SEJARAH KABUPATEN BELU
Diedit oleh : Muh Hasyim, S.Pd
Sesuai berbagai
penelitian dan cerita sejarah
daerah di Belu, manusia Belu pertama yang mendiami wilayah Belu adalah “Suku
Melus“. Orang Melus dikenal
dengan sebutan “Emafatuk Oan
Ema Ai Oan“, (manusia penghuni
batu dan kayu). Tipe manusia Melus adalah berpostur
kuat, kekar dan
bertubuh pendek. Semua para
pendatang yang menghuni Belu
sebenarnya berasal dari “Sina Mutin Malaka”.
Malaka merupakan tanah asal-usul
pendatang di Belu yang berlayar menuju Timor melalui Larantuka.
Khusus untuk
para pendatang baru yang mendiami daerah Belu terdapat
berbagai versi cerita. Kendati demikian, intinya bahwa, ada
kesamaan universal yang dapat ditarik dari semua informasi dan data. Ada cerita
bahwa ada tiga orang bersaudara
dari tanah Malaka
yang datang dan tinggal di Belu, bercampur dengan suku asli Melus. Nama ketiga
bersaudara itu menurut para tetua adat masing-masing daerah berlainan. Dari Makoan
Fatuaruin menyebutnya Nekin Mataus
(Likusaen), Suku Mataus
(Sonbai), dan Bara
Mataus (Fatuaruin). Sedangkan Makoan asal Dirma menyebutnya
Loro Sankoe (Debuluk, Welakar),
Loro Banleo (Dirma, Sanleo)
dan Loro Sonbai (Dawan).
Namun menurut
beberapa makoan asal Besikama
yang berasal dari Malaka ialah;
Wehali Nain, Wewiku Nain dan
Haitimuk Nain. Ketiga orang bersaudara
dari Malaka tersebut bergelar raja atau loro dan memiliki wilayah
kekuasaan yang jelas dengan persekutuan yang akrab dengan masyarakatnya. Kedatangan mereka dari tanah Malaka hanya
untuk menjalin hubungan dagang
antar daerah di bidang kayu cendana dan hubungan etnis keagamaan.
Dari semua pendatang di Belu, pimpinan dipegang oleh “Maromak oan“ Liurai Nain di Belu bagian Selatan. Bahkan menurut para peneliti asing Maromak Oan kekuasaannya juga merambah sampai sebahagian daerah Dawan (Insana dan Biboki). Dalam melaksanakan tugasnya di Belu, Maromak Oan memiliki perpanjangan tangan yaitu Wewiku-Wehali dan Haitimuk Nain. Selain juga ada di Fatuaruin, Sonbai dan Suai Kamanasa serta Loro Lakekun, Dirma, Fialaran, Maubara, Biboki dan Insana.
Maromak Oan
sendiri menetap di Laran
sebagai pusat kekuasaan kerajaan Wewiku-Wehali. Para pendatang
di Belu tersebut, tidak membagi
daerah Belu menjadi Selatan dan
Utara sebagaimana yang terjadi
sekarang. Menurut para sejararawan, pembagian Belu menjadi Belu bagian
Selatan dan Utara hanyalah merupakan
strategi pemerintah jajahan Belanda
untuk mempermudah sistem pengontrolan terhadap masyarakatnya. Dalam keadaan pemerintahan
adat tersebut muncullah siaran
dari pemerintah raja-raja dengan apa
yang disebutnya “Zaman Keemasan
Kerajaan”. Apa yang kita
catat dan dikenal
dalam sejarah daerah Belu
adalah adanya kerajaan Wewiku-Wehali (pusat kekuasaan seluruh Belu).
