Senin, 28 September 2020

Pengetahuan Bahasa Indonesia

WAJIB TAHU BAHASA INDONESIA DASAR
oleh : Muh Hasyim

Menjadi warga negara yang baik harus mencintai dan menghormati apa yang menjadi lambang negara. Bahasa Indonesia merupakan lambang negara Republik Indonesia. Sebagaimana tertuang dalam UUD 45 pasal 36 dan sumpah pemuda 28 Oktober 1928 sebagai bahasa persatuan. Untuk itu, kita sebagai warga negara wajib mempelajari dan menggunakan Bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi dalam dunia pendidikan di Indonesia Bahasa Indonesia dijadikan bahasa pengantar di semua jenjang pendidikan. Agar kita tidak buta terhadap Bahasa Indonesia ayo mari kita belajar bahasa Indonesia dasar berikut ini: https://sites.google.com/view/haptim/pelajaran-anak-sekolah

Sudah tahu bukan? Sekarang coba jawab pertanyaan saya!

  1. Coba jelaskan pengertian abjad!
  2. Coba lanjutkan suku kata adalah... .
  3. Jelaskanlah pengertian kata!
  4. Coba lanjutkan frasa adalah ... .
  5. Klausa adalah ,,, ,
  6. Kalimat adalah... .
  7. Paragraf adalah ....                                                                                                                          Tulislah jawabanmu dalam kolom komentar di bawah ini!






Sejarah

 

 


SEJARAH KABUPATEN BELU

Diedit oleh : Muh Hasyim, S.Pd

Sesuai  berbagai  penelitian  dan cerita sejarah daerah di Belu, manusia Belu pertama yang mendiami wilayah Belu  adalah “Suku  Melus“.  Orang Melus    dikenal    dengan    sebutan “Emafatuk   Oan   Ema   Ai   Oan“, (manusia  penghuni  batu  dan  kayu). Tipe manusia Melus adalah berpostur kuat,   kekar   dan   bertubuh   pendek. Semua para pendatang yang menghuni Belu  sebenarnya  berasal  dari “Sina Mutin  Malaka”.  Malaka  merupakan tanah  asal-usul  pendatang  di  Belu yang berlayar menuju Timor melalui Larantuka.   

Khusus    untuk    para pendatang baru yang mendiami daerah Belu  terdapat  berbagai  versi  cerita. Kendati demikian, intinya bahwa, ada kesamaan universal yang dapat ditarik dari semua informasi dan data. Ada cerita bahwa ada tiga orang bersaudara  dari  tanah  Malaka  yang datang dan tinggal di Belu, bercampur dengan suku asli Melus. Nama ketiga bersaudara itu menurut para tetua adat masing-masing daerah berlainan.  Dari Makoan    Fatuaruin    menyebutnya Nekin   Mataus     (Likusaen),   Suku Mataus (Sonbai),  dan  Bara  Mataus (Fatuaruin). Sedangkan Makoan asal Dirma   menyebutnya   Loro   Sankoe (Debuluk,   Welakar),   Loro   Banleo (Dirma,  Sanleo)  dan   Loro  Sonbai (Dawan). 

Namun  menurut  beberapa makoan asal Besikama  yang berasal dari   Malaka   ialah;   Wehali   Nain, Wewiku Nain dan Haitimuk Nain. Ketiga   orang   bersaudara   dari Malaka tersebut bergelar raja atau loro dan memiliki wilayah kekuasaan yang jelas dengan persekutuan yang akrab dengan   masyarakatnya.   Kedatangan mereka dari tanah Malaka hanya untuk menjalin   hubungan   dagang     antar daerah di bidang kayu cendana dan hubungan etnis keagamaan.

Dari semua pendatang di Belu, pimpinan  dipegang  oleh “Maromak oan“  Liurai  Nain  di  Belu  bagian Selatan. Bahkan menurut para peneliti asing  Maromak  Oan  kekuasaannya juga  merambah  sampai  sebahagian daerah Dawan (Insana dan Biboki). Dalam   melaksanakan   tugasnya   di Belu,    Maromak    Oan    memiliki perpanjangan  tangan  yaitu  Wewiku-Wehali  dan  Haitimuk  Nain.  Selain juga ada di Fatuaruin, Sonbai dan Suai Kamanasa serta Loro Lakekun, Dirma, Fialaran, Maubara, Biboki dan Insana.

