Selasa, 02 Februari 2021

PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA KELAS XII SEMESTER 2

 



SISTEMATIKA PENYUSUNAN KRITIK DAN ESAI SASTRA

OLEH

MUH. HASYIM


Sebuah kritik sastra mempunyai beberapa ciri, antara lain:

1.    Memberikan tanggapan terhadap objek kajian (hasil karya sastra)
2.    Memberikan pertimbangan baik dan buruk sebuah karya sastra
3.    Bersifat objektif
4.    Memberikan solusi atau kritik-konstruktif
5.    Tidak menduga-duga
6.    Memaparkan penilaian pribadi tanpa memuat ide-ide.

Sedangkan secara umum, esai memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Merupakan prosa. Artinya dalam bentuk komunikasi tertulis berisi gagasan.
  2. Singkat. Maksudnya dapat dibaca dengan santai dalam waktu yang relatif singkat.
  3. Memiliki ciri khas. Seorang penulis esai yang baik memiliki karakter tulisan yang khas yang membedakannya dengan tulisan orang lain.
  4. Selalu tidak utuh. Artinya penulis memilih segi-segi yang penting dan menarik dari objek dan subjek yang hendak ditulis.
  5. Bersifat subjektif.

Dalam penilaian diri pada pertemuan minggu lalu masih ada peserta didik yang mencentang tidak pada soal nomor 3 dan 5. Baiklah, sebelum kita melakukan literasi tentang sistematika, terlebih dahulu diingatkan lagi tentang πŸ‘‰ (bentuk kritik dan esai sastra.(3) dan (mengenali kritik mimetik, kritik pragmatis, kritik ekspresif, dan kritik objektif.(5)). 

  1. Kritik mimetik adalah bentuk kritik yang memandang kaya sastra sebagai tiruan aspek alam atau paham yang menganggap sastra merupakan gambaran kehidupan dunia.
  2. Kritik pragmatis adalah bentuk kritik  yang memandang karya sastra sebagai sesuatu yang dibangun dari efek pendengar dan pembaca yang meliputi kesengan, estetis, pendidikan, dan lainnya.
  3. Kritik  ekspresif adalah bentuk kritik yang memandang karya sastra sebagai ekspresi, curahan perasaan, atau imajinasi dari diri pengarang.
  4. Kritik objektif adalah bentuk kritik yang menggunakan pendekatan atau pandangan bahwa karya sastra memiliki struktur yang utuh. Misalnya pertimbangan baik buruk terhadap kemampuan seseorang dalam menampilkan suatu karya di teater.

Baiklah. Selanjutnya kita bersama melihat RPP berikut iniπŸ‘Ž


Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Bahasa Indonesia

Pertemuan ke1212

 

Nama Sekolah                 :SMA Negeri 1 Atambua

Mata Pelajaran              : Bahasa Indonesia

Kelas/ Semester              : XII/Genap

Tahun Pelajaran            : 2020/ 2021

Alokasi Waktu                :2 JP x 10 minggu (20 x Pertemuan)

 

A.      Kompetensi Dasar

Membandingkan kritik sastra dan esai dari aspek pengetahuan dan pandangan penulis

Mengonstruksi sebuah kritik atau esai dengan memerhatikan sistematika dan kebahasaan baik secara lisan maupun tulis

B.      Tujuan  Pembelajaran

Siswa dapat Mengidentifikasi hasil kritik dan esai sastra

C.      Materi Pembelajaran

sistematika penyusunan kritik dan esai sastra

D.      MetodePembelajaran

demonstrasi

Kegiatan Pembelajaran

1.   Pendahuluan (15 12Menit)

   Guru mengucapkan salam saat masuk kelas dan menanyakan keadaan peserta didik

   Guru dan Peserta didik berdoa bersama dan menyanyikan lagu wajib Nasional

   Guru mengecek kehadiran siswadan memberi motivasi (yel-yel)

   Guru menyampaikan tujuan dan manfaat pembelajaran tentang topik yang akan dibahas

   Guru menyampaikan garis besar cakupan materi dan langkah pembelajaran serta memberikan apersepsi entang materi yang akan dipelajari

2.   Kegiatan Inti (60 Membandingkan kritik sastra dan esai dari aspek pengetahuan dan pandangan penulisMenit)

   Literasi : Peserta didik diberi motivasi dan panduan untuk melihat, mengamati, membaca dan menuliskannya kembali. Mereka diberi tayangan dan bahan bacaan terkait materi tentangkerangka tulis kritik dan esai sastra

   Berpikir Kritis : Guru memberikan kesempatan untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin hal yang belum dipahami, dimulai dari pertanyaan faktual sampai ke pertanyaan yang bersifat hipotetik.

   Kolaborasi : Peserta didik dibentuk dalam beberapa kelompok untuk mendiskusikan, mengumpulkan informasi, mempresentasikan ulang, dan saling bertukar informasi.

   Komunikasi : Peserta didik mempresentasikan hasil kerja kelompok atau individu, mengemukakan pendapat atas presentasi yang dilakukan kemudian ditanggapi kembali oleh kelompok atau individu yang mempresentasikan.

   Kreatif : Guru dan peserta didik membuat kesimpulan tentang hal-hal yang telah dipelajari. Peserta didik kemudian diberi kesempatan untuk menanyakan kembali hal-hal yang belum dipahami.

3.Penutup (15 Menit)

   Guru bersama peserta didik merefleksikan pengalaman belajar

   Guru memberikan penilaian lisan secara acak dan singkat

   Guru memberikan penugasan kepada siswa yang berhubungan materi yang telah disampaikan

   Guru menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya dan berdoa.

E.      Alat dan Sumber Belajar

1.       Alat/bahan:Papantulis, Spidol, Laptop/computer, LCD Proyektor, Handphone

2.       Sumber/media:

   BukuBahasa Indonesia  Kelas XII Penerbit Intan Pariwara, Ika Setyaningsih dkk

   Internet http://gg.gg/bindosmansa


F.       PenilaianHasilBelajar

InstrumenPenilaian

Teknik Penilaian

   Sikap :Lembar pengamatan/observasi

   Pengetahuan :Tes tertulis, tes lisan, observasi terhadap diskusi, tanya jawab dan percakapan serta penugasan

   Keterampilan :Penilaian unjuk kerja, proyek, produk dan portofolio

­­­

Z

Mengetahui,

KepalaSMA Negeri 1 Atambua,

 

 

Drs.Marianus Antoni

NIP.196203051994121001

   Atambua, 3 Februari 2021

Tim Guru Mata Pelajaran Bindo,

  1.        Muh. Hasyim, S.Pd

                                                                                                      NIP. 196902071998021003

 

 

 

 

 

 2.        Dra. Rita Utami

 NIP. 196611231994032006








BAHAN AJAR
oleh
 MUH. HASYIM

Perhatikan hasil analisis sistematika teks kritik sastra Capaian Eksperimen Novel Lelaki Harimau” berikut ini. Sistematika Kutipan teks Pernyataan pendapat ... Sebuah novel yang juga masih memendam semangat eksperimen. Berbeda dengan Cantik itu Luka yang mengandalkan kekuatan narasi yang seperti lepas kendali dan deras menerjang apa saja, Lelaki Harimau memperlihatkan penguasaan diri narator yang dingin terkendali, penuh pertimbangan, dan kehati-hatian. Argumen 1. Di sana, ada semacam kompromi antara semangat eksperimen dengan hasratnya untuk tidak terlalu memberi beban berat bagi pembaca. Rangkaian kalimat panjang yang melelahkan itu, diolah dalam kemasan yang lain sebagai alat untuk membangun peristiwa. 2. Secara tematik, Lelaki Harimau tidaklah mengusung tema besar, pemikiran fi lsafat, atau fakta historis. Ia berkisah tentang kehidupan masyarakat di sebuah desa kecil. 3. Pencerita seperti sengaja tidak membiarkan dirinya berdiri terpaku pada satu titik. Ia menyoroti satu tokoh. Kemudian, secara perlahan beralih ke tokoh lain. 4. Meski begitu, Lelaki Harimau, dilihat dari sudut itu, tetap saja menghadirkan kekhasannya sendiri. Selain pola alur yang demikian, Eka menggunakan kalimat-kalimat itu sebagai pintu masuk menghadirkan rangkaian peristiwa. 

Hal lain yang juga ditampilkan Eka dalam novel ini menyangkut cara bertuturnya yang agak janggal, tetapi benar secara semantis. Ia banyak menghadirkan metafora yang terasa agak aneh, tetapi tidak menyalahi makna semantisnya. 
Penegasan ulang 
Dalam beberapa hal, Lelaki Harimau harus diakui, berhasil memperlihatkan sejumlah capaian. Ia menjelma tak sekadar mengandalkan imajinasi, tetapi juga bertumpu lewat proses berpikir dan tindak eksploratif kalimat dengan berbagai kemungkinannya.
Perhatikan contoh analisis sistematika teks esai ”Batman” berikut ini! 
Sistematika Kutipan teks Pernyataan pendapat Batman tak pernah satu, maka ia tak berhenti. Argumen 1. Tiap kali, kita memang bisa mengidentifi kasinya dari sebuah topeng kelelawar yang itu-itu juga. Tapi tiap kali ia dilahirkan kembali sebagai sebuah jawaban baru terhadap tantangan baru. Sebab selalu ada hubungan dengan halihwal yang tak berulang, tak terduga—dengan ancaman penjahat besar The Joker atau Bane, dalam krisis Kota Gotham yang berbeda-beda. 2. Sebab itu, Batman bisa bercerita tentang asal mula, tetapi asal mula dalam posisinya yang bisa diabaikan: wujud yang pertama tak menentukan sah atau tidaknya wujud yang kedua dan terakhir. Wujud yang kedua dan terakhir bukan cuma sebuah fotokopi dari yang pertama. 3. Satu topeng, satu nama—sebuah sintesis dari variasi yang banyak itu. Tapi sintesis itu berbeda dengan penyatuan. 
Penegasan ulang Walhasil, akhirnya selalu harus ada kesadaran akan batas tafsir. Akan selalu ada yang tak akan terungkap—dan bersama itu, akan selalu ada Gotham yang terancam kekacauan dan keambrukan. Itu sebabnya dalam “The Dark Knight Rises”, Inspektur Gordon tetap mau menjaga misteri Batman, biarpun dikabarkan Bruce Wayne sudah mati. Dengan demikian bahkan penjahat yang tecerdik sekalipun tak akan bisa mengklaim ”aku tahu”.

D. Latihan Soal 
Bacalah teks di bawah ini πŸ‘‡dengan saksama! 

Gerr 
Oleh: Gunawan Muhammad 
  1. Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri. 
  2. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata. 
  3. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita. Ia tak mengklaim satu makna. Ia tak berarti: tak punya isi kognitif atau tak punya manfaat yang besar. 
  4. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan. Mungkin sosok itu (umumnya tak bernama) si sakit yang tak jelas sakitnya. Mungkin benda itu sekaleng kecil balsem. Atau selimut—hal-hal yang dalam kisah-kisah besar dianggap sepele. Dalam teater Putu Wijaya, justru itu bisa jadi fokus. 
  5. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin. Putu Wijaya tak tertarik untuk berbicara tentang lapisanlapisan sosial. Teater Mandiri adalah ”teater miskin” karena ia, sebagaimana yang kemudian dijadikan semboyan kreatif Putu Wijaya, ”bertolak dari yang ada”. 
  6. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta. Siang hari ia akan bertugas sebagai wartawan. Malam hari, ketika kantor sepi, ia akan menggunakan ruangan yang terbatas dan sudah aus itu untuk latihan teater. Dan ia akan mengajak siapa saja: seorang tukang kayu muda yang di waktu siang memperbaiki bangunan kantor, seorang gelandangan tua yang tiap malam istirahat di pojok jalan itu, seorang calon fotograf yang gagap. Ia tak menuntut mereka untuk berakting dan mengucapkan dialog yang cakap. Ia membuat mereka jadi bagian teater sebagai peristiwa, bukan hanya cerita.
  7. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri. Juga teater yang hidup dari tarikmenarik antara patos dan humor, antara suasana yang terbangun utuh dan disintegrasi yang segera mengubah keutuhan itu. 
  8. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan selalu tersembunyi ketidaksadaran. 
  9. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”. Saya kira ia salah. Ia mungkin berpikir tentang keindahan dalam pengertian klasik, di mana tata amat penting. Bagi saya Teater Mandiri justru menunjukkan bahwa di sebuah negeri di mana tradisi dan antitradisi berbenturan (tapi juga sering berkelindan), bukan pengertian klasik itu yang berlaku. 
  10. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan. Sebagaimana dalam puisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang hadir dalam pentas Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi, bukan pesan, apalagi khotbah. Hal ini penting, di zaman ketika komunikasi hanya dibangun oleh pesan verbal yang itu-itu saja, yang tak lagi akrab dengan diri, hanya hasil kesepakatan orang lain yang kian asing. 
  11. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup. 
  12. Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak. Sumber: Majalah Tempo Edisi Senin, 27 Juni 2011
SOAL
1. Teks di atas πŸ‘†termasuk ke dalam teks … 
2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai
 

SISTEMATIKA

KUTIPAN TEKS

PERNYATAAN PENDAPAT

 

 

 

 

 

ARGUMEN

 

 

 

 

 

 

PENEGASAN ULANG

 

 

 

 

 


JAWABAN SEPERTI BIASA DIISI DI KOLOM KOMENTAR LINK INI!
Buatlah  tabel lebih dahulu di word. Setelah tabel dibuat baru isi jawabannya. Selanjutnya pindahkan ke komentar dengan cara copy lalu paste!

96 komentar:

  1. Nama: Maria Elsyana Krista Nahak
    Kelas: XII sosial 8

    1. Teks di atas termasuk ke dalam teks …
    Esai, karena si penulis, Gunawan Muhammad, membuat sebuah karangan prosa.


    2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai!