Di Dawan ada kerajaan Sonbay
yang berkuasa di
daerah Mutis. Daerah Dawan
termasuk Miamafo dan Dubay
sekitar 40.000 jiwa masyarakatnya. Menurut
penuturan para tetua adat dari Wewiku-Wehali, untuk mempermudah pengaturan sistem pemerintahan, Sang
Maromak Oan mengirim para pembantunya ke seluruh wilayah
Belu sebagai Loro dan Liurai. Tercatat nama-nama pemimpin
besar yang dikirim
dari Wewiku Wehali seperti
Loro Dirma, Loro Lakekun, Biboki Nain, Herneno dan
Insana Nain serta
Nenometan Anas dan Fialaran. Ada
juga kerajaan Fialaran di Belu
bagian Utara yang dipimpin Dasi Mau Bauk dengan kaki tangannya seperti
Loro Bauho, Lakekun, Naitimu,
Asumanu, Lasiolat dan Lidak. Selain itu, ada juga nama seperti Dafala, Manleten,
Umaklaran Sorbau.
Dalam perkembangan pemerintahannya muncul
lagi tiga bersaudara yang ikut
memerintah di Utara yaitu Tohe Nain, Maumutin dan Aitoon. Sesuai pemikiran
sejarawan Belu, perkawinan antara Loro Bauho dan Klusin yang dikenal
dengan nama As Tanara membawahi
dasi sanulu yang dikenal sampai
sekarang ini yaitu Lasiolat, Asumanu, Lasaka,
Dafala, Manukleten, Sorbau, Lidak,
Tohe Maumutin dan Aitoon.
Dalam berbagai penuturan di Utara
maupun di Selatan terkenal
dengan nama empat jalinan
terkait. Di Belu Utara bagian Barat dikenal Umahat, Rinbesi hat yaitu
Dafala, Manuleten, Umaklaran
Sorbauan di bagian Timur ada
Asumanu Tohe, Besikama-Lasaen, Umalor-Lawain. Dengan demikian rupanya keempat bersaudara
yang satunya menjelma
sebagai tak kelihatan itu yang
menandai asal-usul pendatang di Belu membaur dengan penduduk asli Melus yang
sudah lama punah.
SEJARAH
ADMINISTRATIF
Kabupaten Belu
berdiri pada tanggal 20
Desember 1958 berdasarkan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor
69 tahun 1958 dengan Kota
Atambua sebagai ibu kota
kabupaten dan terdiri
dari 6 kecamatan. Pada awal pembentukannya, Kabupaten Belu
terdiri dari 6 kecamatan yaitu
Kecamatan Lamaknen,
Kecamatan Tasifeto Timur, Kecamatan
Tasifeto Barat, Kecamatan Malaka
Timur, Kecamatan Malaka Tengah, dan
Kecamatan Malaka Barat. Berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1992 maka pada tahun 1992
terjadi pemekaran kecamatan
menjadi 8 kecamatan yaitu Kecamatan
Lamaknen, Kecamatan Tasifeto
Timur, Kecamatan Tasifeto Barat,
Kecamatan Malaka Timur, Kecamatan Malaka
Tengah, Kecamatan Malaka Barat, Kecamatan Kobalima dan
Kecamatan Kota Atambua.
Pada tahun 2001
terjadi pemekaran kecamatan lagi menjadi 12 kecamatan berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Belu No. 12 Tahun
2001. 12 kecamatan tersebut adalah Kecamatan
Lamaknen, Kecamatan Tasifeto
Timur, Kecamatan Tasifeto Barat,
Kecamatan Malaka Timur, Kecamatan Malaka
Tengah, Kecamatan Malaka Barat, Kecamatan Kobalima, Kecamatan Kota
Atambua, Kecamatan Raihat, Kecamatan Kakuluk Mesak,
Kecamatan Sasitamean dan Kecamatan Rinhat.