Maromak  Oan  sendiri  menetap  di Laran    sebagai    pusat    kekuasaan kerajaan Wewiku-Wehali. Para    pendatang    di    Belu tersebut, tidak membagi daerah Belu menjadi     Selatan     dan     Utara sebagaimana  yang  terjadi  sekarang. Menurut para sejararawan, pembagian Belu menjadi Belu bagian Selatan dan Utara  hanyalah  merupakan  strategi pemerintah   jajahan   Belanda   untuk mempermudah  sistem  pengontrolan terhadap    masyarakatnya.    Dalam keadaan  pemerintahan  adat  tersebut muncullah siaran dari pemerintah raja-raja   dengan   apa   yang   disebutnya “Zaman  Keemasan  Kerajaan”.  Apa yang  kita  catat  dan  dikenal  dalam sejarah  daerah  Belu  adalah  adanya kerajaan    Wewiku-Wehali    (pusat kekuasaan seluruh Belu).

Di Dawan ada kerajaan Sonbay yang   berkuasa   di   daerah   Mutis. Daerah Dawan termasuk Miamafo dan Dubay     sekitar     40.000     jiwa masyarakatnya.   Menurut   penuturan para tetua adat dari Wewiku-Wehali, untuk    mempermudah    pengaturan sistem pemerintahan, Sang Maromak Oan mengirim para pembantunya ke seluruh  wilayah  Belu  sebagai  Loro dan Liurai. Tercatat nama-nama pemimpin besar   yang   dikirim   dari   Wewiku Wehali   seperti   Loro   Dirma,   Loro Lakekun, Biboki Nain, Herneno dan Insana  Nain  serta  Nenometan  Anas dan Fialaran.   Ada   juga   kerajaan Fialaran di Belu bagian Utara yang dipimpin Dasi Mau Bauk dengan kaki tangannya    seperti    Loro    Bauho, Lakekun, Naitimu, Asumanu, Lasiolat dan Lidak. Selain itu, ada juga nama seperti Dafala, Manleten, Umaklaran Sorbau.    

Dalam     perkembangan pemerintahannya   muncul   lagi   tiga bersaudara yang ikut memerintah di Utara yaitu Tohe Nain, Maumutin dan Aitoon. Sesuai   pemikiran   sejarawan Belu, perkawinan antara Loro Bauho dan Klusin yang dikenal dengan nama As  Tanara  membawahi  dasi  sanulu yang dikenal sampai sekarang ini yaitu Lasiolat,  Asumanu,  Lasaka,  Dafala, Manukleten,   Sorbau,   Lidak,   Tohe Maumutin    dan    Aitoon.    Dalam berbagai penuturan  di Utara maupun di   Selatan   terkenal   dengan   nama empat jalinan terkait. Di Belu Utara bagian Barat dikenal Umahat, Rinbesi hat     yaitu     Dafala,     Manuleten, Umaklaran Sorbauan di bagian Timur ada   Asumanu   Tohe,   Besikama-Lasaen,    Umalor-Lawain.    Dengan demikian rupanya keempat bersaudara yang  satunya  menjelma  sebagai  tak kelihatan itu yang menandai asal-usul pendatang di Belu membaur dengan penduduk asli Melus yang sudah lama punah.

SEJARAH ADMINISTRATIF

Kabupaten  Belu  berdiri  pada tanggal     20     Desember     1958 berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia   Nomor 69   tahun 1958 dengan  Kota  Atambua  sebagai  ibu kota  kabupaten  dan  terdiri  dari 6 kecamatan. Pada   awal   pembentukannya, Kabupaten   Belu   terdiri   dari     6 kecamatan    yaitu    Kecamatan Lamaknen,    Kecamatan    Tasifeto Timur,   Kecamatan   Tasifeto   Barat, Kecamatan Malaka Timur, Kecamatan Malaka   Tengah,   dan   Kecamatan Malaka Barat. Berdasarkan    Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1992 maka pada  tahun 1992  terjadi  pemekaran kecamatan menjadi 8 kecamatan yaitu Kecamatan   Lamaknen,   Kecamatan Tasifeto Timur, Kecamatan Tasifeto Barat,   Kecamatan   Malaka   Timur, Kecamatan    Malaka    Tengah, Kecamatan Malaka Barat, Kecamatan Kobalima   dan   Kecamatan   Kota Atambua. Pada    tahun    2001    terjadi pemekaran kecamatan lagi menjadi 12 kecamatan    berdasarkan    Peraturan Daerah Kabupaten Belu No. 12 Tahun 2001. 12 kecamatan tersebut adalah Kecamatan   Lamaknen,   Kecamatan Tasifeto Timur, Kecamatan Tasifeto Barat,   Kecamatan   Malaka   Timur, Kecamatan    Malaka    Tengah, Kecamatan Malaka Barat, Kecamatan Kobalima, Kecamatan Kota Atambua, Kecamatan    Raihat,    Kecamatan Kakuluk    Mesak,    Kecamatan Sasitamean dan Kecamatan Rinhat.

Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Belu No. 10 Tahun 2004 terjadi   pemekaran   kecamatan   di Kabupaten Belu     menjadi     16 kecamatan    yaitu    Kecamatan Lamaknen,    Kecamatan    Tasifeto Timur,   Kecamatan Tasifeto   Barat, Kecamatan Malaka Timur, Kecamatan Malaka  Tengah,  Kecamatan  Malaka Barat,    Kecamatan   Kobalima, Kecamatan    Kota    Atambua, Kecamatan    Raihat,    Kecamatan Kakuluk    Mesak,    Kecamatan Sasitamean,    Kecamatan    Rinhat, Kecamatan    Weliman,    Kecamatan Wewiku,  Kecamatan  Raimanuk  dan Kecamatan Laenmanen.

Pada Tahun 2006 Kecamatan di Kabupaten     Belu     mengalami pemekaran    sebanyak    tiga    kali sehingga pada akhir 2006 Kabupaten Belu   terdiri   dari    21   kecamatan. Pemekaran ini terjadi didasarkan atas Peraturan   Daerah   Kabupaten   Belu berikut : No.    4   Tahun    2006   tentang pembentukan    Kecamatan Lamaknen Selatan. No.    5   Tahun    2006   tentang pembentukan Kecamatan Io Kufeu dan Botin Leo Bele. No.    18   Tahun    2006   tentang pembentukan Kecamatan Atambua Barat dan Atambua Selatan. Kabupaten Belu pada saat ini terdiri   dari     24   kecamatan   yang merupakan   hasil   dari   dua   kali pemekaran  yang  terjadi  pada  tahun 2007    berdasarkan    Peraturan Pemerintah Daerah Kabuapaten Belu yaitu : No.    2   Tahun    2007   tentang pembentukan  Kecamatan Nanaet Dubesi dan Kobalima Timur.  No.    3   Tahun    2007   tentang pembentukan Kecamatan Lasiolat.

Asal Usul Suku Belu

Belu merupakan salah satu kabupaten yang terletak di pulau Timor/Nusa Tenggara Timur yang berbatasan langsung dengan negara Timor Leste. Luas Kabupaten Belu 2445,6 km2. Ibu kota kabupaten Belu, Atambua sebuah kota kecil yang terletak 500 meter diatas permukaan laut. Jarak Kupang dan Atambua lebih kurang 290 km.

Konon nama Atambua berasal dari kata Ata (Hamba), Buan (Suanggi/tukang sihir). Dari legenda diceriterakan adanya hamba yang berani berontak dan melepaskan ikatan tangan (borgol) sehingga tidak terjual lewat pelabuhan Atapupu, dan malahan akhirnya menyingkir saudagarnya. Nama kota ini kembar dengan Atapupu (pelabuhan terletak 24 km arah utara Atambua) dari kata Ata (hamba) Futu (ikat) yang berarti hamba yang diikat siap dijual.

Masyarakat Belu yang terdiri dari beberapa suku bangsa memiliki pelapisan sosialnya sendiri. Sebagai contoh masyarakat Waiwiku dalam wilayah kesatuan suku Marae. Pemegang kekuasaan berfungsi mengatur pemerintah secara tradisional, pelapisan tertinggi yaitu Ema Nain yang tinggal di Uma Lor atau Uma Manaran, mereka adalah raja. Lapisan berikutnya masih tergolong lapisan bangsawan (di bawah raja) yaitu Ema Dato, kemudian lapisan menengah Ema Fukun sebagai kepala marga. Lapisan terbawah dan hanya membayar upeti dan menjalankan perintah raja, bangsawan maupun lapisan menengah disebut Ema Ata (hamba). Pada masyarakat Marae lapisan sosial tertinggi disebut Loro.

Mata pencaharian orang Belu tidak beda dengan masyarakat TTU, dan TTS, yaitu menanam jagung, umbi-umbian, kacang - kacangan dan sedikit pertanian padi, serta bertenak sapi, babi. Salah satu dari sekian kebudayaan daratan Belu adalah Tarian Likurai, yang pernah memukau warga ibukota Jakarta di tahun 60-an.

Tarian Likurai dahulunya merupakan tarian perang, yaitu tarian yang didendangkan ketika menyambut atau menyongsong para pahlawan yang pulang dalam perang. Konon, ketika para pahlawan yang pulang perang dengan membawa kepala musuh yang telah dipenggal (sebagai bukti keperkasaan) para feto (wanita) cantik atau gadis cantik terutama mereka yang berdarah bangsawan menjemput para pahlawan dengan membawakan tarian Likurai. Likurai itu sendiri dalam bahasa Tetun (suku yang ada di Belu) mempunyai arti menguasai bumi. Liku artinya menguasai, Rai artinya tanah atau bumi. Lambang tarian ini adalah wujud penghormatan kepada para pahlawan yang telah menguasai atau menaklukkan bumi, tanah air tercinta.