    ● Pernyataan Pendapat
    Kutipan Teks: Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku
    kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau
    dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan:
    ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
    Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
    riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
    teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
    yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
    pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
    tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater
    ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—
    dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak
    berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.

    ●Argumen
    Kutipan Teks:
    1.)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
    materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
    kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
    menggebrak persepsi kita.
    2.)Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
    Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
    teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
    yang tak berarti dihadirkan.
    3.)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
    pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
    Grotowski.
    4.)Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
    memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
    majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
    bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
    Senen Raya 83, Jakarta.

    ●Penegasan ulang
    Kutipan Teks: Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”.
    Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  2. Nama : Rifky Fauzan
    Kelas : XII Sosial 7

    1. Teks di atas termasuk ke dalam teks esai

    2. Ssitematika beserta struktur dapat di uraikan sebagai berikut :

    Sistematika : Pernyataan Pendapat
    Kutipan Teks : Di depan kita pentas yang berkecamuk.

    Sistematika : Argumen
    Kutipan Teks :
    1. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
    2. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
    3. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
    4. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen.
    5. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan selalu tersembunyi ketidaksadaran.
    6. Bagi saya Teater Mandiri justru menunjukkan bahwa di sebuah negeri di mana tradisi dan antitradisi berbenturan (tapi juga sering berkelindan), bukan pengertian klasik itu yang berlaku.
    7. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan. Sebagaimana dalam puisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang hadir dalam pentas Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi, bukan pesan, apalagi khotbah. Hal ini penting, di zaman ketika komunikasi hanya dibangun oleh pesan verbal yang itu-itu saja, yang tak lagi akrab dengan diri, hanya hasil kesepakatan orang lain yang kian asing.

    Sitematika : Penegasan Ulang
    Kutipan Teks :
    1. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
    2. Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  3. Nama: Sri Wahyuni Lay Rihi
    Kelas: XII Sosial 8

    1. Teks di atas termasuk ke dalam teks …
    Esai, karena si penulis, Gunawan Muhammad, membuat sebuah karangan prosa.


    2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai!

    ● Pernyataan Pendapat
    Kutipan Teks: Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku
    kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau
    dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan:
    ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
    Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
    riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
    teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
    yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
    pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
    tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater
    ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—
    dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak
    berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.

    ●Argumen
    Kutipan Teks:
    1.)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
    materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
    kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
    menggebrak persepsi kita.
    2.)Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
    Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
    teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
    yang tak berarti dihadirkan.
    3.)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
    pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
    Grotowski.
    4.)Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
    memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
    majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
    bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
    Senen Raya 83, Jakarta.

    ●Penegasan ulang
    Kutipan Teks: Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”.
    Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  4. Nama: Vamilia rouch
    Kelas : XII sosial 8


    1. Teks tersebut termasuk dalam teks teks esai, Karena objek kajiannya berupa fenomena dan juga tidak terdapat data-data yang dapat membuktikan kebenaran pendapat pengarang selain alasan yang berasal dari pribadi penulis sendiri atau pandangan penulis.


    2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai!

    ☆Pernyataan Pendapat
    Kutipan Teks: Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku
    kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau
    dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan:
    ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
    Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
    riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
    teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
    yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
    pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
    tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater
    ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—
    dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak
    berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.

    ☆Argumen
    Kutipan Teks:
    1.)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
    materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
    kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
    menggebrak persepsi kita.
    2.)Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
    Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
    teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
    yang tak berarti dihadirkan.
    3.)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
    pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
    Grotowski.
    4.)Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
    memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
    majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
    bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
    Senen Raya 83, Jakarta.

    ☆Penegasan ulang
    Kutipan Teks: Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”.
    Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  5. Nama : AGNESIA ELVIRA MOLO
    Kelas : XII.S.8

    1. Teks diatas termasuk kedalam teks esay. Karena, objek kajiannya berupa fenomena san juga tidak terdapat data-data yang dapat membuktikan kebenaran pendapat pengarang selain alasan yang berasal dari pribadi penulis sendiri atau pandangan penulis.
    2. SISTEMATIKA
    * PERNYATAAN PENDAPAT
    Kutipan Teks :
    1. Di depan kita pentas yang berkecamuk.
    * ARGUMEN
    Kutipan Teks :
    1. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
    2. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
    3. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
    4. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen.
    5. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan selalu tersembunyi ketidaksadaran.
    6. Bagi saya Teater Mandiri justru menunjukkan bahwa di sebuah negeri di mana tradisi dan antitradisi berbenturan (tapi juga sering berkelindan), bukan pengertian klasik itu yang berlaku.
    7. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan. Sebagaimana dalam puisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang hadir dalam pentas Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi, bukan pesan, apalagi khotbah. Hal ini penting, di zaman ketika komunikasi hanya dibangun oleh pesan verbal yang itu-itu saja, yang tak lagi akrab dengan diri, hanya hasil kesepakatan orang lain yang kian asing.
    * PENEGASAN ULANG
    Kutipan Teks :
    Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  6. Nama: maria jeniwida g bau
    Kelas : Xll sosial 8

    1. Termasuk teks esai
    2. * pernyataan pendapat
    Di depan kita pentas yg bekecamuk juga satu suku kata yang meledak. Grrr, dor, blong, los. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan aduh, anu. Didepan kita panggung teater mandiri. Teater mandiri tahun ini berumur 40 tahun sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di indonesia. Ia bagian dari sejarah indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari sejarah indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan bangun dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan sebagai teror dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kita.
    * argumen
    1. Pada putu wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imajinasi, sesuatu yg fisik yg menggebrak persepsi kita.
    2. Ini terutama hadir dalam teaternya yang membuat teater mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, dimana sosok dan benda yang tak berarti di hadirkan.
    3. Bagi sy teater ini adalah teater miskin dalam pengertian yang berbeda
    4 . Saya ingin bagaimna pada tahun 1971, putu wijaya memulainya ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah tempo, yang berkantor disebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang dijalan senen raya jakarta
    * penegasan ulang
    Sebeb yang tak terkatakan juga bagian dari yang ada dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  7. Nama: Maulana Hafif
    Kelas : XII Sosial 7

    1. Teks diatas termasuk ke dalam teks essay
    2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai

    - Pernyataan pendapat
    Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
    Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.

    - Argumen
    Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita. Ia tak mengklaim satu makna. Ia tak berarti: tak punya isi kognitif atau tak punya manfaat yang besar.
    Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan. Mungkin sosok itu (umumnya tak bernama) si sakit yang tak jelas sakitnya. Mungkin benda itu sekaleng kecil balsem. Atau selimut—hal-hal yang dalam kisah-kisah besar dianggap sepele. Dalam teater Putu Wijaya, justru itu bisa jadi fokus.
    Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin. Putu Wijaya tak tertarik untuk berbicara tentang lapisanlapisan sosial. Teater Mandiri adalah ”teater miskin” karena ia, sebagaimana yang kemudian dijadikan semboyan kreatif Putu Wijaya, ”bertolak dari yang ada”.
    Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta. Siang hari ia akan bertugas sebagai wartawan. Malam hari, ketika kantor sepi, ia akan menggunakan ruangan yang terbatas dan sudah aus itu untuk latihan teater.

    - Penegasan Ulang
    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  8. Nama: Beatris Oliveira
    Kelas: XII Alam 2

    1. Teks di atas termasuk ke dalam teks …

    Jawaban:
    Esai, karena si penulis, Gunawan Muhammad, membuat sebuah karangan prosa.


    2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai!

    Jawaban:
    ● Pernyataan Pendapat
    Kutipan Teks: Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku
    kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau
    dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan:
    ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
    Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
    riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
    teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
    yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
    pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
    tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater
    ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—
    dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak
    berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.

    ●Argumen
    Kutipan Teks:
    1.)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
    materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
    kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
    menggebrak persepsi kita.
    2.)Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
    Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
    teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
    yang tak berarti dihadirkan.
    3.)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
    pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
    Grotowski.
    4.)Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
    memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
    majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
    bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
    Senen Raya 83, Jakarta.

    ●Penegasan ulang
    Kutipan Teks: Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”.
    Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  9. Nama: PUTRI FEBRIANI
    Kelas: XII ALAM 2

    1. Teks di atas termasuk ke dalam teks …
    Esai, karena si penulis, Gunawan Muhammad, membuat teks tersebut menyerupai sebuah karangan prosa.


    2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai!

    ● Pernyataan Pendapat
    Kutipan Teks: Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku
    kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau
    dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan:
    ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
    Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
    riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
    teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
    yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
    pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
    tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater
    ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—
    dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak
    berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.

    ●Argumen
    Kutipan Teks:
    1.)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
    materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
    kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
    menggebrak persepsi kita.
    2.)Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
    Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
    teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
    yang tak berarti dihadirkan.
    3.)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
    pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
    Grotowski.
    4.)Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
    memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
    majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
    bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
    Senen Raya 83, Jakarta.

    ●Penegasan ulang
    Kutipan Teks: Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”.
    Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  10. NAMA : YULIANA JAGA
    KELAS : XII MIPA 1

    1. Teks di atas termasuk ke dalam teks esai

    2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai
    • PERNYATAAN PENDAPAT
    1. Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri. 

    2. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata. 
    • ARGUMEN
    1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.

    2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.

    3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.

    4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.

    5. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.

    6. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu.

    7. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.

    8. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya.

    9. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup. 

    • PENEGASAN ULANG
    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak. Sumber: Majalah Tempo Edisi Senin, 27 Juni 2011

    BalasHapus
  11. Nama : Varaditta putri zahra salsabila
    Kelas : XII MIPA 1

    1. Teks di atas termasuk ke dalam teks esai

    2. Sistematika beserta struktur dapat di uraikan sebagai berikut :

    Sistematika : Pernyataan Pendapat
    Kutipan Teks : Di depan kita pentas yang berkecamuk.

    Sistematika : Argumen
    Kutipan Teks :
    1. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
    2. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
    3. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
    4. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen.
    5. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan selalu tersembunyi ketidaksadaran.
    6. Bagi saya Teater Mandiri justru menunjukkan bahwa di sebuah negeri di mana tradisi dan antitradisi berbenturan (tapi juga sering berkelindan), bukan pengertian klasik itu yang berlaku.
    7. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan. Sebagaimana dalam puisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang hadir dalam pentas Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi, bukan pesan, apalagi khotbah. Hal ini penting, di zaman ketika komunikasi hanya dibangun oleh pesan verbal yang itu-itu saja, yang tak lagi akrab dengan diri, hanya hasil kesepakatan orang lain yang kian asing.

    Sitematika : Penegasan Ulang
    Kutipan Teks :
    1. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
    2. Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak

    BalasHapus
  12. Nama : Maria Yosef Usboko
    Kelas : XII Alam 2



    1. Teks tersebut termasuk dalam teks teks esai, Karena objek kajiannya berupa fenomena dan juga tidak terdapat data-data yang dapat membuktikan kebenaran pendapat pengarang selain alasan yang berasal dari pribadi penulis sendiri atau pandangan penulis.


    2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai!

    πŸ•³Pernyataan Pendapat
    Kutipan Teks: Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku
    kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau
    dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan:
    ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
    Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
    riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
    teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
    yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
    pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
    tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater
    ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—
    dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak
    berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.

    πŸ•³Argumen
    Kutipan Teks:
    1.)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
    materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
    kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
    menggebrak persepsi kita.
    2.)Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
    Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
    teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
    yang tak berarti dihadirkan.
    3.)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
    pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
    Grotowski.
    4.)Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
    memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
    majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
    bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
    Senen Raya 83, Jakarta.

    πŸ•³Penegasan ulang
    Kutipan Teks: Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”.
    Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  13. Nama : Ni Putu Ika Parwati
    Kelas : XII.A1

    1. Teks diatas termasuk kedalam teks esay. Karena, objek kajiannya berupa fenomena san juga tidak terdapat data-data yang dapat membuktikan kebenaran pendapat pengarang selain alasan yang berasal dari pribadi penulis sendiri atau pandangan penulis.
    2. SISTEMATIKA
    * PERNYATAAN PENDAPAT
    Kutipan Teks :
    1. Di depan kita pentas yang berkecamuk.
    * ARGUMEN
    Kutipan Teks :
    1. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
    2. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
    3. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
    4. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen.
    5. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan selalu tersembunyi ketidaksadaran.
    6. Bagi saya Teater Mandiri justru menunjukkan bahwa di sebuah negeri di mana tradisi dan antitradisi berbenturan (tapi juga sering berkelindan), bukan pengertian klasik itu yang berlaku.
    7. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan. Sebagaimana dalam puisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang hadir dalam pentas Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi, bukan pesan, apalagi khotbah. Hal ini penting, di zaman ketika komunikasi hanya dibangun oleh pesan verbal yang itu-itu saja, yang tak lagi akrab dengan diri, hanya hasil kesepakatan orang lain yang kian asing.
    * PENEGASAN ULANG
    Kutipan Teks :
    Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  14. Nama :Elisabeth Jeany J. Boisala
    Kelas : XII MIPA 1

    1. Teks di atas termasuk ke dalam teks esai, karena si penulis (Gunawan Muhammad) membuat sebuah karangan prosa.
    2. Sistematika teks tersebut :
    • Pernyataan Pendapat
    Kutipan Teks: Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror” dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
    • Argumen
    Kutipan Teks:
    1) Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
    2) Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
    3) Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski.
    4) Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.
    • Penegasan ulang
    Kutipan Teks: Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  15. NAMA : CLAUDIA ZYTA TOBU
    KELAS : XII MIPA 2

    1. Teks di atas termasuk ke dalam teks esai

    2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai
    • PERNYATAAN PENDAPAT
    1. Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.

    2. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
    • ARGUMEN
    1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.

    2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.

    3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.

    4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.

    5. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.

