Kembalikan Hak Guru
Oleh: Muh Hasyim
Setiap warga Negara berhak mendapat dan mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Ini bunyi pasal 31 UUD 45. Pasal ini menjelaskan bahwa pemerintah bertanggungjawab ataupun Negara bertanggungjawab dalam kemajuan pendidikan bangsa ini. Tanggung jawab dimaksud adalah pembiayaan.
Salah satu ayat dari pasal pendidikan menjelaskan bahwa "Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional'.
Penjelasan tersebut merupakan amanat UU yang harus diemban oleh pemerintah dalam menjalankan tugas membangun bangsa Indonesia dari berbagai bidang. Tugas membangun bidang pendidikan Indonesia sudah dan sedang dilaksanakan oleh pemerintahan sebelumnya dan sekarang. Secara bertahap hasil pembangunan bidang pendidikan mulai dirasakan oleh rakyat Indonesia. Fakta menjelaskan bahwa dewasa ini pemerintah sedang melaksanakan amanat pendidikan dasar sembilan tahun bagi warga negara Indonesia. Sebelumnya sudah ditetapkan pendidikan dasar enam tahun. Artinya pendidikan dasar yang harus ditempuh oleh setiap warga negara minimal sembilan tahun atau paling kurang tamat SMP. Sebelumnya Pendidikan dasar yang diwajibkan kepada setiap warga negara enam tahun atau paling kurang tamat SD. Malah sekarang diwajibkan pendidikan setiap warga negara Indonesia paling kurang tamat SMA.
Keterangan tentang pembangunan bidang pendidikan oleh pemerintah tersebut tentu sudah kita rasakan bukan.
Yang menjadi sorotan kali ini tentang bagaimana cara penerapan pendidikan wajib SMA bagi rakyat Indonesia?
Mendengar sebutan kata SMA tidak asing lagi di telinga kita. SMA merupakan tingkatan pendidikan dasar yang paling tinggi (High School). Tentu cara menempuhnya juga berbeda dengan tingkatan di bawahnya yaitu SD dan SMP. Awal kemerdekaan perlakuan untuk tingkatkan SMA jauh lebih baik. Misalnya dari segi penyaringan masuk SMA. Panitia penerimaan siswa baru tidak tanggung-tanggung menyusun syarat. Salah satu syarat calon peserta harus lulus SMP dan harus mengikuti tes masuk SMA. Masih ada lagi berbagai syarat yang harus dipenuhi oleh calon siswa baru dinyatakan diterima untuk diajar, dididik, dan dilatih. Diajarkan ilmu pengetahuan umum yang menjadi bekal kelak masuk ke Perguruan Tinggi. Juga siswa didik etika dan sebagainya dalam memanfaatkan ilmu. Bukan hanya itu, siswa juga dilatih agar terampil dalam berilmu.
Dari hasil mengajar, mendidik, dan melatih keluaran SMA dapat bersaing bebas masuk perguruan tinggi. Itu sudah ditetapkan sejak dulu. Namun dengan kemajuan teknologi sekarang, bangsa Indonesia berusaha untuk menyesuaikan. Hanya hasilnya banyak pihak yang merasa kecewa untuk era teknologi sekarang. Siswa di satu sisi banyak tahu tapi di sisi lain banyak kekurangan. Etika terhadap orang tua dan guru tidak dipedulikan.
Bahkan karena terlalu ngotot menyesuaikan diri dengan dunia teknologi. Etika bangsa menjadi merosot. Siswa dan guru seolah teman bahkan tidak saling kenal. Guru dan orang tua tidak kenal, tidak akur, bahkan dilecehkan. Keadaan tersebut baru terjadi di era sekarang. Ditambah lagi dengan syarat penerimaan siswa baru yang turut diatur oleh pemerintah membuat semua menjadi kebablasan. Misalnya penerimaan siswa baru di seluruh pelosok ditetapkan zonasi. Padahal kondisi setiap wilayah punya spesifikasi yang berbeda. Sekarang ditambah lagi dengan syarat diutamakan usianya. Maksudnya agar seluruh warga negara dapat mengenyam pendidikan. Tapi malah menimbulkan konflik. Guru di sekolah hanya jadi boneka. Bahan pajangan bagi penguasa dalam menjalankan tugas. Guru dewasa ini hanya sebagai alat pelengkap di sekolah. Tugas mengajar, mendidik, melatih bagi guru tidak seefektif awal kemerdekaan. Sikap guru masa bodoh terhadap siswa semakin meningkat. Karena guru tidak mau berurusan dengan hukum yang mengkebiri hak mendidik dan melatih. Mendidik dengan budaya lokal dianggap melanggar hukum, padahal sesungguhnya dengan kebiasaan di daerah itulah yang akan melahirkan orang bisa beretika di masyarakat.
Kalau hasil pendidikan itu mau dijadikan aset moral bangsa ke depan, maka proses pendidikan harus diserahkan ke guru sebagai ahlinya. Pemerintah kembali menjadi fasilitator pembangunan bidang pendidikan.