Tarian adat ini ditarikan oleh feto-feto dengan mempergunakan gendang-gendang kecil yang berbentuk lonjong dan terbuka salah satu sisinya dan dijepit di bawah ketiak sambil dipukul dengan irama gembira serta sambil menari dengan berlenggak-lenggok dan diikuti derap kaki yang cepat sebagai ekspresi kegembiraan dan kebanggaan menyambut kedatangan kembali para pahlawan dari medan perang. Mereka mengacung-acungkan pedang atau parang yang berhias perak. Sementara itu beberapa mane (laki-laki) menyanyikan pantun bersyair keberanian, memuja pahlawan.

Konon kepala musuh yang dipenggal itu dihina oleh para penari dengan menjatuhkan ke tanah. Proses ini merupakan penghinaan resmi kepada musuh. Selain itu, para pahlawan tadi diarak ke altar persembahan yang sering disebut Ksadan. Para tua adat telah menunggu di sini dan menjemput para pahlawan sambil mencatat kepala musuh yang dipenggal itu serta menuturkan secara panjang lebar tentang jumlah musuh yang telah ditaklukkan sampai terpenggal kepalanya diperdengarkan kepada khalayak ramai untuk membuktikan keperkasaan suku Tetun.

Pada masa kini, tarian tersebut hanya dipentaskan saat menerima tamu-tamu agung atau pada upacara besar atau acara-acara tertentu. Sebelum tarian ini dipentaskan, maka terlebih dahulu diadakan suatu upacara adat untuk menurunkan Likurai atau tambur-tambur itu dari tempat penyimpanannya.

Dalam Tulisan ini , kita hendak menyelidiki sekedarnya soal asal-usul suku Belu, yang menghni hampir seluruh Kabupaten Dati II Belu. Suku Belu ini berbahasa Tetun, suatu bahasa yang sederhana dan mudah untuk di mengerti. Bahasa Tetun ini mempunyai persamaannya dengan bahasa-bahasa daerah lainnya di Indonesia ini. Tetapi mengenai bahasa Tetun ini kita akan bicarakan sendiri. Di sini kita akan bataskan diri pada pokok: Asal-usul Suku Belu.

Bagian pertama kita akan uraikan sebagai berikut:

Ø“  Asal-usul orang Belu menurut cerita-cerita yang diwariskan sampai sekarang di daerah Belu,” kemudian kedua:

Ø“ Asal-usul orang Belu menurut penyelidikan sarjana-sarjana Imu Bangsa-bangsa dan penyelidikan lainnya.

I.   Asal-usul orang Belu, menurut cerita-cerita yang diwariskan sampai sekarang di Daerah.

MALAKA adalah : tanah asal-usul Belu. Sedari masih kecil bila kita mendengar makoan-makoan dan orang tua-tua atau pemuka adat membawa syair Tetun HOLA LIA NAIN, maka kita sering mendengar SINA MUTI MALAKA LARANTUKA BABOE. Bila mereka menyebut nama ini, tiap orang terus tahu, yang dimaksudkan ialah : Tanah Asal Nenek Moyang Belu yang dulu berlayar dari Malaka, meninggalkan tanah airnya dan mencari tempat baru untuk dihuninya. Nenek orang suku Belu dari Malaka dalam pelayarannya ke Timor, melalui Larantuka. Berikut ini adalah kumpulan bermacam-macam cerita dari makoan-makoan dan pemuka-pemuka adat di wilayah Belu, baik berasal dari Belu utara maupun dari Belu Selatan. Ini di- kumpulkan oleh R.B.A.G. VROK LAGE SVD (±1952) dalam kerjasama dengan para makoan dan beberapa guru, antara lain Bupati Daswati II Belu sekarang (hingga tahun 1968) A.A BERWE TALLO, yang mahir berbahasa Belanda dan bertugas sebagai penterjemah untuk P. VROK LAGE.

1.Menurut Makoan-makoan dari FATUARUIN:
Mula-mula datang nenek moyang tiga bersaudara dari Malaka Likansala melalaui Larantuka (Flores) terus ke Kupang, dan dari Kupang ke Fatumea melalui Hali knain Kalilin dan terus ke Marlilu. Nama ketiga nenek bersaudara itu : NEKIN MATAUS ke Likusaen, SAKU MATAUS ke kerajaan Sonbai, dan BARA MATAUS tinggal di FATU ARUIN.