    6. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu.

    7. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.

    8. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya.

    9. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.

    • PENEGASAN ULANG
    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  16. NAMA : MARIA KARANI SAPUTRI
    KELAS : XII ALAM 2
    NO ABSEN : 19

    1. Teks di atas termasuk ke dalam teks "Esai". karena si penulis, Gunawan Muhammad membuat sebuah karangan prosa.

    2.struktur teks :
    ✧Pernyataan Pendapat
    Kutipan Teks: Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku
    kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau
    dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan:
    ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
    Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
    riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
    teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
    yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
    pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
    tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater
    ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—
    dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak
    berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.

    ✧Argumen
    Kutipan Teks:
    1.)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
    materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
    kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
    menggebrak persepsi kita.
    2.)Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
    Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
    teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
    yang tak berarti dihadirkan.
    3.)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
    pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
    Grotowski.
    4.)Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
    memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
    majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
    bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
    Senen Raya 83, Jakarta.

    ✧Penegasan ulang
    Kutipan Teks: Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”.
    Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.



    BalasHapus
  17. NAMA:YULIANA FREDERIKA BEREK
    KELAS:XII A.1


    1. teks diatas termasuk dalam teks esai
    2. sistematika teks tersebut adalah
    .pernyataan pendapat
    Kutipan Teks: Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror” dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
    • Argumen
    Kutipan Teks:
    1) Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
    2) Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
    3) Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski.
    4) Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.
    • Penegasan ulang
    Kutipan Teks: Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  18. Nama: Markus C. Bere Mau
    Klas: XII A.1
    1.teks tersebut termasuk dalam teks esai
    2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai!

    ● Pernyataan Pendapat
    Kutipan Teks: Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku
    kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau
    dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan:
    ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
    Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
    riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
    teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
    yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
    pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
    tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater
    ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—
    dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak
    berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.

    ●Argumen
    Kutipan Teks:
    1.)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
    materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
    kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
    menggebrak persepsi kita.
    2.)Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
    Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
    teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
    yang tak berarti dihadirkan.
    3.)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
    pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
    Grotowski.
    4.)Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
    memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
    majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
    bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
    Senen Raya 83, Jakarta.
    ●Penegasan ulang
    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”.
    Dari sana kreativitas yang sejati bertolak

    BalasHapus
  19. Nama : Viennye Wilhelmina Djawa
    Kelas : XII Alam 2

    1. Teks di atas termasuk kedalam teks esai karena si penulis, Gunawan Muhammad, membuat sebuah karangan prosa
    yang membahas suatu masalah dari sudut pandang pribadi penulis.

    2. Sistematika Teks
    - Pernyataan Pendapat
    Kutipan teks :
    1) Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau
    dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
    2) Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater
    ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.

    - Argumen
    Kutipan teks :
    1) Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
    2) Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
    3) Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski.
    4) Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.
    5) Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik
    antara ”peristiwa” dan ”cerita”.
    6) Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti.
    7) Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.
    8) Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan
    puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre,
    ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak.
    9) Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap.

    - Penegasan Ulang
    Kutipan teks :
    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”.
    Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  20. NAMA : Maria Angelika Djaga
    KELAS : XII MIPA 2

    1. Teks di atas termasuk ke dalam teks esai

    2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai

    ▪Pernyataan Pendapat
    1. Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
    2. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.

    ▪ Argumen
    1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
    2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
    3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
    4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.
    5. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
    6. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu.
    7. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.
    8. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya.
    9. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.

    ▪ Penegasan Ulang
    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  21. Nama : Monica Alves
    Kelas : XII A2

    1. Teks di atas termasuk kedalam teks esai
    2. Analisis sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai
    -Pernyataan pendapat
    Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku
    kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau
    dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan:
    ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
    Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
    riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
    teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
    yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
    pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
    tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater
    ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—
    dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak
    berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.

    -Argumen
    Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
    materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
    kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
    menggebrak persepsi kita.
    Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
    Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
    teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
    yang tak berarti dihadirkan.
    Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
    pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
    Grotowski.
    Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
    memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
    majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
    bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
    Senen Raya 83, Jakarta.
    Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu
    Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik
    antara ”peristiwa” dan ”cerita”
    Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang
    dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya.
    Keraguan ini bisa dimengerti.
    Sartre pernah mengatakan, salah satu motif
    menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di
    mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan
    pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.
    Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan
    puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre,
    ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai
    kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan
    puisi tidak.
    Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia
    mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap.

    -Penegasan Ulang
    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”.
    Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  22. Nama: Markus C. Bere Mau
    Klas: XII A.1
    1.teks tersebut termasuk dalam teks esai
    2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai!

    ● Pernyataan Pendapat
    Kutipan Teks: Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku
    kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau
    dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan:
    ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
    Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
    riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
    teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
    yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
    pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
    tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater
    ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—
    dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak
    berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.

    ●Argumen
    Kutipan Teks:
    1.)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
    materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
    kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
    menggebrak persepsi kita.
    2.)Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
    Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
    teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
    yang tak berarti dihadirkan.
    3.)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
    pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
    Grotowski.
    4.)Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
    memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
    majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
    bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
    Senen Raya 83, Jakarta.
    ●Penegasan ulang
    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”.
    Dari sana kreativitas yang sejati bertolak

    BalasHapus
  23. NAMA : Maria Angelika Djaga
    KELAS : XII MIPA 2

    1. Teks di atas termasuk ke dalam teks esai

    2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai

    ▪Pernyataan Pendapat
    1. Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
    2. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.

    ▪ Argumen
    1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
    2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
    3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
    4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.
    5. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
    6. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu.
    7. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.
    8. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya.
    9. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.

    ▪ Penegasan Ulang
    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  24. Nama : Sherlyani Maria Natalia Siku
    Kelas : XII Alam 1

    1. Teks di atas termasuk ke dalam teks esai

    2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai
    PERNYATAAN PENDAPAT
    1. Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.

    2. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
    ARGUMEN
    1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.

    2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.

    3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.

    4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.

    5. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.

    6. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu.

    7. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.

    8. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya.

    9. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.

    PENEGASAN ULANG
    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  25. NAMA :JONIA IMACULADA DA COSTA SOARES
    KELAS:Xll ALAM 2

    1.Teks di atas termasuk ke dalam teks …
    Esai, karena si penulis, Gunawan Muhammad, membuat sebuah karangan prosa.

    2.Sitematika beserta struktur dapat di uraikan sebagai berikut :
    Sistematika : Pernyataan Pendapat
    Kutipan Teks : Di depan kita pentas yang berkecamuk.

    Sistematika : Argumen
    Kutipan Teks :
    1. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
    2. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
    3. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
    4. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen.
    5. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan selalu tersembunyi ketidaksadaran.
    6. Bagi saya Teater Mandiri justru menunjukkan bahwa di sebuah negeri di mana tradisi dan antitradisi berbenturan (tapi juga sering berkelindan), bukan pengertian klasik itu yang berlaku.
    7. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan. Sebagaimana dalam puisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang hadir dalam pentas Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi, bukan pesan, apalagi khotbah. Hal ini penting, di zaman ketika komunikasi hanya dibangun oleh pesan verbal yang itu-itu saja, yang tak lagi akrab dengan diri, hanya hasil kesepakatan orang lain yang kian asing.

    Sitematika : Penegasan Ulang
    Kutipan Teks :
    1. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
    2. Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  26. Nama : Sindy Saputri
    Kelas : XII.Alam.1
    Absen: 23


    1. Teks di atas termasuk ke dalam teks …
    Esai, karena si penulis, Gunawan Muhammad, membuat teks tersebut menyerupai sebuah karangan prosa.


    2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai!

    ● Pernyataan Pendapat
    Kutipan Teks: Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku
    kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau
    dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan:
    ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
    Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
    riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
    teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
    yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
    pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
    tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater
    ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—
    dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak
    berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.

    ●Argumen
    Kutipan Teks:
    1.)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
    materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
    kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
    menggebrak persepsi kita.
    2.)Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
    Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
    teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
    yang tak berarti dihadirkan.
    3.)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
    pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
    Grotowski.
    4.)Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
    memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
    majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
    bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
    Senen Raya 83, Jakarta.

    ●Penegasan ulang
    Kutipan Teks: Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”.
    Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  27. Nama: Marselina Devita Manek
    Kelas: 12 Alam 2

    1. Teks di atas termasuk dalam jenis teks esai

    2. Sistematika teks beserta struktur

    • PERNYATAAN PENDAPAT
    Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.

    • ARGUMEN
    1) Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
    2) Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
    3) Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
    4) Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen.
    5) Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan selalu tersembunyi ketidaksadaran.
    6) Bagi saya Teater Mandiri justru menunjukkan bahwa di sebuah negeri di mana tradisi dan antitradisi berbenturan (tapi juga sering berkelindan), bukan pengertian klasik itu yang berlaku.
    7) Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan. Sebagaimana dalam puisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang hadir dalam pentas Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi, bukan pesan, apalagi khotbah. Hal ini penting, di zaman ketika komunikasi hanya dibangun oleh pesan verbal yang itu-itu saja, yang tak lagi akrab dengan diri, hanya hasil kesepakatan orang lain yang kian asing.

    • PENEGASAN ULANG
    1) Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
    2) Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  28. Nama : fenny yustina lola dabe
    Kelas : xll alam 1
    No. Absen: 10

    1. Teks diatas termasuk kedalam teks.....
    esai, karena si penulis Gunawan Muhamad membuat teks yang menyerupai sebuah karangan prosa

    2.Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai !

    ■Pernyataan pendapat
    Kutipan teks: didepan kita pentas yang berkecamuk .juga satu suku
    Kata yang meledak :"Grr" Dor" Blong"Los" . Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan :" aduh" Anu". Di depan kita : panggung teater mandiri.
    Teater mandiri pekan ini berumur 40 tahun-sebuah riwayat yang tak mudah , seperti semua grup teater di indonesia . Ia bagian dari sejarah indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian cerita pembangunan " bangun" dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur.Putu wijaya, pendiri tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai " teror"- dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru tak berpesan.ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.

    ■ Argumen
    Kutipan teks:
    1.pada Putu Wijaya , kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume disebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita .

    2.ini terutama hadir dalam teaternya - yang membuat teater mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa , dimana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan

    3.Bagi saya, teater ini adalah" teater miskin" dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski.

    4.saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor disebuah gedung tua bertingakat dua dengan lantai yang goyang di jalan Senen Raya 83, Jakarta

    ■ penegasan ulang
    Kutipan teks: sebab yang tak terkatakan juga bagian dari " yang ada" .
    Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  29. Nama : Tesa.M.T.Nubein
    Kelas : XII.Alam.2
    Absen: 28

    1. Teks di atas termasuk ke dalam teks …
    Esai, karena si penulis, Gunawan Muhammad, membuat teks tersebut menyerupai sebuah karangan prosa.


    2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai!

    ● Pernyataan Pendapat
    Kutipan Teks: Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku
    kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau
    dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan:
    ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
    Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
    riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
    teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
    yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
    pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
    tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater
    ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—
    dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak
    berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.

    ●Argumen
    Kutipan Teks:
    1.)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
    materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
    kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
    menggebrak persepsi kita.
    2.)Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
    Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
    teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
    yang tak berarti dihadirkan.
    3.)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
    pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
    Grotowski.
    4.)Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
    memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
    majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
    bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
    Senen Raya 83, Jakarta.

    ●Penegasan ulang
    Kutipan Teks: Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”.
    Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  30. Nama : Agustinus Dedemus Seran
    Kelas : XII Alam 2


    1. Teks di atas termasuk ke dalam teks …
    Jawab:
    Esai, karena si penulis, Gunawan Muhammad, membuat sebuah karangan prosa.


    2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai!
    Jawab:
    ⊙ PERNYATAAN PENDAPAT
    Kutipan Teks:
    1.) Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.

    2.) Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
    riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
    teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
    yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
    pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
    tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater
    ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—
    dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak
    berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.

    ⊙ARGUMEN
    Kutipan Teks:
    1.) Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
    materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
    kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
    menggebrak persepsi kita.

    2.) Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
    Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
    teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
    yang tak berarti dihadirkan.

    3.)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
    pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
    Grotowski.

    4.) Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
    memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
    majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
    bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
    Senen Raya 83, Jakarta.

    5.) Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.

    6.) Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu.

    7.) Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.

    8.) Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya.

    9.) Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.

    ⊙PENEGASAN ULANG
    Kutipan Teks:
    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”.
    Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  31. Nama : Gracia Zefanya Rusanto (11)
    Kelas : XIIALAM1

    1. Teks di atas termasuk ke dalam teks esai

    2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai

    • PERNYATAAN PENDAPAT
    1. Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri. 
    2. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata. 

    • ARGUMEN
    1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
    2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
    3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
    4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.
    5. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
    6. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu.
    7. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.
    8. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya.
    9. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup. 

    • PENEGASAN ULANG
    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak. Sumber: Majalah Tempo Edisi Senin, 27 Juni 2011

    BalasHapus
  32. Nama : Julian K. E. Santoso
    Kelas : XII Alam 2

    1. Teks di atas termasuk ke dalam teks esai

    2. Sistematika dan struktur :

    •Sistematika : Pernyataan Pendapat
    Kutipan Teks :
    1. Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
    2. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.

    •Sistematika : Argumen
    Kutipan Teks :
    1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
    materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
    kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
    menggebrak persepsi kita.
    2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
    Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
    teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
    yang tak berarti dihadirkan.
    3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
    pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
    Grotowski.
    4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
    memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
    majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
    bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
    Senen Raya 83, Jakarta.

    •Sistematika : Penegasan ulang
    Kutipan Teks:
    1. Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”.
    Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  33. Nama : Carola Anugrah Putri Bere
    Kelas : XII Alam 2

    1. Teks tersebut termasuk dalam teks teks esai, Karena objek kajiannya berupa fenomena dan juga tidak terdapat data-data yang dapat membuktikan kebenaran pendapat pengarang selain alasan yang berasal dari pribadi penulis sendiri atau pandangan penulis.