Berdasarkan Peraturan Daerah
Kabupaten Belu No. 10 Tahun 2004 terjadi
pemekaran kecamatan di Kabupaten Belu menjadi
16 kecamatan yaitu Kecamatan Lamaknen, Kecamatan
Tasifeto Timur, Kecamatan
Tasifeto Barat, Kecamatan Malaka Timur,
Kecamatan Malaka Tengah, Kecamatan
Malaka Barat, Kecamatan Kobalima, Kecamatan Kota
Atambua, Kecamatan Raihat, Kecamatan Kakuluk Mesak,
Kecamatan Sasitamean,
Kecamatan Rinhat,
Kecamatan Weliman, Kecamatan Wewiku, Kecamatan
Raimanuk dan Kecamatan Laenmanen.
Pada Tahun 2006 Kecamatan di
Kabupaten Belu mengalami pemekaran sebanyak
tiga kali sehingga pada akhir
2006 Kabupaten Belu terdiri dari
21 kecamatan. Pemekaran ini
terjadi didasarkan atas Peraturan
Daerah Kabupaten Belu berikut : No. 4
Tahun 2006 tentang pembentukan Kecamatan Lamaknen Selatan. No. 5
Tahun 2006 tentang pembentukan Kecamatan Io Kufeu dan
Botin Leo Bele. No. 18 Tahun
2006 tentang pembentukan Kecamatan
Atambua Barat dan Atambua Selatan. Kabupaten Belu pada saat ini terdiri dari
24 kecamatan yang merupakan hasil
dari dua kali pemekaran yang
terjadi pada tahun 2007
berdasarkan Peraturan
Pemerintah Daerah Kabuapaten Belu yaitu : No.
2 Tahun 2007
tentang pembentukan Kecamatan
Nanaet Dubesi dan Kobalima Timur.
No. 3 Tahun
2007 tentang pembentukan
Kecamatan Lasiolat.
Asal Usul Suku Belu
Belu merupakan salah satu kabupaten
yang terletak di pulau Timor/Nusa Tenggara Timur yang berbatasan langsung
dengan negara Timor Leste. Luas Kabupaten Belu 2445,6 km2. Ibu kota kabupaten
Belu, Atambua sebuah kota kecil yang terletak 500 meter diatas permukaan laut.
Jarak Kupang dan Atambua lebih kurang 290 km.
Konon nama Atambua berasal dari kata
Ata (Hamba), Buan (Suanggi/tukang sihir). Dari legenda diceriterakan adanya
hamba yang berani berontak dan melepaskan ikatan tangan (borgol) sehingga tidak
terjual lewat pelabuhan Atapupu, dan malahan akhirnya menyingkir saudagarnya.
Nama kota ini kembar dengan Atapupu (pelabuhan terletak 24 km arah utara
Atambua) dari kata Ata (hamba) Futu (ikat) yang berarti hamba yang diikat siap
dijual.
Masyarakat Belu yang terdiri dari
beberapa suku bangsa memiliki pelapisan sosialnya sendiri. Sebagai contoh
masyarakat Waiwiku dalam wilayah kesatuan suku Marae. Pemegang kekuasaan
berfungsi mengatur pemerintah secara tradisional, pelapisan tertinggi yaitu Ema
Nain yang tinggal di Uma Lor atau Uma Manaran, mereka adalah raja. Lapisan
berikutnya masih tergolong lapisan bangsawan (di bawah raja) yaitu Ema Dato,
kemudian lapisan menengah Ema Fukun sebagai kepala marga. Lapisan terbawah dan
hanya membayar upeti dan menjalankan perintah raja, bangsawan maupun lapisan
menengah disebut Ema Ata (hamba). Pada masyarakat Marae lapisan sosial
tertinggi disebut Loro.
Mata pencaharian orang Belu tidak beda
dengan masyarakat TTU, dan TTS, yaitu menanam jagung, umbi-umbian, kacang -
kacangan dan sedikit pertanian padi, serta bertenak sapi, babi. Salah satu dari
sekian kebudayaan daratan Belu adalah Tarian Likurai, yang pernah memukau warga
ibukota Jakarta di tahun 60-an.
