punya manfaat yang besar.
Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan. Mungkin sosok itu (umumnya tak bernama) si sakit yang tak jelas sakitnya. Mungkin benda itu sekaleng kecil balsem. Atau selimut—hal-hal yang dalam kisah-kisah besar dianggap sepele. Dalam teater Putu Wijaya, justru itu bisa jadi fokus.
Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin. Putu Wijaya tak tertarik untuk berbicara tentang lapisanlapisan sosial. Teater Mandiri adalah ”teater miskin” karena ia, sebagaimana yang kemudian dijadikan semboyan kreatif Putu Wijaya, ”bertolak dari yang ada”.
Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta. Siang hari ia akan bertugas sebagai wartawan. Malam hari, ketika kantor sepi, ia akan menggunakan ruangan yang terbatas dan sudah aus itu untuk latihan teater.
> Penegasan Ulang
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertol
Nama : Maria septima manek
BalasHapusKelas : XII. A4
1. Teks diatas termasuk teks
esai
2. Berikut analisis sistematika
teks diatas....
● pernyataan pendapat
1. Didepan kita pentas
yang berkecamuk. Juga
satu suku kata yang
meledak: ”Grrr”, ”Dor”,
”Blong”, ”Los”. Atau dua
suku kata yang
mengejutkan dan
membingungkan: Aduh”,
”Anu”. Di depan kita:
panggung Teater
Mandiri.
2. Teater Mandiri pekan ini
berumur 40 tahun—
sebuah riwayat yang tak
mudah, seperti hampir
semua grup teater di
Indonesia. Ia bagian dari
sejarah Indonesia
yang sebenarnya penting
sebagai bagian dari
cerita pembangunan
”bangun” dalam arti jiwa
yang tak lelap tertidur.
Putu Wijaya, pendiri dan
tiang utama teater
ini, melihat peran
pembangunan ini
sebagai ”teror”—dengan
cara yang sederhana.
Putu tak berseru, tak
berpesan. Ia punya
pendekatan tersendiri
kepada kata.
3. Bagi saya, teater ini
adalah ”teater miskin”
dalam pengertian yang
Berbeda dengan rumusan
Jerzy Grotowski. Bukan
karena ia hanya bercerita
tentang kalangan miskin.
Putu Wijaya tak tertarik
untuk berbicara tentang
lapisanlapisan sosial.
Teater Mandiri adalah
”teater miskin” karena ia,
sebagaimana yang
kemudian dijadikan
semboyan
kreatif Putu Wijaya,
”bertolak dari yang ada”.
● Argumen
1. Pada Putu Wijaya, kata
adalah benda. Kata
adalah materi yang punya
volume di sebuah ruang,
sebuah kombinasi bunyi
dan imaji, sesuatu yang
fisik yang menggebrak
persepsi kita. Ia tak
mengklaim satu makna.
Ia tak berarti: tak punya
isi kognitif atau tak punya
manfaat yang besar.
Ini terutama hadir dalam
teaternya—yang
membuat Teater Mandiri
akan dikenang sebagai
contoh terbaik teater
sebagai peristiwa, di
mana sosok dan benda
yang tak berarti
dihadirkan. Mungkin
sosok itu (umumnya tak
bernama) si sakit yang
tak jelas sakitnya.
Mungkin benda itu
sekaleng kecil balsem.
Atau selimut—hal-hal
yang dalam kisah-kisah
besar dianggap sepele.
Dalam teater Putu Wijaya,
justru itu bisa jadi fokus.
3. ya ingat bagaimana pada
tahun 1971, Putu Wijaya
memulainya. Ia bekerja
sebagai salah satu
redaktur majalah Tempo,
yang berkantor di sebuah
gedung tua bertingkat
dua dengan lantai yang
goyang di Jalan Senen
Raya 83, Jakarta. Siang
hari ia akan bertugas
sebagai wartawan.
Malam hari, ketika kantor
sepi, ia akan
menggunakan ruangan
yang terbatas dan sudah
aus itu untuk latihan
teater. Dan ia akan
mengajak siapa saja:
seorang tukang kayu
muda yang di waktu
siang memperbaiki
bangunan kantor, seorang
gelandangan tua yang
tiap malam istirahat di
pojok jalan itu, seorang
calon fotograf yang
gagap. Ia
tak menuntut mereka
untuk berakting dan
mengucapkan dialog
yang cakap. Ia membuat
mereka jadi bagian teater
sebagai peristiwa, bukan
hanya cerita.
● Penegasan ulang
Sebab yang tak terkatakan
juga bagian dari ”yang
ada”. Dari sana kreativitas
yang sejati bertolak.