    2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai!

    ⚪Pernyataan Pendapat
    Kutipan Teks: Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku
    kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau
    dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan:
    ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
    Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
    riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
    teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
    yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
    pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
    tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater
    ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—
    dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak
    berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.

    ⚪Argumen
    Kutipan Teks:
    1.)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
    materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
    kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
    menggebrak persepsi kita.
    2.)Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
    Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
    teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
    yang tak berarti dihadirkan.
    3.)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
    pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
    Grotowski.
    4.)Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
    memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
    majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
    bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
    Senen Raya 83, Jakarta.

    ⚪Penegasan ulang
    Kutipan Teks: Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”.
    Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  34. Nama:Fardinal Pratama Putra
    Kelas:Xll Alam 2

    1. Teks di atas termasuk ke dalam teks Esai, karena si penulis, Gunawan Muhammad, membuat teks tersebut menyerupai sebuah karangan prosa.


    2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai!

    * Pernyataan Pendapat
    Kutipan Teks: Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku
    kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau
    dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan:
    ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
    Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
    riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
    teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
    yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
    pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
    tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater
    ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—
    dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak
    berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.

    *Argumen
    Kutipan Teks:
    1.)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
    materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
    kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
    menggebrak persepsi kita.
    2.)Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
    Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
    teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
    yang tak berarti dihadirkan.
    3.)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
    pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
    Grotowski.
    4.)Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
    memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
    majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
    bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
    Senen Raya 83, Jakarta.

    *Penegasan ulang
    Kutipan Teks: Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”.
    Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  35. Nama : Maya Triana Siama
    Kelas : XII Alam 2
    No. Absen : 22

    1. Teks diatas termasuk kedalam teks esay. Karena, objek kajiannya berupa fenomena dan juga tidak terdapat data-data yang dapat membuktikan kebenaran pendapat pengarang selain alasan yang berasal dari pribadi penulis sendiri atau pandangan penulis.

    2. Analisislah sistematika teks berdasarkan struktur yang sesuai :

    ☆PERNYATAAN PENDAPAT
    Kutipan Teks :
    Di depan kita pentas yang berkecamuk.

    ☆ARGUMEN
    Kutipan Teks :
    1. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
    2. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
    3. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
    4. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen.
    5. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan selalu tersembunyi ketidaksadaran.
    6. Bagi saya Teater Mandiri justru menunjukkan bahwa di sebuah negeri di mana tradisi dan antitradisi berbenturan (tapi juga sering berkelindan), bukan pengertian klasik itu yang berlaku.
    7. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan. Sebagaimana dalam puisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang hadir dalam pentas Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi, bukan pesan, apalagi khotbah. Hal ini penting, di zaman ketika komunikasi hanya dibangun oleh pesan verbal yang itu-itu saja, yang tak lagi akrab dengan diri, hanya hasil kesepakatan orang lain yang kian asing.

    ☆PENEGASAN ULANG
    Kutipan Teks :
    Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  36. Nama:Fardinal Pratama Putra
    Kelas:Xll Alam 2

    1. Teks di atas termasuk ke dalam teks Esai, karena si penulis, Gunawan Muhammad, membuat teks tersebut menyerupai sebuah karangan prosa.


    2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai!

    * Pernyataan Pendapat
    Kutipan Teks: Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku
    kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau
    dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan:
    ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
    Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
    riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
    teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
    yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
    pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
    tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater
    ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—
    dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak
    berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.

    *Argumen
    Kutipan Teks:
    1.)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
    materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
    kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
    menggebrak persepsi kita.
    2.)Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
    Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
    teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
    yang tak berarti dihadirkan.
    3.)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
    pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
    Grotowski.
    4.)Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
    memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
    majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
    bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
    Senen Raya 83, Jakarta.

    *Penegasan ulang
    Kutipan Teks: Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”.
    Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  37. Nama :Stevania Laku Loi
    Kelas : XII Alam 2

    1.Teks tersebut termasuk dalam teks essai

    2.Sistematikanya yaitu:
    a.Pernyataan pendapat
    1)Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
    2)Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
    b.Argumen
    1)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita. Ia tak mengklaim satu makna. Ia tak berarti: tak punya isi kognitif atau tak punya manfaat yang besar.
    2)Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan. Mungkin sosok itu (umumnya tak bernama) si sakit yang tak jelas sakitnya. Mungkin benda itu sekaleng kecil balsem. Atau selimut—hal-hal yang dalam kisah-kisah besar dianggap sepele. Dalam teater Putu Wijaya, justru itu bisa jadi fokus.
    3)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin. Putu Wijaya tak tertarik untuk berbicara tentang lapisanlapisan sosial. Teater Mandiri adalah ”teater miskin” karena ia, sebagaimana yang kemudian dijadikan semboyan kreatif Putu Wijaya, ”bertolak dari yang ada”.
    4)Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.
    c)Penegasan ulang

    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak. Sumber: Majalah Tempo Edisi Senin, 27 Juni 2011

    BalasHapus
  38. Grasella Listin Haki
    XII A1

    1. Teks di atas termasuk ke dalam teks esai.

    2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai
    • PERNYATAAN PENDAPAT
    1. Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.

    2. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
    • ARGUMEN
    1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.

    2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.

    3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.

    4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.

    5. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.

    6. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu.

    7. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.

    8. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya.

    9. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.

    • PENEGASAN ULANG
    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak. Sumber: Majalah Tempo Edisi Senin, 27 Juni 2011

    BalasHapus
  39. Nama : Dersia Devita M.K.Putri
    Kelas : Xll Alam 1

    1.) teks diatas termasuk dalam teks !
    *Termasuk dalam teks Esai karena penulis , membuat sebuah karangan prosa.

    2.) Analisis sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai!
    *Pernyataan Pendapat
    ~Kutipan teks : Di depan kita pentas yang berkecamuk .juga satu suku kata yang meledak ."Grrr","Dor","Blong",Los",atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan :"aduh","anu",.Di depan kita panggung teater mandiri.
    Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia.la bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan"bangun"dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur.Putu Wijaya,pendiri dan tiang utama teater ini,melihat peran pembangunan ini sebagai"teror"dengan cara yang sederhana .Putu tak berseru,tak berpesan.la punya pendekatan tersendiri kepada kata.

    *Argumen
    ~Kutipan teks:
    1.Pada putu Wijaya,kata adalah benda.kata adalah materi yang punya volume disebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
    2.Ini terutama hadir dalam teaternya yang membuat Teater mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa,dimana sosok dan benda yang berarti dihadirkan.
    3.Bagi saya teater ini adalah"teater miskin"dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski.
    4.Saya ingat, bagaimana pada tahun,1971,Putu Wijaya memulainya.la bekerja sebagai salah satu redaktur majalah tempo,yang berkantor disebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai goyang di jalan Senen raya 83,Jakarta.
    5.Bagi saya teater Mandiri justru menunjukkan bahwa di sebuah negeri di mana tradisi dan antitradisi berbenturan (tapi juga sering berkeliaran),bukan pengertian klasik itu berlaku.

    *Penegasan Ulang
    ~ Kutipan teks:
    1.Sartre kemudian menyadari ia salah .Sejak 1960-an,ia mengakui bahwa bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang di bawah sadar ,tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani,le vecu.la tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater mandiri,tapi la pasti melihat bahwa berbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya "Teror" ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
    2.Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari"Yang ada".Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  40. Nama : Putri Bunga Daeng
    Kelas : 12 Alam 1
    No.absen : 20


    1. Teks di atas termasuk ke dalam teks esai
    2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai

    >PERNYATAAN PENDAPAT
    1.)Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri. 

    2.) Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata. 

    >ARGUMEN
    1.)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita. 

    2.) Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan. 

    3.) Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.

    4.)Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta. 

    5.) Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri. 

    6.) Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu. 

    7.)Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”. 

    8.)Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. 


    >PENEGASAN ULANG
    1.)Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup. 

    2.)Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak. Sumber: Majalah Tempo Edisi Senin, 27 Juni 2011

    BalasHapus
  41. Tegar Rizqi Maulana
    XII Alam 1
    1 . teks di atas merupakan sebuah teks essay karena dalam setiap kalimatnya terdapat prosa dan cukup singkat serta memiliki ciri khasnya
    2. Analisis sistematik text

    PERNYATAAN PENDAPAT
    Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
    Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.


    ARGUMEN

    1. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta. Siang hari ia akan bertugas sebagai wartawan. Malam hari, ketika kantor sepi, ia akan menggunakan ruangan yang terbatas dan sudah aus itu untuk latihan teater. Dan ia akan mengajak siapa saja: seorang tukang kayu muda yang di waktu siang memperbaiki bangunan kantor, seorang gelandangan tua yang tiap malam istirahat di pojok jalan itu, seorang calon fotograf yang gagap. Ia tak menuntut mereka untuk berakting dan mengucapkan dialog yang cakap. Ia membuat mereka jadi bagian teater sebagai peristiwa, bukan hanya cerita.

    2. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu.
    3. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan. Sebagaimana dalam puisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang hadir dalam pentas Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi, bukan pesan, apalagi khotbah. Hal ini penting, di zaman ketika komunikasi hanya dibangun oleh pesan verbal yang itu-itu saja, yang tak lagi akrab dengan diri, hanya hasil kesepakatan orang lain yang kian asing.

    PENEGASAN ULANG :Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak. Sumber: Majalah Tempo Edisi Senin, 27 Juni 2011


    BalasHapus
  42. Nama : Syahrul Mubarakh
    Kelas : XII ALAM 2
    no absen : 27


    1. Teks diatas termasuk ke dalam teks essay
    2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai

    🌚 Pernyataan pendapat
    Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
    Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.

    🌚 Argumen
    Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita. Ia tak mengklaim satu makna. Ia tak berarti: tak punya isi kognitif atau tak punya manfaat yang besar.
    Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan. Mungkin sosok itu (umumnya tak bernama) si sakit yang tak jelas sakitnya. Mungkin benda itu sekaleng kecil balsem. Atau selimut—hal-hal yang dalam kisah-kisah besar dianggap sepele. Dalam teater Putu Wijaya, justru itu bisa jadi fokus.
    Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin. Putu Wijaya tak tertarik untuk berbicara tentang lapisanlapisan sosial. Teater Mandiri adalah ”teater miskin” karena ia, sebagaimana yang kemudian dijadikan semboyan kreatif Putu Wijaya, ”bertolak dari yang ada”.
    Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta. Siang hari ia akan bertugas sebagai wartawan. Malam hari, ketika kantor sepi, ia akan menggunakan ruangan yang terbatas dan sudah aus itu untuk latihan teater.

    🌚 Penegasan Ulang
    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  43. Nama Deasyana Anggini Mau
    Kelas. XII S.8

    1. Teks tersebut termaksud dalam teks esai.
    2.SISTEMATIKA
    PERNYATAAN PENDAPAT
    kutipan teks: di depan kita pentas yang bercambuk juga suku kata yang meledak
    Grrr,Dor,Blong,Los atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: Aduh atau Anu di depan kita: panggung teater mandiri pekan ini berumur 40 tahun, sebuah riwayat yang tak mudah seperti hampir semua grup teater di Indonesia.ia bagian dari sehy Indonesia yang penting sebagi bagian dari cerita pembagunan " Bagun" dalam arti jiwa yang tak lelap tidur putu Wijaya pendiri dan tiang utama teater ini,melihat pembagunan ini sebgai teror" dengan cara yg sederhana.

    ARGUMENTASI
    Pada putu Wijaya kata adalah benda kata adalah materi yang punya volume di seluruh ruang,sebuah bunyi dan imaji, sesuatu fisik yang menggebrak presepsi kita.ia tak mengklaim satu makna ia tak berarti tak punya isi kongnif atau tak punya manfaat yang besar.ini terutama hadir dalam teaternya yang membuat teater mandiri akan di kenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa,dimna sosok benda yang tak berarti tak di hadirkan.

    PENEGASAN ULANG
    Sarte pernah mengatakan,salah satu monif menciptakan seni adalah Menampilkan tata di mna semula tak ada memasangkan
    Kesatuan pikiry ke dalam keragam hal-ihwal.saya kira ia salah ia mungkin berpikir tentang keindahan klasik, dima na tata amat penting.bagi saya teater mandiri justru menunjukan bahwa di sebuah negeri bahwa tradisi dan antitradisi bebernturan ( tapi juga sering berkelimpahan ),bukan pengertian klasik itu yang berlaku.

    BalasHapus
  44. Nama: Carlota Angela Marici Lau
    Kelas: XII Alam 2

    1.Teks di atas termasuk dalam teks esai.

    2. Analisis sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai, yaitu:

    ●.PERNYATAAN PENDAPAT.
    Kutipan teks:
    Di depan kita pentas yang berkecamuk.
    Juga satu suku kata yang meledak: "Grrr", "Dor", "Blong", "Los". Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: "aduh", "anu".
    Di depan kita: panggung Teater Mandiri. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun - sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesi yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan "bangun" dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur.
    Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai "teror" - dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.

    ●.ARGUMEN.
    Kutipan teks:
    1). Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
    2). Ini terutama hadir dalam teaternya - yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, dimana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
    3). Bagi saya, teater ini adalah "teater miskin" dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski.
    4). Saya ingat bagaimana pada tahum 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.

    ●. PENEGASAN ULANG.
    Kutipan teks: Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari "yang ada".
    Dari sana kreativitas yang sehati bertolak.

    BalasHapus
  45. Rian Trimansyah
    XIIA1

    1. Teks di atas termasuk teks esai.

    2. #sistematika pernyataan pendapat. Kutipan teks : Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.