Tarian Likurai dahulunya merupakan
tarian perang, yaitu tarian yang didendangkan ketika menyambut atau menyongsong
para pahlawan yang pulang dalam perang. Konon, ketika para pahlawan yang pulang
perang dengan membawa kepala musuh yang telah dipenggal (sebagai bukti
keperkasaan) para feto (wanita) cantik atau gadis cantik terutama mereka yang
berdarah bangsawan menjemput para pahlawan dengan membawakan tarian Likurai.
Likurai itu sendiri dalam bahasa Tetun (suku yang ada di Belu) mempunyai arti
menguasai bumi. Liku artinya menguasai, Rai artinya tanah atau bumi. Lambang
tarian ini adalah wujud penghormatan kepada para pahlawan yang telah menguasai
atau menaklukkan bumi, tanah air tercinta.
Tarian adat ini ditarikan oleh
feto-feto dengan mempergunakan gendang-gendang kecil yang berbentuk lonjong dan
terbuka salah satu sisinya dan dijepit di bawah ketiak sambil dipukul dengan
irama gembira serta sambil menari dengan berlenggak-lenggok dan diikuti derap
kaki yang cepat sebagai ekspresi kegembiraan dan kebanggaan menyambut
kedatangan kembali para pahlawan dari medan perang. Mereka mengacung-acungkan
pedang atau parang yang berhias perak. Sementara itu beberapa mane (laki-laki)
menyanyikan pantun bersyair keberanian, memuja pahlawan.
Konon kepala musuh yang dipenggal
itu dihina oleh para penari dengan menjatuhkan ke tanah. Proses ini merupakan
penghinaan resmi kepada musuh. Selain itu, para pahlawan tadi diarak ke altar
persembahan yang sering disebut Ksadan. Para tua adat telah menunggu di sini
dan menjemput para pahlawan sambil mencatat kepala musuh yang dipenggal itu
serta menuturkan secara panjang lebar tentang jumlah musuh yang telah
ditaklukkan sampai terpenggal kepalanya diperdengarkan kepada khalayak ramai
untuk membuktikan keperkasaan suku Tetun.
Pada masa kini, tarian tersebut
hanya dipentaskan saat menerima tamu-tamu agung atau pada upacara besar atau
acara-acara tertentu. Sebelum tarian ini dipentaskan, maka terlebih dahulu
diadakan suatu upacara adat untuk menurunkan Likurai atau tambur-tambur itu
dari tempat penyimpanannya.
Dalam Tulisan ini , kita hendak
menyelidiki sekedarnya soal asal-usul suku Belu, yang menghni hampir seluruh
Kabupaten Dati II Belu. Suku Belu ini berbahasa Tetun, suatu bahasa yang
sederhana dan mudah untuk di mengerti. Bahasa Tetun ini mempunyai persamaannya
dengan bahasa-bahasa daerah lainnya di Indonesia ini. Tetapi mengenai bahasa
Tetun ini kita akan bicarakan sendiri. Di sini kita akan bataskan diri pada
pokok: Asal-usul Suku Belu.
Bagian pertama kita akan uraikan
sebagai berikut:
Ø“ Asal-usul orang Belu menurut cerita-cerita
yang diwariskan sampai sekarang di daerah Belu,” kemudian kedua:
Ø“
Asal-usul orang Belu menurut penyelidikan sarjana-sarjana Imu Bangsa-bangsa dan
penyelidikan lainnya.
I.
Asal-usul orang Belu, menurut cerita-cerita yang
diwariskan sampai sekarang di Daerah.