2.Cerita kedua berasal dari DIRMA:

    Menurut makoan di situ : Bei Taeko yang bertempat tingal di Malaka mengirim tiga orang anaknya lelaki yang berlayar dengan kapal ke Timor, bersama dengan pengikut-pengikutnya. Dari Sinamuti Malaka mereka berlayar melalui Betawi dan Batavia, Kalaban atau Kalabahi, Larantuka-Flores, Babo-Dilly parasa terus ke Boonaro. Mereka lalu ke Fatumea Raioan atau daerah Portugis. Ketiga putra itu bernama: 

    LOROSANGKOE, LOROBANLEO, dan LORO SONBAI. Yang pertama tinggal di Debululik atau Welaka, yang ke dua di sanleo atau Dirma, dan yang ketiga ialah LORO SONBAI, terus kebagian barat timur ialah kebagian Dawan. Kemudian membawa lima orang yang dianugerahkan Tuhan: HARE LOROK, BATAR LOROK, MELI (AIKAMELIN), LOROK dan BUI LOROK serta TORA LOROK. Kelima orang tersebut di tanam hidup-hidup dalm tanah ke sampai Timor. Dalam tempo beberapa hari saja tumbuhlah jagung, padi dua macam, jewawut atau tora, kayu cendana atau aikamelin, di kebun-kebunnya. Kesimpulannya dan cerita ini ialah jagung, padi, kayu cendana, jewawut, dibawah oleh nenek moyang itu dari tanah asal Sinamuti Malaka, dan kebun tempat lahan pertanian bagi kelima orang itu namanya TOOS KUKUN.

3.Dari NAETIMO:
Menurut makoan-makoan dari Naetimo nenek moyang pertama asalnya dari Sinamuti Malaka, melalui Larantuka atau Larantuke, Bauwoe, Parasa atau Timor Dili terus ke Lakaan dari situ terus ke Nainait. Di nainait mereka menetap. Nenek moyang itu bernama AGON dengan isterinya LURUK. Mereka mempunyai anak, dan anak-anak itu membentuk Fukun Hat atau Uma Hat yakni: Empat suku yang terkenal dengan nama RIN BESI HAT, UMA KAKALUK KMESAK, UMA FUTUHUR, UMA SUKUR SOU, dan UMA DIN DULUR. Nenek moyang pertama menemui suku asli Belu yakni : MELUS di Naijait.

4.Dari DAFALA:
Menurut Dato Katuas Tafala atau nenek moyang TITUS MORUK, nenekmoyang pertama itu dating dari Sinamuti Malaka melalui Ninobe Raihenek atau Makasar, terus ke larantukadan Bauwoe sebuah tempat di Larantuka. Tapi sebelum ke Larantuka mereka dari Makasar melalui Palu Kusu atau dekat dengan kepulauan Kei, pulau loi, pulau Abe, dan pulau Kae atau Kei. Mereka mendarat di Hale, LeonSumamar di dekat Timor Dilimereka lantas menyusur Mot aloes atau sungai Loes, terus Ke Siata mauhalek di Lasiolat. Berjalan terus ke ren Lakmau, dari situ terus Tua Lasi-Lasi Olat baru kemudian terpencar keseluruh Belu. Nenek moyang pertama umumnya mendarat dibahagian pantai utara Belu. Dikatakan pertama nenek moyang itu keluar dari batu, ini dimaksudkan mereka bertempat tinggal dalam gua-gua batu ketika belum diperdirikan rumah-rumah yang baik pada saat pertama kali orang di Belu, yang sama seperti cerita makoan-makoan di Dirma. Kedua nenek moyang pertama yang terkenal sebagai Bot Leten dan Bot kraik ialah Bei Lelar dan Bei Seran Taek, yang punya anak-anak para Lelar dan Abu Lelar serta Asa Taek dan mau Taek.