    #sistematika argumen. Kutipan teks :
    1)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
    2)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
    3)Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya.
    4)Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.
    5)Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Sartre kemudian menyadari ia salah.
    6)Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.

    #sistematika penegasan ulang. Kutipan teks : Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.


    BalasHapus
  46. Nama : Anastasia A.D.Rosary
    Kelas : XII Mipa 2

    1. Esai

    2. Sistematika

    •Pernyataan Pendapat
    Kutipan teks

    1) Di depan kita pentas yang berkecamuk.
    2)Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
    riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
    teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
    yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
    pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
    tertidur.

    • Argumen
    Kutipan teks

    1) Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
    materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
    kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
    menggebrak persepsi kita.

    2) Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
    Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
    teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
    yang tak berarti dihadirkan.

    3)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
    pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
    Grotowski.

    4) Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
    memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
    majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
    bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
    Senen Raya 83, Jakarta.

    5) Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.

    6) Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya.

    7) Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.

    • Penegasan Ulang
    Kutipan teks
    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  47. pelajaran Bahasa Indonesia.
    Nama : Agnesia Nadia Bau
    Kelas : XII AI

    1. Teks diatas termasuk dalam teks esai.
    2.✓ Pernyataan pendapat
    Di depan kita pentas yang berkecamuk juga satu suku kata meledak:grr, dor, blong, los. atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: aduh,anu. di depan kita panggung teater mandiri.Teater mandiri pekan ini berumur 40 tahun sebuah riwayat yabg tak mudah seperti hampir semua grup teater di indonesia. ia bagian dari sejarah indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan bangun dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Puti Wijaya pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai teror dengan cara sederhana.Putu tak berseru tak berpesan.ia punya pendekatan tersendiri kepada kita.
    ✓ Argumen
    1) pada putu wijaya, kata adalah benda. kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang,sebuah kombinasi bunyi dan imaji,sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
    2)ini terutama hadir dalam teater yang membuat teater mandiri akan di kenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa dimana sosok dan benda tak berarti dihadirkan.
    3)Bagi saya teater ini adalah teater miskin dalam pengertian yabg berbeda dalam rumusan Jerzy Grotowski.
    4)saya ingat bagaimana pada tahun 1971 Puti Wijaya memulainya.ia bekerja sebagai salah satu redaktor majalah Tempo, yang berkantor di sebuh gedubg tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang dijalan Senen raya 83, Jakarta.
    ✓penegasan ulang
    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari "yang ada" dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  48. Nama: Yunus Valentino Nabuasa
    Kelas:Xll Alam 2

    1. Teks di atas termasuk ke dalam teks Esai, karena si penulis, Gunawan Muhammad, membuat teks tersebut menyerupai sebuah karangan prosa.


    2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai!

    * Pernyataan Pendapat
    Kutipan Teks: Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku
    kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau
    dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan:
    ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
    Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
    riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
    teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
    yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
    pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
    tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater
    ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—
    dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak
    berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.

    *Argumen
    Kutipan Teks:
    1.)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
    materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
    kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
    menggebrak persepsi kita.
    2.)Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
    Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
    teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
    yang tak berarti dihadirkan.
    3.)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
    pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
    Grotowski.
    4.)Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
    memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
    majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
    bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
    Senen Raya 83, Jakarta.

    *Penegasan ulang
    Kutipan Teks: Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”.
    Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  49. Nama: Ludovikus Andrian Tahu
    Kelas: XII Alam 2

    1.Teks di atas termasuk dalam teks esai.

    2. Analisis sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai, yaitu:

    ●.PERNYATAAN PENDAPAT.
    Kutipan teks:
    Di depan kita pentas yang berkecamuk.
    Juga satu suku kata yang meledak: "Grrr", "Dor", "Blong", "Los". Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: "aduh", "anu".
    Di depan kita: panggung Teater Mandiri. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun - sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesi yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan "bangun" dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur.
    Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai "teror" - dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.

    ●.ARGUMEN.
    Kutipan teks:
    1). Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
    2). Ini terutama hadir dalam teaternya - yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, dimana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
    3). Bagi saya, teater ini adalah "teater miskin" dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski.
    4). Saya ingat bagaimana pada tahum 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.

    ●. PENEGASAN ULANG.
    Kutipan teks: Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari "yang ada".
    Dari sana kreativitas yang sehati bertolak.

    BalasHapus
  50. Nama : Grasela J.S. Amaral
    Kelas : XII A 1
    Tugas : Bindo
    Rabu, 3 Februari 2021

    1. Teks diatas termasuk kedalam teks esai karena si penuli Gunawan Muhammad, membuat sebuah karangan prisa yang membahas suatu masalah dari sudut pandang pribadi penulis


    2. Analisis sistematika

    Pernyataan pendapat
    Di depan kita pentas yang berkecambuk,juga suatu suku kata yang meledak "Grrr",
    "Dorr", "Blong", "Los". Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: " aduh", " annu". Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
    Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun- sebuah riwayat yang tidak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia.

    Argumen
    Pada Putu Wijayah, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji,sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi mita.
    Ini yerutama hadir dalam teater-nya yang membuat teater Mandiri akan dikenang sebagai cobtoh terbaik teater sebagai peristiwa,dimana sosok benda yang tak berarti di hadirkan.

    Bagi saya, teater ini adalah "teater miskin" dalam pengertoan yang berbeda dengan rumusan Jerzy Growtoski
    Saya bagaimana pada tahun 1997, Putu Wijayah memainya. Ia bekerja sebagai salah satu deraktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di jalan Senen Raya 83,Jakarta
    Dari sini memeng kemudian berkembang gaya Putu Wijayah: sebuah teayer yang dibangun dari dialetik antara " peristiwa" dan " cerita"
    Orang memang bisa ragu, apa yang sebenarnya dibangun (dan dibangunkan) eh teayer Putu Wijayah. Keranguan ini bisa di mengerti.
    Satre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah " memperkanalkan tata dimana semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal"
    Pernah pula Satre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa " kata adalah aksi". Prosa menurut Satre, " terlibat" dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengkomunikadikan ide, sedangkan puisi tidak.
    Satrw kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an,ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap.

    Penegasan Ulang
    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari " yang ada". Dasi sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  51. Nama: Sofronia Marsiana Seran
    Kelas: Xll Alam 2
    1 Teks diatas termasuk dalam teks esai

    2 Analisis sistematika teks tersebut berdasarkan sturuktur yang sesuai

    Pernyataan pendapat
    1 Didepan kita pantas untuk berkecambak. Juga satu suku kata yang meledak : "Grr" ,"Blog", "Los".Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan :" Aduh ", "Anu".Didepan kita panggung teater mandiri
    2 Teater mandiri pekan ini berumur 40 tahun sebuah riwayat tak mudah seperti hampir semua gfrup teater di indonesia. Ia bagian dari sejarah indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan " bangun " dalam arti jiwa yang tak kelap tertidur . Putu wijaya pembangunan ini sebagai " teror " dengan cara yang sederhana putu tak berserah tak berpesan. Ia punya pendekatan sendiri kepada kata.

    Argumentasi
    1 ada puputu wijaya kata adalah benda. Kata adalah mmateri yang punya volume disebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang mengebrak persepsi kita.
    2 Ini terutama hadir dalam teaternya-yang membuat Teater mandiri kita akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa ,dimana sosol dan benda yang tak berarti dihadirkan
    3 Bagi saya, teater ini adalah " teater miskin " dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski
    4 saya ingat, bagaimana tahun 1971, putu wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu reduktur majalah tempo, yang berkantor disebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang dijalan senen raya 83 , jakarta


    Penegasan Ulang
    Kutipan teks : sebab yang tak yang tak terkatakan juaga bagian dari " yang ada "
    Dari sana kreativitas yang sejati bertolak

    BalasHapus
  52. AureliaUsatnesi
    12 Alam 1
    1. Teks di atas termasuk dalam jenis teks esai

    2. Sistematika teks beserta struktur

    • PERNYATAAN PENDAPAT
    Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.

    • ARGUMEN
    1) Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
    2) Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
    3) Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
    4) Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen.
    5) Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan selalu tersembunyi ketidaksadaran.
    6) Bagi saya Teater Mandiri justru menunjukkan bahwa di sebuah negeri di mana tradisi dan antitradisi berbenturan (tapi juga sering berkelindan), bukan pengertian klasik itu yang berlaku.
    7) Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan. Sebagaimana dalam puisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang hadir dalam pentas Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi, bukan pesan, apalagi khotbah. Hal ini penting, di zaman ketika komunikasi hanya dibangun oleh pesan verbal yang itu-itu saja, yang tak lagi akrab dengan diri, hanya hasil kesepakatan orang lain yang kian asing.

    • PENEGASAN ULANG
    1) Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
    2) Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak

    BalasHapus
  53. Nama : Brigita C.T. Pusparani
    Kelas : XII MIPA 2


    1. Teks diatas termasuk kedalam teks esay. Karena, objek kajiannya berupa fenomena san juga tidak terdapat data-data yang dapat membuktikan kebenaran pendapat pengarang selain alasan yang berasal dari pribadi penulis sendiri atau pandangan penulis.
    2. SISTEMATIKA
    * PERNYATAAN PENDAPAT
    Kutipan Teks :
    1. Di depan kita pentas yang berkecamuk.
    * ARGUMEN
    Kutipan Teks :
    1. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
    2. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
    3. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
    4. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen.
    5. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan selalu tersembunyi ketidaksadaran.
    6. Bagi saya Teater Mandiri justru menunjukkan bahwa di sebuah negeri di mana tradisi dan antitradisi berbenturan (tapi juga sering berkelindan), bukan pengertian klasik itu yang berlaku.
    7. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan. Sebagaimana dalam puisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang hadir dalam pentas Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi, bukan pesan, apalagi khotbah. Hal ini penting, di zaman ketika komunikasi hanya dibangun oleh pesan verbal yang itu-itu saja, yang tak lagi akrab dengan diri, hanya hasil kesepakatan orang lain yang kian asing.
    * PENEGASAN ULANG
    Kutipan Teks :
    Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  54. NAMA : Adriano Daniel Kolo
    KELAS : XII MIPA 2

    1. Teks di atas termasuk ke dalam teks esai

    2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai
    • PERNYATAAN PENDAPAT
    1. Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.

    2. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
    • ARGUMEN
    1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.

    2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.

    3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.

    4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.

    5. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.

    6. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu.

    7. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.

    8. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya.

    9. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.

    • PENEGASAN ULANG
    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak. Sumber: Majalah Tempo Edisi Senin, 27 Juni 2011

    BalasHapus
  55. NAMA : Maria Angelika Djaga
    KELAS : XII MIPA 2

    1. Teks di atas termasuk ke dalam teks esai

    2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai

    ▪Pernyataan Pendapat
    1. Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
    2. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.

    ▪ Argumen
    1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
    2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
    3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
    4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.
    5. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
    6. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu.
    7. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.
    8. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya.
    9. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.

    ▪ Penegasan Ulang
    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  56. NAMA : Arlando G. Uskono
    KELAS : XII Alam 4

    1. Teks di atas termasuk ke dalam teks esai

    2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai

    ▪Pernyataan Pendapat
    1. Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
    2. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.

    ▪ Argumen
    1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
    2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
    3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
    4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.
    5. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
    6. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu.
    7. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.
    8. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya.
    9. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.

    ▪ Penegasan Ulang
    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  57. NAMA : Geovani V.M. Tae Lake
    KELAS : XII ALAM 4

    1. Teks di atas termasuk ke dalam teks esai

    2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai
    • PERNYATAAN PENDAPAT
    1. Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.

    2. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
    • ARGUMEN
    1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.

    2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.

    3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.

    4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.

    5. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.

    6. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu.

    7. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.

    8. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya.

    9. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.

    • PENEGASAN ULANG
    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak. Sumber: Majalah Tempo Edisi Senin, 27 Juni 2011

    BalasHapus
  58. Nama : Athanasius Keitaro Besi Datoklaran
    Kelas : XII Alam 4

    1. Teks di atas termasuk ke dalam teks esai

    2. Ssitematika beserta struktur dapat di uraikan sebagai berikut :

    Sistematika : Pernyataan Pendapat
    Kutipan Teks : Di depan kita pentas yang berkecamuk.

    Sistematika : Argumen
    Kutipan Teks :
    1. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
    2. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
    3. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
    4. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen.
    5. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan selalu tersembunyi ketidaksadaran.
    6. Bagi saya Teater Mandiri justru menunjukkan bahwa di sebuah negeri di mana tradisi dan antitradisi berbenturan (tapi juga sering berkelindan), bukan pengertian klasik itu yang berlaku.
    7. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan. Sebagaimana dalam puisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang hadir dalam pentas Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi, bukan pesan, apalagi khotbah. Hal ini penting, di zaman ketika komunikasi hanya dibangun oleh pesan verbal yang itu-itu saja, yang tak lagi akrab dengan diri, hanya hasil kesepakatan orang lain yang kian asing.

    Sitematika : Penegasan Ulang
    Kutipan Teks :
    1. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
    2. Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  59. nama : fadel priadiva yamin
    kelas :XII alam 4


    1. Teks di atas termasuk teks esai.

    2. #sistematika pernyataan pendapat. Kutipan teks : Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.

    #sistematika argumen. Kutipan teks :
    1)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
    2)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
    3)Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya.
    4)Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.
    5)Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Sartre kemudian menyadari ia salah.
    6)Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.