MALAKA adalah
: tanah asal-usul Belu. Sedari masih kecil bila kita mendengar makoan-makoan
dan orang tua-tua atau pemuka adat membawa syair Tetun HOLA
LIA NAIN, maka kita sering mendengar SINA
MUTI MALAKA LARANTUKA BABOE. Bila mereka menyebut nama
ini, tiap orang terus tahu, yang dimaksudkan ialah : Tanah Asal Nenek Moyang
Belu yang dulu berlayar dari Malaka, meninggalkan tanah airnya dan mencari
tempat baru untuk dihuninya. Nenek orang suku Belu dari Malaka dalam
pelayarannya ke Timor, melalui Larantuka. Berikut ini adalah kumpulan
bermacam-macam cerita dari makoan-makoan dan pemuka-pemuka adat di wilayah
Belu, baik berasal dari Belu utara maupun dari Belu Selatan. Ini di- kumpulkan
oleh R.B.A.G. VROK LAGE SVD (±1952) dalam kerjasama dengan para makoan dan
beberapa guru, antara lain Bupati Daswati II Belu sekarang (hingga tahun 1968)
A.A BERWE TALLO, yang mahir berbahasa Belanda dan bertugas sebagai penterjemah
untuk P. VROK LAGE.
1.Menurut Makoan-makoan dari FATUARUIN:
Mula-mula datang nenek moyang tiga bersaudara dari Malaka Likansala melalaui
Larantuka (Flores) terus ke Kupang, dan dari Kupang ke Fatumea melalui Hali
knain Kalilin dan terus ke Marlilu. Nama ketiga nenek bersaudara itu : NEKIN
MATAUS ke Likusaen, SAKU MATAUS ke
kerajaan Sonbai, dan BARA MATAUS tinggal
di FATU
ARUIN.
2.Cerita kedua berasal dari DIRMA:
Menurut makoan di situ : Bei Taeko yang bertempat tingal di Malaka mengirim tiga orang anaknya lelaki yang berlayar dengan kapal ke Timor, bersama dengan pengikut-pengikutnya. Dari Sinamuti Malaka mereka berlayar melalui Betawi dan Batavia, Kalaban atau Kalabahi, Larantuka-Flores, Babo-Dilly parasa terus ke Boonaro. Mereka lalu ke Fatumea Raioan atau daerah Portugis. Ketiga putra itu bernama:
LOROSANGKOE, LOROBANLEO,
dan LORO SONBAI. Yang pertama tinggal di Debululik atau
Welaka, yang ke dua di sanleo atau Dirma, dan yang ketiga ialah LORO SONBAI,
terus kebagian barat timur ialah kebagian Dawan. Kemudian membawa lima orang
yang dianugerahkan Tuhan: HARE LOROK, BATAR LOROK, MELI
(AIKAMELIN), LOROK dan BUI LOROK serta TORA
LOROK. Kelima orang tersebut di tanam hidup-hidup dalm
tanah ke sampai Timor. Dalam tempo beberapa hari saja tumbuhlah jagung, padi
dua macam, jewawut atau tora, kayu cendana atau aikamelin, di kebun-kebunnya.
Kesimpulannya dan cerita ini ialah jagung, padi, kayu cendana, jewawut, dibawah
oleh nenek moyang itu dari tanah asal Sinamuti Malaka, dan kebun tempat lahan
pertanian bagi kelima orang itu namanya TOOS KUKUN.
3.Dari NAETIMO:
Menurut makoan-makoan dari Naetimo nenek moyang pertama asalnya dari Sinamuti
Malaka, melalui Larantuka atau Larantuke, Bauwoe, Parasa atau Timor Dili terus
ke Lakaan dari situ terus ke Nainait. Di nainait mereka menetap. Nenek moyang itu
bernama AGON dengan isterinya LURUK. Mereka
mempunyai anak, dan anak-anak itu membentuk Fukun Hat atau Uma Hat yakni: Empat
suku yang terkenal dengan nama RIN BESI HAT, UMA KAKALUK KMESAK,
UMA FUTUHUR, UMA SUKUR SOU, dan UMA
DIN DULUR. Nenek moyang pertama menemui suku asli Belu
yakni : MELUS di
Naijait.