5.Dari LASIOLAT:
Menurut makoan-makoan yang mula-mula menghuni daerah Fialaran-Lasiolat sebelum kedatangan nenek moyang suku Leowes dan Asutalin dari Malaka ialah suku Melus, nenek moyang yang pertama orang Melus bernama LERA BAUK dengan istrinya bernama LENA BAUK. Mereka dianggap penduduk sli Belu sebelum datangnya suku Belu dari Malaka. Suku-suku yang datangnya dari Malaka ialah suku Leoklaran, suku Leowes, dan suku Asutalin. Dari Sinamuti Malaka mereka berlayar terus ke Larantuka –Bauboe, terus ke Hasan Maubesimendarat di Weto ke Lakaan dan dari situ ke Mota Weluli Mauhalek. Mereka menemukan seorang Melus pertama yang mendirikan rumahnya di Nawan Ruas, Aufatuk. Disebut Aufatuk karena rumahnya terbuat dari bambu dan batu. Pemuda-pemuda suku Leowes mengawini gadis-gadis dari suku Loro Bauho, bernama Balok Lorok dan Ello lorok. Mereka lalu pindah dengan anak-anaknya ke Dualasi dimana orang-orang Melus dan Asutalin sudah lebih dahulu membuat kampungnya. Dualasi kemudian mendapat nama Dualasi Sosebauk. Orang-orang pertama yang mendarat di Timor ialah Luli Luan dan Lete Luan. Asutalin juga kemudian mendarat di pantai selatan Belu. Tempatnya yang lain ialah Aidikur dari situ juga mereka ke Lakaan dan terus ke Dualasi.Dari malak Asutalin bawa serta anjing. Suku Asutalin haramm makan daging anjing dan tidak membunuhnya. Nenek moyang suku Leoklaran dating lebih dahulu dari suku Leowes, dan Asutalin dan mengalahkan suku Melus ke Tasimane lainnya dibunuh dan hanyut terbawa arus. Yang sisanya masih ada di Haliren, Aikamelin, rend an Motaain. Dalam mengalahkan suku Melus itu ada kerjasama dengan suku Leowes yang datang kemudian itu. Setelah suku Melus itu diusir dan dikalahkan oleh suku Leoklaran dan Leowes mula saling berebut kekuasaan ini, suku Leowes yang kemudian yang akhirnya menduduki tahta dan berkuasa sebagai raja diFialaran sampai kini. Caranya ialah bukan saling memerangi, melainkan dengan menguji ketangkasan dan kecerdasan saja. Siapa yang cepat makan ialah yang berkuasa dan waktu nenek moyang Leowes pergi mencari musang dihutan, nenek moyang Leoklaran disuruh memanjat pohon, dibawah pohon tertancap tombak mas, oleh nenek moyang Leowes. Entah bagaimana jadinya nenek moyang Leoklaran jatuh dari pohon dan persis perutnya tertikam pada tombak mas tadi, dengan itu nenek moyang Leowes yang berkuasa . Namun selanjutnya hubungan antara suku Leowesa dan suku Leoklaran , pun sampaikini tetap erat lebih dipererat oleh perkaeinan antara dua suku.

6.Dari ASUMANU:
Menurut makoan dari Asumanu nenek moyang pertamanya datang dari Malaka dengan sebuah kapal namanya Batarian, mendarat dipuncak Lakaan yang merupakan daratan yang muncul waktu itu dari air (agaknya yang lain masih merupakan tempat yang masih digenagi air laut). Kapten kapal itu namanya Mangelains, apakah itu yang dinamakan dengan Magelhaens??

7. Dari AITON: Menurut makoan-makoan dari Aitoun nenek moyang pertama datang dari Sina Mutin Malaka dengan tiga buah kapal:
a.Kapal yang dijuluki dengan Ro Manu Lain, Biduk Manu Lain.
b.Rokfautahan, Biduk Kfautahan
c.Ro Mara Does, Biduk Mara Does. Tempat lainnya disebut HeranBa weluli, Aitoun rua mane, Foho sabu Lakan kaisahe.

8.Dari MAUMUTIN:
Makoan-makoan maumutin menceritakan tentang asal-usulnya bahwa nenek moyang pertama datangnya dari Sina (Siam/birma) dan dari Sina MutinMalaka Melalui Larantuka Baboe, lamahala (Adonara) Lamahera (lomblen) terus ke Kamera (dekat Timor Dili). Kemudian kembali ke Lamalera untuk mengambil istri dari sana. Kemudian mereka kembali lagi ke Sina Mutin Malaka karena tidak dapat istri di Lamalera. Dimalaka mereka dapat memperoleh istri dengan kayu cendana yang dibawanya. Di Maumitin sendiri kayu cendana tidak ada karena itu kemudian nenek moyang pindah ke Maukatar didaerah bagian portugis . Untuk memperingati nenek moyang yang datang dengan tiga kapal itu, didirikan tiga foho (tugu kecil) : Foho Liurai, Foho Tahan Leki Bauk Leowalu.

9.Dari LIDAK:

Nenek moyang datang dari Sina Mutin Malaka melalui Larantuka Baboe We bau, Asufuik, Maubesi, Wehali lalu terus ke Lidak. Sumber lainnya menggatakan mereka mendarat dipantai utara Timor di Timor Dili Parasa. Dari Parasa mereka juga membawaair dan ketika mereka mendarat direceki tempat itu denga air. Mereka hanya mengetahui bahwa orang melus bertempat tinggal diSilawan. Kemudian menyusul lagi beberapa suku yang kelak akan berkuasa di Belu. Mereka datang dari Malaka nenek moyang ada tujuh pasang, empatnya tinggal di Malaka tiganya berlayar ke Timor melalui Larantuka-Bauboe, satunya tinggal di Fatumea, kedua tinggal di Leowalu (dimarae0 dan yang ketiga tinggalnya di Motaain, namanya Dasi Bada Rai.