    #sistematika penegasan ulang. Kutipan teks : Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus

  60. Nama:maria yuanita emburea
    Kelas:XII mipa 4

    1. Teks diatas termasuk dalam teks esai.
    2.✓ Pernyataan pendapat
    Di depan kita pentas yang berkecamuk juga satu suku kata meledak:grr, dor, blong, los. atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: aduh,anu. di depan kita panggung teater mandiri.Teater mandiri pekan ini berumur 40 tahun sebuah riwayat yabg tak mudah seperti hampir semua grup teater di indonesia. ia bagian dari sejarah indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan bangun dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Puti Wijaya pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai teror dengan cara sederhana.Putu tak berseru tak berpesan.ia punya pendekatan tersendiri kepada kita.
    ✓ Argumen
    1) pada putu wijaya, kata adalah benda. kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang,sebuah kombinasi bunyi dan imaji,sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
    2)ini terutama hadir dalam teater yang membuat teater mandiri akan di kenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa dimana sosok dan benda tak berarti dihadirkan.
    3)Bagi saya teater ini adalah teater miskin dalam pengertian yabg berbeda dalam rumusan Jerzy Grotowski.
    4)saya ingat bagaimana pada tahun 1971 Puti Wijaya memulainya.ia bekerja sebagai salah satu redaktor majalah Tempo, yang berkantor di sebuh gedubg tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang dijalan Senen raya 83, Jakarta.
    ✓penegasan ulang
    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari "yang ada" dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  61. Nama : Resky Wardana Saputra
    Kelas : XII ALAM 4

    1. Teks di atas termasuk ke dalam teks esai

    2. Ssitematika beserta struktur dapat di uraikan sebagai berikut :

    Sistematika : Pernyataan Pendapat
    Kutipan Teks : Di depan kita pentas yang berkecamuk.

    Sistematika : Argumen
    Kutipan Teks :
    1. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
    2. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
    3. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
    4. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen.
    5. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan selalu tersembunyi ketidaksadaran.
    6. Bagi saya Teater Mandiri justru menunjukkan bahwa di sebuah negeri di mana tradisi dan antitradisi berbenturan (tapi juga sering berkelindan), bukan pengertian klasik itu yang berlaku.
    7. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan. Sebagaimana dalam puisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang hadir dalam pentas Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi, bukan pesan, apalagi khotbah. Hal ini penting, di zaman ketika komunikasi hanya dibangun oleh pesan verbal yang itu-itu saja, yang tak lagi akrab dengan diri, hanya hasil kesepakatan orang lain yang kian asing.

    Sitematika : Penegasan Ulang
    Kutipan Teks :
    1. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
    2. Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  62. Nama: Maria Magdalena Da Costa
    kelas: XII Alam 4

    1. Teks diatas termasuk kedalam teks esay. Karena, objek kajiannya berupa fenomena dan juga tidak terdapat data-data yang dapat membuktikan kebenaran pendapat pengarang selain alasan yang berasal dari pribadi penulis sendiri atau pandangan penulis.

    2. Analisislah sistematika teks berdasarkan struktur yang sesuai :

    •PERNYATAAN PENDAPAT
    Kutipan Teks :
    Di depan kita pentas yang berkecamuk.

    •ARGUMEN
    Kutipan Teks :
    1. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
    2. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
    3. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
    4. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen.
    5. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan selalu tersembunyi ketidaksadaran.
    6. Bagi saya Teater Mandiri justru menunjukkan bahwa di sebuah negeri di mana tradisi dan antitradisi berbenturan (tapi juga sering berkelindan), bukan pengertian klasik itu yang berlaku.
    7. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan. Sebagaimana dalam puisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang hadir dalam pentas Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi, bukan pesan, apalagi khotbah. Hal ini penting, di zaman ketika komunikasi hanya dibangun oleh pesan verbal yang itu-itu saja, yang tak lagi akrab dengan diri, hanya hasil kesepakatan orang lain yang kian asing.

    •PENEGASAN ULANG
    Kutipan Teks :
    Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  63. Nama : Maria Anita Soares Pereira
    Kelas : XII ALAM 4

    1. Teks diatas termasuk dalam teks esai.

    2. Analisis Sistematika

    *Pernyataan Pendapat

    1. Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.

    2. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
    riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
    teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
    yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
    pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
    tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.

    *Argumen

    1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
    materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
    kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
    menggebrak persepsi kita.

    2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
    Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
    teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
    yang tak berarti dihadirkan.

    3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
    pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
    Grotowski.

    4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
    memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
    majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
    bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
    Senen Raya 83, Jakarta.

    5. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.

    6. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya.

    7. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.

    *Penegasan Ulang

    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  64. Nama: Valentina Motu Mau
    Kelas : Xll alam 4

    1.Teks tersebut termasuk dalam teks essai

    2.Sistematikanya yaitu:
    a.Pernyataan pendapat
    1)Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
    2)Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
    b.Argumen
    1)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita. Ia tak mengklaim satu makna. Ia tak berarti: tak punya isi kognitif atau tak punya manfaat yang besar.
    2)Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan. Mungkin sosok itu (umumnya tak bernama) si sakit yang tak jelas sakitnya. Mungkin benda itu sekaleng kecil balsem. Atau selimut—hal-hal yang dalam kisah-kisah besar dianggap sepele. Dalam teater Putu Wijaya, justru itu bisa jadi fokus.
    3)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin. Putu Wijaya tak tertarik untuk berbicara tentang lapisanlapisan sosial. Teater Mandiri adalah ”teater miskin” karena ia, sebagaimana yang kemudian dijadikan semboyan kreatif Putu Wijaya, ”bertolak dari yang ada”.
    4)Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.
    c)Penegasan ulang
    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak. Sumber: Majalah Tempo Edisi Senin, 27 Juni 2011

    BalasHapus
  65. Nama : Maria Lydiana Sait
    Kelas : XII.A3

    1. Teks diatas termasuk dalam teks esai.

    2.✓ Pernyataan pendapat
    Di depan kita pentas yang berkecamuk juga satu suku kata meledak:grr, dor, blong, los. atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: aduh,anu. di depan kita panggung teater mandiri.Teater mandiri pekan ini berumur 40 tahun sebuah riwayat yabg tak mudah seperti hampir semua grup teater di indonesia. ia bagian dari sejarah indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan bangun dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Puti Wijaya pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai teror dengan cara sederhana.Putu tak berseru tak berpesan.ia punya pendekatan tersendiri kepada kita.

    ✓ Argumen
    1) pada putu wijaya, kata adalah benda. kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang,sebuah kombinasi bunyi dan imaji,sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
    2)ini terutama hadir dalam teater yang membuat teater mandiri akan di kenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa dimana sosok dan benda tak berarti dihadirkan.
    3)Bagi saya teater ini adalah teater miskin dalam pengertian yabg berbeda dalam rumusan Jerzy Grotowski.
    4)saya ingat bagaimana pada tahun 1971 Puti Wijaya memulainya.ia bekerja sebagai salah satu redaktor majalah Tempo, yang berkantor di sebuh gedubg tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang dijalan Senen raya 83, Jakarta.

    ✓penegasan ulang
    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari "yang ada" dari sana kreativitas yang sejati bertolak

    BalasHapus
  66. Nama : Pasquila Fahik
    Kelas : XII ALAM 4

    1. Teks diatas termasuk dalam teks esai.

    2. Analisis Sistematika

    *Pernyataan Pendapat

    1. Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.

    2. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
    riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
    teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
    yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
    pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
    tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.

    *Argumen

    1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
    materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
    kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
    menggebrak persepsi kita.

    2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
    Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
    teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
    yang tak berarti dihadirkan.

    3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
    pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
    Grotowski.

    4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
    memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
    majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
    bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
    Senen Raya 83, Jakarta.

    5. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.

    6. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya.

    7. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.

    *Penegasan Ulang

    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  67. Nama : Inggrid A. N. Layandi
    Kelas : XII Alam 4

    1. Teks di atas termasuk ke dalam teks esai

    2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai

    ▪Pernyataan Pendapat
    1. Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
    2. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.

    ▪ Argumen
    1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
    2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
    3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
    4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.
    5. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
    6. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu.
    7. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.
    8. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya.
    9. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.

    • Penegasan Ulang
    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak. Sumber: Majalah Tempo Edisi Senin, 27 Juni 2011

    BalasHapus
  68. Nama : Megiana Manek
    Kelas. XII.ALAM.4

    1. Teks diatas termasuk dalam teks esai

    2.
    ☑️Pernyataan pendapat
    Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: "Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
    Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak
    ☑️Argumen
    Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
    Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
    B saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski.
    ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.
    Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”
    Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti.
    Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.
    Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, "terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai
    Kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak.
    kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap.
    ☑️Penegasan ulang
    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dar "yang ada". Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  69. Nama: Fatima Maria Andriani
    Kelas: XIIA 3


    1. Teks di atas termasuk ke dalam teks …
    Teks diatas termasuk teks esai

    2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai!

    ✓ Pernyataan Pendapat
    Kutipan Teks: Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku
    kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau
    dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan:
    ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
    Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
    riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
    teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
    yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
    pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
    tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater
    ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—
    dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak
    berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.

    ✓Argumen
    Kutipan Teks:
    1.)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
    materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
    kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
    menggebrak persepsi kita.
    2.)Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
    Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
    teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
    yang tak berarti dihadirkan.
    3.)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
    pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
    Grotowski.
    4.)Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
    memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
    majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
    bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
    Senen Raya 83, Jakarta.

    ✓Penegasan ulang
    Kutipan Teks: Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”.
    Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  70. Nama : Maria Gracela Sandra De Beny
    Kelas : XII A4

    1. Teks di atas termasuk ke dalam teks esai

    2. Sitematika beserta struktur dapat di uraikan sebagai berikut :

    Pernyataan Pendapat
    Kutipan Teks : Di depan kita pentas yang berkecamuk.

    Argumen
    Kutipan Teks :
    1. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
    2. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
    3. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
    4. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen.
    5. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan selalu tersembunyi ketidaksadaran.
    6. Bagi saya Teater Mandiri justru menunjukkan bahwa di sebuah negeri di mana tradisi dan antitradisi berbenturan (tapi juga sering berkelindan), bukan pengertian klasik itu yang berlaku.
    7. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan. Sebagaimana dalam puisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang hadir dalam pentas Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi, bukan pesan, apalagi khotbah. Hal ini penting, di zaman ketika komunikasi hanya dibangun oleh pesan verbal yang itu-itu saja, yang tak lagi akrab dengan diri, hanya hasil kesepakatan orang lain yang kian asing.
    8. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
    Penegasan Ulang
    Kutipan Teks :
    1. Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  71. Nama: Sonia R. Correia
    Kelas : Xll Mipa 4

    1.Teks tersebut termasuk dalam teks essai

    2.Sistematikanya yaitu:
    a.Pernyataan pendapat
    1)Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
    2)Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
    b.Argumen
    1)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita. Ia tak mengklaim satu makna. Ia tak berarti: tak punya isi kognitif atau tak punya manfaat yang besar.
    2)Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan. Mungkin sosok itu (umumnya tak bernama) si sakit yang tak jelas sakitnya. Mungkin benda itu sekaleng kecil balsem. Atau selimut—hal-hal yang dalam kisah-kisah besar dianggap sepele. Dalam teater Putu Wijaya, justru itu bisa jadi fokus.
    3)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin. Putu Wijaya tak tertarik untuk berbicara tentang lapisanlapisan sosial. Teater Mandiri adalah ”teater miskin” karena ia, sebagaimana yang kemudian dijadikan semboyan kreatif Putu Wijaya, ”bertolak dari yang ada”.
    4)Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.
    c)Penegasan ulang
    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak. Sumber: Majalah Tempo Edisi Senin, 27 Juni 2011

    BalasHapus
  72. NAMA : ANAGIN MARICO MENDONCA
    KELAS : XII ALAM 4


    1. Teks diatas termasuk ke dalam teks essay
    2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai

    # Pernyataan pendapat
    Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
    Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.

    #Argumen
    Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita. Ia tak mengklaim satu makna. Ia tak berarti: tak punya isi kognitif atau tak punya manfaat yang besar.
    Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan. Mungkin sosok itu (umumnya tak bernama) si sakit yang tak jelas sakitnya. Mungkin benda itu sekaleng kecil balsem. Atau selimut—hal-hal yang dalam kisah-kisah besar dianggap sepele. Dalam teater Putu Wijaya, justru itu bisa jadi fokus.
    Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin. Putu Wijaya tak tertarik untuk berbicara tentang lapisanlapisan sosial. Teater Mandiri adalah ”teater miskin” karena ia, sebagaimana yang kemudian dijadikan semboyan kreatif Putu Wijaya, ”bertolak dari yang ada”.
    Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta. Siang hari ia akan bertugas sebagai wartawan. Malam hari, ketika kantor sepi, ia akan menggunakan ruangan yang terbatas dan sudah aus itu untuk latihan teater.

    #Penegasan Ulang
    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  73. Nama : Anagin Marici Mendonca
    Kelas : XII Alam 4


    1. Teks diatas termasuk ke dalam teks essay
    2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai

    #Pernyataan pendapat
    Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
    Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.

    # Argumen
    Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita. Ia tak mengklaim satu makna. Ia tak berarti: tak punya isi kognitif atau tak punya manfaat yang besar.
    Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan. Mungkin sosok itu (umumnya tak bernama) si sakit yang tak jelas sakitnya. Mungkin benda itu sekaleng kecil balsem. Atau selimut—hal-hal yang dalam kisah-kisah besar dianggap sepele. Dalam teater Putu Wijaya, justru itu bisa jadi fokus.
    Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin. Putu Wijaya tak tertarik untuk berbicara tentang lapisanlapisan sosial. Teater Mandiri adalah ”teater miskin” karena ia, sebagaimana yang kemudian dijadikan semboyan kreatif Putu Wijaya, ”bertolak dari yang ada”.
    Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta. Siang hari ia akan bertugas sebagai wartawan. Malam hari, ketika kantor sepi, ia akan menggunakan ruangan yang terbatas dan sudah aus itu untuk latihan teater.