4.Dari DAFALA:
Menurut Dato Katuas Tafala atau nenek moyang TITUS MORUK, nenekmoyang
pertama itu dating dari Sinamuti Malaka melalui Ninobe Raihenek atau Makasar,
terus ke larantukadan Bauwoe sebuah tempat di Larantuka. Tapi sebelum ke
Larantuka mereka dari Makasar melalui Palu Kusu atau dekat dengan kepulauan
Kei, pulau loi, pulau Abe, dan pulau Kae atau Kei. Mereka mendarat di Hale,
LeonSumamar di dekat Timor Dilimereka lantas menyusur Mot aloes atau sungai
Loes, terus Ke Siata mauhalek di Lasiolat. Berjalan terus ke ren Lakmau, dari
situ terus Tua Lasi-Lasi Olat baru kemudian terpencar keseluruh Belu. Nenek
moyang pertama umumnya mendarat dibahagian pantai utara Belu. Dikatakan pertama
nenek moyang itu keluar dari batu, ini dimaksudkan mereka bertempat tinggal
dalam gua-gua batu ketika belum diperdirikan rumah-rumah yang baik pada saat
pertama kali orang di Belu, yang sama seperti cerita makoan-makoan di Dirma.
Kedua nenek moyang pertama yang terkenal sebagai Bot Leten dan Bot kraik ialah
Bei Lelar dan Bei Seran Taek, yang punya anak-anak para Lelar dan Abu Lelar
serta Asa Taek dan mau Taek.
5.Dari LASIOLAT:
Menurut makoan-makoan yang mula-mula menghuni daerah Fialaran-Lasiolat sebelum
kedatangan nenek moyang suku Leowes dan Asutalin dari Malaka ialah suku Melus,
nenek moyang yang pertama orang Melus bernama LERA BAUK dengan
istrinya bernama LENA BAUK. Mereka
dianggap penduduk sli Belu sebelum datangnya suku Belu dari Malaka. Suku-suku
yang datangnya dari Malaka ialah suku Leoklaran, suku Leowes, dan suku
Asutalin. Dari Sinamuti Malaka mereka berlayar terus ke Larantuka –Bauboe,
terus ke Hasan Maubesimendarat di Weto ke Lakaan dan dari situ ke Mota Weluli
Mauhalek. Mereka menemukan seorang Melus pertama yang mendirikan rumahnya di
Nawan Ruas, Aufatuk. Disebut Aufatuk karena rumahnya terbuat dari bambu dan
batu. Pemuda-pemuda suku Leowes mengawini gadis-gadis dari suku Loro Bauho,
bernama Balok Lorok dan Ello lorok. Mereka lalu pindah dengan anak-anaknya ke
Dualasi dimana orang-orang Melus dan Asutalin sudah lebih dahulu membuat
kampungnya. Dualasi kemudian mendapat nama Dualasi Sosebauk. Orang-orang
pertama yang mendarat di Timor ialah Luli Luan dan Lete Luan. Asutalin juga
kemudian mendarat di pantai selatan Belu. Tempatnya yang lain ialah Aidikur
dari situ juga mereka ke Lakaan dan terus ke Dualasi.Dari malak Asutalin bawa
serta anjing. Suku Asutalin haramm makan daging anjing dan tidak membunuhnya.
Nenek moyang suku Leoklaran dating lebih dahulu dari suku Leowes, dan Asutalin
dan mengalahkan suku Melus ke Tasimane lainnya dibunuh dan hanyut terbawa arus.
Yang sisanya masih ada di Haliren, Aikamelin, rend an Motaain. Dalam
mengalahkan suku Melus itu ada kerjasama dengan suku Leowes yang datang kemudian
itu. Setelah suku Melus itu diusir dan dikalahkan oleh suku Leoklaran dan
Leowes mula saling berebut kekuasaan ini, suku Leowes yang kemudian yang
akhirnya menduduki tahta dan berkuasa sebagai raja diFialaran sampai kini.