10.Sabu Mau-Belu Mau dan Timau:

Adalah suatu yang sangat populer dikalangan penduduk Belu dan Sabu Rote ialah mengenai asal-usul mengenai nenek moyang suku Belu dan Sabu Rote. Demikian sudah dari kecil kami sudah mendengar cerita tentang Belu Mau, sabu Mau, dan Ti Mau dari orang tua dan kakek kami. Ketiga nenek ini adalah beradik kakak. Sabu Mau dan Ti Mau bersama dengan seluruh keluarganya berlayar dengan kapal ke Timot dan mendarat di bagian utara Belu yakni di teluk Gurita (di Atapupu) yang turun kedarat untuk mencari tempat tinggal baru di daerah Belu sekarang ialah Belu Mau dengan keluarganya. Sedang kedua nenek Sabu dan Ti Mau berlayar terus kearah barat Timor, menyususr pantai untuk mencari tempat tinggalyang baru dan tempat dan untuk di milikinya. Tapi sebelum ketiganya berpisah, diadakan perjanjian berikut : “Bila kelak mereka bertemu kembali atau anak-anak maupun turunan mereka, tidak boleh saling mengawini, tidak boleh saling berperang, saling mnerima dan menganggap sebagai kakak-beradik atau saudara-saudari sekeluarga saja”. Perjanjian ini masih di ingat samapai dengan saat ini, meskipun masih ada praktek kawin mwin sudah sering terjadi antara suku Belu dan suku rote. Untuk saling memerangi atau berkelahi sampai sekarang ini, masih tetap dihindarkan mengingat perjanjian ketiga nenek bersaudara tadi.

II. Asal-usul suku Belu (Sabu – Rote) menurut penyelidikan
Ahli-ahli Ilmu Bangsa-bangsa dan Ahli-ahli lainnya.
Sudah banyak ahli-ahli yang menyeliki suku Belu (dan Rote), disamping penyelidikan – penyelidikan utama, seperti: Grijzen, H.J. (mededeelingen Omret Beloe of midden Timor. V.B.G., Batavia, vol.54, Bag.III) dan vrok lege. B.A. (1953) : Ethnogogihie der Belu in zentral Timor, Leiden, dalam 3 jilid. Dalam menyelidiki Suku Belu mereka dari pandangan yang hampir serupa. Demikian seperti :

1. Heijmering G. (Geschiedenis van Timor, 1847, vol. 9, bagian III, pg. 1 – 62 dan 121 -232), dan veth, P.j. (Het eiland Timor, De Gids, Amsterdam, Vol.19. Bgn. I, pg. 545 – 611 dan 695 – 737 : bgn. 55 – 100), dalam tahun 1985”, dan juga Bastian A. (1885 – Timor Und Umliegende Inseln. in Indonesian oder die inseln des Malayischen Archipels, Berlin, Lieferung 2, pg. 1 -31). ketiga penyelidik itu berpendapat bahwa, bahwa ada perbedaan yang nyata antara suku Belu dan suku asli Timor : susku Atoni. menurut mereka suku Atoni lebih mirip dengan orang Papua, sedang suku Belu punya kesamaan yang besar dengan penduduk di bagian barat indonesia.

2. Menurut pandangan-pandangan antopolog modern : Timor serta pulau-pulaunya adalah suatu daerah peralihan di mana bertemu dan saling pengaruh antara komponen ras Melayu Indonesia denganras Melanesia (in sensu lago). Agaknya suku marae dan kemak menunjukkan elmen Melanesia yang lebih tua, dari pada suku Belu dan Sabu Rote yang baru masuk kemudian di Timor. Suku Belu dan Rote nyatanya memiliki tempat tinggi yang paling tampan, ditanah rata sepanjang pantai dan terus ke pedalaman, namun di sepanjang lembah sungai lalu sepanjang jalan. Antropolog-antropolog sependapat bahwa unsur Melanesia nampak sangat kuat pada penduduk asli Timor : suku Atoni di Dawan (orang pegunungan yang jumlahnya kira-kira 300.000 penduduk mendiami daerah-daerah pegunungan Timor Indonesia. Tokoh badan mereka agak berlainan dengan tetangga-tetangganya: suku Belu-Sabu-Rote dan Kemak Marae. Mereka agak pendek dengan bentuk tengkorak Brachichepel (tengkorak pendek) dengan warna kulitnya coklat kehitam-hitaman, rambutnya keriting, sangat mirip orang-orang papua. (cf. ormeling, F.J. Dr. The Timor problem, 1957 hal. 66-67).