    #Penegasan Ulang
    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  74. Nama : Maria Meditha Loi
    Kelas : XII.A.4

    1. Teks tersebut termasuk ke
    dalam Esai.
    2. Sistematika teks :
    ✳ Pernyataan Pendapat
    Kutipan teks :
    Di depan kita pentas yang .
    berkecamuk. Juga satu.
    suku kata yang meledak:
    ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”.
    Atau dua suku kata yang
    mengejutkan dan
    membingungkan:
    ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita:
    panggung Teater Mandiri.

    Teater Mandiri pekan ini
    berumur 40 tahun—sebuah
    riwayat yang tak mudah,
    seperti hampir semua grup
    teater di Indonesia. Ia
    bagian dari sejarah
    Indonesia
    yang sebenarnya penting.
    sebagai bagian dari cerita
    pembangunan ”bangun”
    dalam arti jiwa yang tak
    lelap tertidur. Putu Wijaya,
    pendiri. dan tiang utama
    teater ini, melihat peran
    pembangunan ini sebagai
    ”teror”— dengan cara yang
    sederhana. Putu tak berseru,
    tak berpesan. Ia punya.
    pendekatan tersendiri
    kepada kata.

    ✳ Argumen
    Kutipan teks :
    1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.

    2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.

    3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski.

    4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.

    5. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.

    6. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti.

    7. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.

    8. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak.

    9. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap.

    ✳ Penegasan Ulang
    Kutipan teks :
    Sebab yang tak terkatakan
    juga bagian dari ”yang ada”.
    Dari sana kreativitas yang
    sejati bertolak.





    BalasHapus
  75. Nama : Agnes Elisabeth Ena
    Kelas : XII Alam 4


    1. Teks diatas termasuk dalam teks esai.

    2. Analisis Sistematika

    ~ Pernyataan Pendapat

    1. Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.

    2. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
    riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
    teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
    yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
    pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
    tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.

    ~ Argumen

    1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
    materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
    kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
    menggebrak persepsi kita.

    2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
    Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
    teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
    yang tak berarti dihadirkan.

    3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
    pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
    Grotowski.

    4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
    memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
    majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
    bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
    Senen Raya 83, Jakarta.

    5. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.

    6. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya.

    7. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.

    ~ Penegasan Ulang

    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak

    BalasHapus
  76. NAMA : Seno M Pallawagau
    KELAS : XII Alam 4

    1. Teks di atas termasuk ke dalam teks esai

    2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai
    • PERNYATAAN PENDAPAT
    1. Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.

    2. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
    • ARGUMEN
    1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.

    2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.

    3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.

    4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.

    5. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.

    6. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu.

    7. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.

    8. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya.

    9. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.

    • PENEGASAN ULANG
    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak. Sumber: Majalah Tempo Edisi Senin, 27 Juni 2011

    BalasHapus
  77. Nama : Maria D. C Asy
    kelas : XllA³


    1. Teks diatas termasuk kedalam teks esay.

    2.analisah sistematika teks tersebut yaitu:


    *️⃣Pernyataan Pendapat
    Kutipan Teks: Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku
    kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau
    dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan:
    ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
    Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
    riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
    teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
    yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
    pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
    tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater
    ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—
    dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak
    berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.

    *️⃣Argumen
    Kutipan Teks:
    1.)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
    materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
    kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
    menggebrak persepsi kita.
    2.)Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
    Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
    teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
    yang tak berarti dihadirkan.
    3.)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
    pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
    Grotowski.
    4.)Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
    memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
    majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
    bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
    Senen Raya 83, Jakarta.

    *️⃣Penegasan ulang
    Kutipan Teks: Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”.
    Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  78. Nama: Maria Karini Saputri
    Kelas: XII Mipa 3

    1. Teks di atas termasuk ke dalam teks esai

    2.struktur teks :
    ✧Pernyataan Pendapat
    Kutipan Teks: Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku
    kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau
    dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan:
    ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
    Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
    riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
    teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
    yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
    pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
    tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater
    ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—
    dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak
    berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.

    ✧Argumen
    Kutipan Teks:
    1.)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
    materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
    kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
    menggebrak persepsi kita.
    2.)Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
    Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
    teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
    yang tak berarti dihadirkan.
    3.)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
    pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
    Grotowski.
    4.)Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
    memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
    majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
    bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
    Senen Raya 83, Jakarta.

    ✧Penegasan ulang
    Kutipan Teks: Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”.
    Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  79. Nama : crisanta mathilda dita bina
    Kelas : XII ALAM 3
    no absen : 09


    1. Teks diatas termasuk ke dalam teks essay
    2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai

    🌟 Pernyataan pendapat
    Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
    Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.

    🌟 Argumen
    Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita. Ia tak mengklaim satu makna. Ia tak berarti: tak punya isi kognitif atau tak punya manfaat yang besar.
    Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan. Mungkin sosok itu (umumnya tak bernama) si sakit yang tak jelas sakitnya. Mungkin benda itu sekaleng kecil balsem. Atau selimut—hal-hal yang dalam kisah-kisah besar dianggap sepele. Dalam teater Putu Wijaya, justru itu bisa jadi fokus.
    Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin. Putu Wijaya tak tertarik untuk berbicara tentang lapisanlapisan sosial. Teater Mandiri adalah ”teater miskin” karena ia, sebagaimana yang kemudian dijadikan semboyan kreatif Putu Wijaya, ”bertolak dari yang ada”.
    Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta. Siang hari ia akan bertugas sebagai wartawan. Malam hari, ketika kantor sepi, ia akan menggunakan ruangan yang terbatas dan sudah aus itu untuk latihan teater.

    🌟 Penegasan Ulang
    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak

    BalasHapus
  80. Nama: Fransiska W.B.Noka
    Kelas: XII Alam 4

    1. *Teks diatas termasuk kedalam teks esai
    2. * pernyataan pendapat
    Di depan kita pentas yg bekecamuk juga satu suku kata yang meledak. Grrr, dor, blong, los. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan aduh, anu. Didepan kita panggung teater mandiri. Teater mandiri tahun ini berumur 40 tahun sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di indonesia. Ia bagian dari sejarah indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari sejarah indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan bangun dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan sebagai teror dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kita.
    * argumen
    1. Pada putu wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imajinasi, sesuatu yg fisik yg menggebrak persepsi kita.
    2. Ini terutama hadir dalam teaternya yang membuat teater mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, dimana sosok dan benda yang tak berarti di hadirkan.
    3. Bagi sy teater ini adalah teater miskin dalam pengertian yang berbeda
    4 . Saya ingin bagaimna pada tahun 1971, putu wijaya memulainya ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah tempo, yang berkantor disebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang dijalan senen raya jakarta
    * penegasan ulang
    Sebeb yang tak terkatakan juga bagian dari yang ada dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  81. Nama : Lucia Filianes Funan Lamba
    Kelas : XII MIPA 4

    1. Teks di atas πŸ‘†termasuk ke dalam teks …
    Jawab: Teks Geer karya Gunawan Muhammad tersebut termasuk ke dalam teks esai.

    2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai!
    Jawab:
    Berikut analisis sistematika teks Geer karya Gunawan Muhammad :

    * Pernyataan Pendapat
    1. Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.

    2. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.

    *Argumen
    1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita. Ia tak mengklaim satu makna. Ia tak berarti: tak punya isi kognitif atau tak punya manfaat yang besar.

    2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.

    3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin. Putu Wijaya tak tertarik untuk berbicara tentang lapisanlapisan sosial.

    4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.

    5. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri. Juga teater yang hidup dari tarikmenarik antara patos dan humor, antara suasana yang terbangun utuh dan disintegrasi yang segera mengubah keutuhan itu.

    6. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen.

    7. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.

    8. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan.

    9. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu.

    * Penegasan Ulang
    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  82. Nama: Andreas Tadon Bota
    Kelas : xii alam 4

    1. Teks di atas termasuk ke dalam teks esai

    2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai

    ▪Pernyataan Pendapat
    1. Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
    2. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.

    ▪ Argumen
    1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
    2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
    3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin.
    4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.
    5. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
    6. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu.
    7. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.
    8. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya.
    9. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.

    ▪ Penegasan Ulang
    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus
  83. Nama: Maria Melita Bauk
    Kelas: XII MIPA 3

    1 . teks di atas merupakan sebuah teks essay karena dalam setiap kalimatnya terdapat prosa dan cukup singkat serta memiliki ciri khasnya
    2. Analisis sistematik teks

    a. PERNYATAAN PENDAPAT
    Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
    Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.


    b. ARGUMEN

    1. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta. Siang hari ia akan bertugas sebagai wartawan. Malam hari, ketika kantor sepi, ia akan menggunakan ruangan yang terbatas dan sudah aus itu untuk latihan teater. Dan ia akan mengajak siapa saja: seorang tukang kayu muda yang di waktu siang memperbaiki bangunan kantor, seorang gelandangan tua yang tiap malam istirahat di pojok jalan itu, seorang calon fotograf yang gagap. Ia tak menuntut mereka untuk berakting dan mengucapkan dialog yang cakap. Ia membuat mereka jadi bagian teater sebagai peristiwa, bukan hanya cerita.

    2. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu.
    3. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan. Sebagaimana dalam puisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang hadir dalam pentas Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi, bukan pesan, apalagi khotbah. Hal ini penting, di zaman ketika komunikasi hanya dibangun oleh pesan verbal yang itu-itu saja, yang tak lagi akrab dengan diri, hanya hasil kesepakatan orang lain yang kian asing.

    c. PENEGASAN ULANG :Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak. Sumber: Majalah Tempo Edisi Senin, 27 Juni 2011

    BalasHapus
  84. Nama : Theresia R. Tubani
    Kelas : Xll Alam 4

    1. Teks di atas termasuk teks Esai
    2. Analisa sistematika teks :

    *Pernyataan pendapat :
    1) Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
    2) Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
    *Argumen :
    1) Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
    2) Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
    3) Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski.
    4) Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.
    5) Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.
    6) Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya.
    7) Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu
    *Penegasan Ulang :
    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak. Sumber: Majalah Tempo Edisi Senin, 27 Juni 2011



    BalasHapus
  85. Nama : Viktoria A L Nena
    Kelas : 12 alam 4

    ang hari ia akan bertugas sebagai wartawan. Malam hari, ketika kantor sepi, ia akan menggunakan ruangan yang terbatas dan sudah aus itu untuk latihan teater.

    #Penegasan Ulang
    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BALAS

    Maria Meditha Loi5 Februari 2021 19.18
    Nama : Maria Meditha Loi
    Kelas : XII.A.4

    1. Teks tersebut termasuk ke
    dalam Esai.
    2. Sistematika teks :
    ✳ Pernyataan Pendapat
    Kutipan teks :
    Di depan kita pentas yang .
    berkecamuk. Juga satu.
    suku kata yang meledak:
    ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”.
    Atau dua suku kata yang
    mengejutkan dan
    membingungkan:
    ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita:
    panggung Teater Mandiri.

    Teater Mandiri pekan ini
    berumur 40 tahun—sebuah
    riwayat yang tak mudah,
    seperti hampir semua grup
    teater di Indonesia. Ia
    bagian dari sejarah
    Indonesia
    yang sebenarnya penting.
    sebagai bagian dari cerita
    pembangunan ”bangun”
    dalam arti jiwa yang tak
    lelap tertidur. Putu Wijaya,
    pendiri. dan tiang utama
    teater ini, melihat peran
    pembangunan ini sebagai
    ”teror”— dengan cara yang
    sederhana. Putu tak berseru,
    tak berpesan. Ia punya.
    pendekatan tersendiri
    kepada kata.

    ✳ Argumen
    Kutipan teks :
    1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.

    2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.

    3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski.

    4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai ya

    5. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.

    6. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti.

    7. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.

    8. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak.

    9. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap.

    ✳ Penegasan Ulang
    Kutipan teks :
    Sebab yang tak terkatakan
    juga bagian dari ”yang ada”.
    Dari sana kreativitas yang
    sejati bertolak.

    BalasHapus
  86. Nama: Viktoria A L Nena
    Kelas : 12 alam 4


    1. Teks tersebut termasuk ke
    dalam Esai.
    2. Sistematika teks :
    ✳ Pernyataan Pendapat
    Kutipan teks :
    Di depan kita pentas yang .
    berkecamuk. Juga satu.
    suku kata yang meledak:
    ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”.
    Atau dua suku kata yang
    mengejutkan dan
    membingungkan:
    ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita:
    panggung Teater Mandiri.

    Teater Mandiri pekan ini
    berumur 40 tahun—sebuah
    riwayat yang tak mudah,
    seperti hampir semua grup
    teater di Indonesia. Ia
    bagian dari sejarah
    Indonesia
    yang sebenarnya penting.
    sebagai bagian dari cerita
    pembangunan ”bangun”
    dalam arti jiwa yang tak
    lelap tertidur. Putu Wijaya,
    pendiri. dan tiang utama
    teater ini, melihat peran
    pembangunan ini sebagai
    ”teror”— dengan cara yang
    sederhana. Putu tak berseru,
    tak berpesan. Ia punya.
    pendekatan tersendiri
    kepada kata.

    ✳ Argumen
    Kutipan teks :
    1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.

    2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.

    3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski.

    4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.

    5. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.

    6. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti.

    7. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.

    8. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak.

    9. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap.

    ✳ Penegasan Ulang
    Kutipan teks :
    Sebab yang tak terkatakan
    juga bagian dari ”yang ada”.
    Dari sana kreativitas yang
    sejati bertolak.

    BalasHapus
  87. Nama : Magdalena C. Soi Bau
    Kelas : Xll Alam 3

    1. Teks tersebut termasuk esai sastra karena si pengarang, Gunawan Muhamad membuat sebuah karangan prosa yang membahas suatu masalah dengan dengan sudut pandang pribadi penulis.

    2. Sistematikanya yaitu :
    A. Pernyataan Pendapat
    "Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
    Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata."