Caranya ialah bukan saling memerangi, melainkan dengan menguji ketangkasan dan
kecerdasan saja. Siapa yang cepat makan ialah yang berkuasa dan waktu nenek
moyang Leowes pergi mencari musang dihutan, nenek moyang Leoklaran disuruh
memanjat pohon, dibawah pohon tertancap tombak mas, oleh nenek moyang Leowes.
Entah bagaimana jadinya nenek moyang Leoklaran jatuh dari pohon dan persis
perutnya tertikam pada tombak mas tadi, dengan itu nenek moyang Leowes yang
berkuasa . Namun selanjutnya hubungan antara suku Leowesa dan suku Leoklaran , pun
sampaikini tetap erat lebih dipererat oleh perkaeinan antara dua suku.
6.Dari ASUMANU:
Menurut makoan dari Asumanu nenek moyang pertamanya datang dari Malaka dengan
sebuah kapal namanya Batarian, mendarat dipuncak Lakaan yang merupakan daratan
yang muncul waktu itu dari air (agaknya yang lain masih merupakan tempat yang
masih digenagi air laut). Kapten kapal itu namanya Mangelains, apakah itu yang
dinamakan dengan Magelhaens??
7. Dari AITON: Menurut
makoan-makoan dari Aitoun nenek moyang pertama datang dari Sina Mutin Malaka
dengan tiga buah kapal:
a.Kapal yang dijuluki dengan
Ro Manu Lain, Biduk Manu Lain.
b.Rokfautahan, Biduk
Kfautahan
c.Ro Mara Does, Biduk Mara
Does. Tempat lainnya disebut HeranBa weluli, Aitoun rua mane, Foho sabu Lakan
kaisahe.
8.Dari MAUMUTIN:
Makoan-makoan maumutin menceritakan
tentang asal-usulnya bahwa nenek moyang pertama datangnya dari Sina
(Siam/birma) dan dari Sina MutinMalaka Melalui Larantuka Baboe, lamahala
(Adonara) Lamahera (lomblen) terus ke Kamera (dekat Timor Dili). Kemudian
kembali ke Lamalera untuk mengambil istri dari sana. Kemudian mereka kembali
lagi ke Sina Mutin Malaka karena tidak dapat istri di Lamalera. Dimalaka mereka
dapat memperoleh istri dengan kayu cendana yang dibawanya. Di Maumitin sendiri
kayu cendana tidak ada karena itu kemudian nenek moyang pindah ke Maukatar
didaerah bagian portugis . Untuk memperingati nenek moyang yang datang dengan
tiga kapal itu, didirikan tiga foho (tugu kecil) : Foho Liurai, Foho Tahan Leki
Bauk Leowalu.
9.Dari LIDAK:
Nenek moyang datang dari Sina Mutin Malaka
melalui Larantuka Baboe We bau, Asufuik, Maubesi, Wehali lalu terus ke Lidak.
Sumber lainnya menggatakan mereka mendarat dipantai utara Timor di Timor Dili
Parasa. Dari Parasa mereka juga membawaair dan ketika mereka mendarat direceki
tempat itu denga air. Mereka hanya mengetahui bahwa orang melus bertempat
tinggal diSilawan. Kemudian menyusul lagi beberapa suku yang kelak akan
berkuasa di Belu. Mereka datang dari Malaka nenek moyang ada tujuh pasang, empatnya
tinggal di Malaka tiganya berlayar ke Timor melalui Larantuka-Bauboe, satunya
tinggal di Fatumea, kedua tinggal di Leowalu (dimarae0 dan yang ketiga
tinggalnya di Motaain, namanya Dasi Bada Rai.