3. Menurut penyelidikan Biljmer, H.J.T. (outlines of Antropology of the Timor Archipelago, Weltevreden-Batavia, 1929, pg. 92-92-95—97-99), bahwa pada individu-individu suku bangsa Belu nampak ciri-ciri ras Negroit secara berdampingan atau campur baur. Sedangkan pda suku Atoni (dawan) nampak ciri-ciri Melanesoit dan Australoid. Dia berkesan bahwa pada suku Atoni ia tidak rasa lagi bahwa ia di antara orang Melayu. Mereka merupakan kesatuan. Dia menyelidiki juga suku Manggarai dan mendapatkan adanya ciri khas tipe semitis pada mereka. Pada suku Ngada terdapat tipe Melanesoid. Pada suku Adonara (dan Flotim) ada tipe semitis, Negroid dan Papua. Demikian Biljmer.

4. Menurut nona Keers W. (an Antropological Survey of the estern litllesunda island Mededeelingen no. 74 diterbitkan oleh Koninklijke verehining indisch institut, Amsterdamtahn 1948) bahwa ciri-ciri Melanesia agaknya tersebar dibanyak tempat di Timor. Tetapi yang dianggapnya utama ialah apa yang dinamakan proto Melayu yang besar pengaruh di Timor. Tapi yang dianggapnya utama ialah apa yang dinamakan Elemen proto Melayu, yang bear di Timor, dan rasini yang membentuk penduduk sekarang juga. Inilah juga pendapat Biljmer (1929) dan Lamres (1948) yang memastikan bahwa unsur Melayu yang lebih muda benar-benar terdapat di daerah Belu selain unsur Melanesia.

5. Mengenai suku Marae dan Kemak, yang ada di Belu Menurut Grijzen (1904) kira-kira mereka sudah tinggal lama di Belu.

6. Menurut Nona Keers (1948) susku Marae Kemak, yang ada di Belu berbeda dengan suku Melayu Indonesia karena frekwensi yang tinggi dan tengkorak kepala yang berbentuk Delichecephalik (tengkorak lonjong) dan tokoh badan yang jauh lebih tinggi.

7. Menurut Capel (1944) bahwa Buna(bahasa Marae) mirip sekali dengan bahas-bahasa papua. Sedang menurut Nona Keers 91948) susku Kemak punya pertalian erat dengan suku Marae. Bahasanya mirip sekali dengan bahasa Buna (caell 1944).

8. Mengenai suku Rote-Sabu seperti telah di katakan tadi seasal dengan suku Belu. Mereka datang berkelompok-kelompok, lain turut Flores lainya lagi via Timor. Tanah asalnya pulau Seram (?) menurut ten Kate (1849) bahasa dan kebudayaan Rote sama dengan Belu. Hanya Rote mempunyai unsur Melayu lebih kuat.

9. Terra (1953) punya anggapan bahwa yang mula-mula punya usaha sawah dan ladang ialah suku Belu.

10. Dalam ENCHIKLOPEDIA VAN NEDERLANDS OOST INDIE IV LEIDEN, 1921 pda halaman 323, dibahas juga tentang penduduk dari Malaka melalui Sulawesi-Flores (larantuka) terus ke Timor. Juga tentang adat-istiadat Belu dan keadaandaerahnya.

11. H.K.J. Cowan (1963) menyelidiki, bahwa bahasa Buna termasuk salah satu bahasa Irian Barat. Diantara lain menyebut beberapa kata seperti (n) iri, su, batohul, bi, pana, per, nei, ei, yang mirip betul dengan kata-kata dalam bahasa Irian Barat. (cf. Eydarg. T.,1. en volk, jgr. 1963, pg 387 - 400) sedang Louis Berthe (1959) dalam penyelidikannya di Lamaknen mendapat kepastian juga bahwa dalam bahasa Buna terdapat kata-kata yang mirip dengan kata-kata Melayu purba (Deutero Melayu). (cf. Eydarg. T.,1. en volk, 1959, pg 336 dan seterusnya).

12. Abdul Hakim (1961), juga memuat karangannya tentang Timor, di dalamnya dituliskan tentang apa yang didengarnya sendiri mengenai asal-usul orang Belu yang datang dari Malaka dan adat istiadatnya di Timor, di Belu khususnya.

 


Pelajaran Bahasa Indonesia Bab 3

5 Keistimewaan Umat Muslim

  5 Keistimewaan Umat Muslim oleh Muh. Hasyim Pada hakikatnya Allah swt menguji keimanan itu sendiri kepada setiap orang muslim agar mereka ...