    B. Argumen
    1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita. Ia tak mengklaim satu makna. Ia tak berarti: tak punya isi kognitif atau tak punya manfaat yang besar.
    2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan. Mungkin sosok itu (umumnya tak bernama) si sakit yang tak jelas sakitnya. Mungkin benda itu sekaleng kecil balsem. Atau selimut—hal-hal yang dalam kisah-kisah besar dianggap sepele. Dalam teater Putu Wijaya, justru itu bisa jadi fokus.
    3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin. Putu Wijaya tak tertarik untuk berbicara tentang lapisanlapisan sosial. Teater Mandiri adalah ”teater miskin” karena ia, sebagaimana yang kemudian dijadikan semboyan kreatif Putu Wijaya, ”bertolak dari yang ada”.
    Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta. Siang hari ia akan bertugas sebagai wartawan. Malam hari, ketika kantor sepi, ia akan menggunakan ruangan yang terbatas dan sudah aus itu untuk latihan teater. Dan ia akan mengajak siapa saja: seorang tukang kayu muda yang di waktu siang memperbaiki bangunan kantor, seorang gelandangan tua yang tiap malam istirahat di pojok jalan itu, seorang calon fotograf yang gagap. Ia tak menuntut mereka untuk berakting dan mengucapkan dialog yang cakap. Ia membuat mereka jadi bagian teater sebagai peristiwa, bukan hanya cerita.
    4. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri. Juga teater yang hidup dari tarikmenarik antara patos dan humor, antara suasana yang terbangun utuh dan disintegrasi yang segera mengubah keutuhan itu.
    5. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan selalu tersembunyi ketidaksadaran.


    C. Penegasan
    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak. Sumber: Majalah Tempo Edisi Senin, 27 Juni 2011

    BalasHapus
  88. Anggelina Bernardin Bria
    XII MIPA 4

    1. Teks tersebut termasuk dalam teks esai

    2. Analisi sistematika teks

    Pernyataan pendapat
    Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
    Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia.

    Argumen
    1). Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
    2) Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
    3) Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin. Putu Wijaya tak tertarik untuk berbicara tentang lapisanlapisan sosial.
    4) Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta. Siang hari ia akan bertugas sebagai wartawan. Dan ia akan mengajak siapa saja.Ia membuat mereka jadi bagian teater sebagai peristiwa, bukan hanya cerita.
    6) Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.
    7) Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan selalu tersembunyi ketidaksadaran.
    8) Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”. Bagi saya Teater Mandiri justru menunjukkan bahwa di sebuah negeri di mana tradisi dan antitradisi berbenturan (tapi juga sering berkelindan), bukan pengertian klasik itu yang berlaku.
    9) Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan.
    10) Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.

    Penegasan ulang
    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak. Sumber: Majalah Tempo Edisi Senin, 27 Juni 2011

    BalasHapus
  89. NAMA: ROSWITA IMELDA I EMBULA
    KELAS: XII ALAM 4


    1. Teks tersebut termasuk ke
    dalam Esai.
    2. Sistematika teks :
    ● Pernyataan Pendapat
    Kutipan teks :
    Di depan kita pentas yang .
    berkecamuk. Juga satu.
    suku kata yang meledak:
    ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”.
    Atau dua suku kata yang
    mengejutkan dan
    membingungkan:
    ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita:
    panggung Teater Mandiri.

    Teater Mandiri pekan ini
    berumur 40 tahun—sebuah
    riwayat yang tak mudah,
    seperti hampir semua grup
    teater di Indonesia. Ia
    bagian dari sejarah
    Indonesia
    yang sebenarnya penting.
    sebagai bagian dari cerita
    pembangunan ”bangun”
    dalam arti jiwa yang tak
    lelap tertidur. Putu Wijaya,
    pendiri. dan tiang utama
    teater ini, melihat peran
    pembangunan ini sebagai
    ”teror”— dengan cara yang
    sederhana. Putu tak berseru,
    tak berpesan. Ia punya.
    pendekatan tersendiri
    kepada kata.

    ●Argumen
    Kutipan teks :
    1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.

    2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.

    3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski.

    4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta.

    5. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri.

    6. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti.

    7. Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”.

    8. Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak.

    9. Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap.

    ●Penegasan Ulang
    Kutipan teks :
    Sebab yang tak terkatakan
    juga bagian dari ”yang ada”.
    Dari sana kreativitas yang
    sejati bertolak.

    BalasHapus
  90. Nama : Noviana Trysusela soi
    Kelas : Xll. Alam3



    1. Teks diatas termasuk dalam teks esai

    2. Sistematika teks tersebut adalah
    * Peryataan pendapat
    Kutipan teks : Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku yang meledak: "Grrr","Dor", "Blong", "Los". Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan : "Aduh", "Anu". Di depan kita panggung teater mandiri.

    Teater mandiri pekan ini berumur 40- Tahun sebuah riwayat yang tak mudah , seperti hampir semua grup teater di Indonesia.Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembagunan " bangun" dalam arti jiwa yang tak lelep tertidur. Putu Wijaya , pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembagunan ini sebagai " teror" dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kita.
    ** Argumen
    Kutipan teks :
    1. Pada Putu Wijaya , kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita.
    2. Ini terutama hadir dalam teaternya- yang membuat Teater mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa , dimana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
    3. Bagi saya, teater ini adalah " teater miskin" dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski.
    4. Saya ingat bagaimana pada tahun 1971. Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu derektur mejalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di jalan Senen Raya 83. Jakarta.

    *** Penegasan ulang
    Kutipan teks:
    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari " yang ada " . Dari sana kreativitas yang bertolak.

    BalasHapus
  91. Nama : Mariani j.a.langgut
    Kelas. : XII.A3

    1. Teks di atas termasuk ke dalam teks …
    Teks diatas termasuk teks esai

    2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai!

    πŸ’  Pernyataan Pendapat
    Kutipan Teks: Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku
    kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau
    dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan:
    ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
    Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah
    riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup
    teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia
    yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita
    pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap
    tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater
    ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—
    dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak
    berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.

    πŸ’ Argumen
    Kutipan Teks:
    1.)Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah
    materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah
    kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang
    menggebrak persepsi kita.
    2.)Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat
    Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik
    teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda
    yang tak berarti dihadirkan.
    3.)Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam
    pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy
    Grotowski.
    4.)Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya
    memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur
    majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua
    bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan
    Senen Raya 83, Jakarta.

    πŸ’ Penegasan ulang
    Kutipan Teks: Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”.
    Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.

    BalasHapus

  92. Kelas : Xll A4

    1. Teks di atas termasuk ke dalam teks Esai
    2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai

    Sistematika.
    ▪️Pernyataan pendapat
    Kutipan teks :
    Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
    Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata."

    ▪️Argumen

    1. Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita. Ia tak mengklaim satu makna. Ia tak berarti: tak punya isi kognitif atau tak punya manfaat yang besar.
    2. Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan. Mungkin sosok itu (umumnya tak bernama) si sakit yang tak jelas sakitnya. Mungkin benda itu sekaleng kecil balsem. Atau selimut—hal-hal yang dalam kisah-kisah besar dianggap sepele. Dalam teater Putu Wijaya, justru itu bisa jadi fokus.
    3. Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin. Putu Wijaya tak tertarik untuk berbicara tentang lapisanlapisan sosial. Teater Mandiri adalah ”teater miskin” karena ia, sebagaimana yang kemudian dijadikan semboyan kreatif Putu Wijaya, ”bertolak dari yang ada”.
    Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta. Siang hari ia akan bertugas sebagai wartawan. Malam hari, ketika kantor sepi, ia akan menggunakan ruangan yang terbatas dan sudah aus itu untuk latihan teater. Dan ia akan mengajak siapa saja: seorang tukang kayu muda yang di waktu siang memperbaiki bangunan kantor, seorang gelandangan tua yang tiap malam istirahat di pojok jalan itu, seorang calon fotograf yang gagap. Ia tak menuntut mereka untuk berakting dan mengucapkan dialog yang cakap. Ia membuat mereka jadi bagian teater sebagai peristiwa, bukan hanya cerita.
    4. Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri. Juga teater yang hidup dari tarikmenarik antara patos dan humor, antara suasana yang terbangun utuh dan disintegrasi yang segera mengubah keutuhan itu.
    5. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan selalu tersembunyi ketidaksadaran.

    ▪️Penegasan ulang

    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.




    BalasHapus
  93. Nama : Christasula Meysi Muti Mali
    Kelas : XII Alam 3



    1. Teks diatas termasuk ke dalam teks essai

    2. Analisislah sistematika teks tersebut berdasarkan struktur yang sesuai:
    > Pernyataan pendapat
    Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
    Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.

    > Argumen
    Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita. Ia tak mengklaim satu makna. Ia tak berarti: tak punya isi kognitif atau tak punya manfaat yang besar.
    Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan. Mungkin sosok itu (umumnya tak bernama) si sakit yang tak jelas sakitnya. Mungkin benda itu sekaleng kecil balsem. Atau selimut—hal-hal yang dalam kisah-kisah besar dianggap sepele. Dalam teater Putu Wijaya, justru itu bisa jadi fokus.
    Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin. Putu Wijaya tak tertarik untuk berbicara tentang lapisanlapisan sosial. Teater Mandiri adalah ”teater miskin” karena ia, sebagaimana yang kemudian dijadikan semboyan kreatif Putu Wijaya, ”bertolak dari yang ada”.
    Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta. Siang hari ia akan bertugas sebagai wartawan. Malam hari, ketika kantor sepi, ia akan menggunakan ruangan yang terbatas dan sudah aus itu untuk latihan teater.

    > Penegasan Ulang
    Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertol

    BalasHapus
  94. Nama : Maria septima manek
    Kelas : XII. A4

    1. Teks diatas termasuk teks
    esai
    2. Berikut analisis sistematika
    teks diatas....
    ● pernyataan pendapat
    1. Didepan kita pentas
    yang berkecamuk. Juga
    satu suku kata yang
    meledak: ”Grrr”, ”Dor”,
    ”Blong”, ”Los”. Atau dua
    suku kata yang
    mengejutkan dan
    membingungkan: Aduh”,
    ”Anu”. Di depan kita:
    panggung Teater
    Mandiri.
    2. Teater Mandiri pekan ini
    berumur 40 tahun—
    sebuah riwayat yang tak
    mudah, seperti hampir
    semua grup teater di
    Indonesia. Ia bagian dari
    sejarah Indonesia
    yang sebenarnya penting
    sebagai bagian dari
    cerita pembangunan
    ”bangun” dalam arti jiwa
    yang tak lelap tertidur.
    Putu Wijaya, pendiri dan
    tiang utama teater
    ini, melihat peran
    pembangunan ini
    sebagai ”teror”—dengan
    cara yang sederhana.
    Putu tak berseru, tak
    berpesan. Ia punya
    pendekatan tersendiri
    kepada kata.

    3. Bagi saya, teater ini
    adalah ”teater miskin”
    dalam pengertian yang
    Berbeda dengan rumusan
    Jerzy Grotowski. Bukan
    karena ia hanya bercerita
    tentang kalangan miskin.
    Putu Wijaya tak tertarik
    untuk berbicara tentang
    lapisanlapisan sosial.
    Teater Mandiri adalah
    ”teater miskin” karena ia,
    sebagaimana yang
    kemudian dijadikan
    semboyan
    kreatif Putu Wijaya,
    ”bertolak dari yang ada”.

    ● Argumen
    1. Pada Putu Wijaya, kata
    adalah benda. Kata
    adalah materi yang punya
    volume di sebuah ruang,
    sebuah kombinasi bunyi
    dan imaji, sesuatu yang
    fisik yang menggebrak
    persepsi kita. Ia tak
    mengklaim satu makna.
    Ia tak berarti: tak punya
    isi kognitif atau tak punya
    manfaat yang besar.
    Ini terutama hadir dalam
    teaternya—yang
    membuat Teater Mandiri
    akan dikenang sebagai
    contoh terbaik teater
    sebagai peristiwa, di
    mana sosok dan benda
    yang tak berarti
    dihadirkan. Mungkin
    sosok itu (umumnya tak
    bernama) si sakit yang
    tak jelas sakitnya.
    Mungkin benda itu
    sekaleng kecil balsem.
    Atau selimut—hal-hal
    yang dalam kisah-kisah
    besar dianggap sepele.
    Dalam teater Putu Wijaya,
    justru itu bisa jadi fokus.
    3. ya ingat bagaimana pada
    tahun 1971, Putu Wijaya
    memulainya. Ia bekerja
    sebagai salah satu
    redaktur majalah Tempo,
    yang berkantor di sebuah
    gedung tua bertingkat
    dua dengan lantai yang
    goyang di Jalan Senen
    Raya 83, Jakarta. Siang
    hari ia akan bertugas
    sebagai wartawan.
    Malam hari, ketika kantor
    sepi, ia akan
    menggunakan ruangan
    yang terbatas dan sudah
    aus itu untuk latihan
    teater. Dan ia akan
    mengajak siapa saja:
    seorang tukang kayu
    muda yang di waktu
    siang memperbaiki
    bangunan kantor, seorang
    gelandangan tua yang
    tiap malam istirahat di
    pojok jalan itu, seorang
    calon fotograf yang
    gagap. Ia
    tak menuntut mereka
    untuk berakting dan
    mengucapkan dialog
    yang cakap. Ia membuat
    mereka jadi bagian teater
    sebagai peristiwa, bukan
    hanya cerita.

    ● Penegasan ulang
    Sebab yang tak terkatakan
    juga bagian dari ”yang
    ada”. Dari sana kreativitas
    yang sejati bertolak.


    BalasHapus

Pelajaran Bahasa Indonesia Bab 3

5 Keistimewaan Umat Muslim

  5 Keistimewaan Umat Muslim oleh Muh. Hasyim Pada hakikatnya Allah swt menguji keimanan itu sendiri kepada setiap orang muslim agar mereka ...