10.Sabu Mau-Belu Mau dan Timau:
Adalah suatu yang
sangat populer dikalangan penduduk Belu dan Sabu Rote ialah mengenai asal-usul
mengenai nenek moyang suku Belu dan Sabu Rote. Demikian sudah dari kecil kami
sudah mendengar cerita tentang Belu Mau, sabu Mau, dan Ti Mau dari orang tua
dan kakek kami. Ketiga nenek ini adalah beradik kakak. Sabu Mau dan Ti Mau
bersama dengan seluruh keluarganya berlayar dengan kapal ke Timot dan mendarat
di bagian utara Belu yakni di teluk Gurita (di Atapupu) yang turun kedarat
untuk mencari tempat tinggal baru di daerah Belu sekarang ialah Belu Mau dengan
keluarganya. Sedang kedua nenek Sabu dan Ti Mau berlayar terus kearah barat
Timor, menyususr pantai untuk mencari tempat tinggalyang baru dan tempat dan
untuk di milikinya. Tapi sebelum ketiganya berpisah, diadakan perjanjian
berikut : “Bila kelak mereka bertemu kembali atau anak-anak maupun turunan
mereka, tidak boleh saling mengawini, tidak boleh saling berperang, saling
mnerima dan menganggap sebagai kakak-beradik atau saudara-saudari sekeluarga
saja”. Perjanjian ini masih di ingat samapai dengan saat ini, meskipun masih
ada praktek kawin mwin sudah sering terjadi antara suku Belu dan suku rote.
Untuk saling memerangi atau berkelahi sampai sekarang ini, masih tetap
dihindarkan mengingat perjanjian ketiga nenek bersaudara tadi.
II.
Asal-usul suku Belu (Sabu – Rote) menurut penyelidikan
Ahli-ahli Ilmu Bangsa-bangsa dan Ahli-ahli lainnya.
Sudah banyak ahli-ahli yang menyeliki suku
Belu (dan Rote), disamping penyelidikan – penyelidikan utama, seperti: Grijzen,
H.J. (mededeelingen Omret Beloe of midden Timor. V.B.G., Batavia, vol.54,
Bag.III) dan vrok lege. B.A. (1953) : Ethnogogihie der Belu in zentral Timor,
Leiden, dalam 3 jilid. Dalam menyelidiki Suku Belu mereka dari pandangan yang
hampir serupa. Demikian seperti :
1. Heijmering G. (Geschiedenis van Timor, 1847,
vol. 9, bagian III, pg. 1 – 62 dan 121 -232), dan veth, P.j. (Het eiland Timor,
De Gids, Amsterdam, Vol.19. Bgn. I, pg. 545 – 611 dan 695 – 737 : bgn. 55 –
100), dalam tahun 1985”, dan juga Bastian A. (1885 – Timor Und Umliegende
Inseln. in Indonesian oder die inseln des Malayischen Archipels, Berlin,
Lieferung 2, pg. 1 -31). ketiga penyelidik itu berpendapat bahwa, bahwa ada
perbedaan yang nyata antara suku Belu dan suku asli Timor : susku Atoni.
menurut mereka suku Atoni lebih mirip dengan orang Papua, sedang suku Belu
punya kesamaan yang besar dengan penduduk di bagian barat indonesia.
2. Menurut pandangan-pandangan antopolog modern :
Timor serta pulau-pulaunya adalah suatu daerah peralihan di mana bertemu dan saling
pengaruh antara komponen ras Melayu Indonesia denganras Melanesia (in sensu
lago). Agaknya suku marae dan kemak menunjukkan elmen Melanesia yang lebih tua,
dari pada suku Belu dan Sabu Rote yang baru masuk kemudian di Timor. Suku Belu
dan Rote nyatanya memiliki tempat tinggi yang paling tampan, ditanah rata
sepanjang pantai dan terus ke pedalaman, namun di sepanjang lembah sungai lalu
sepanjang jalan. Antropolog-antropolog sependapat bahwa unsur Melanesia nampak
sangat kuat pada penduduk asli Timor : suku Atoni di Dawan (orang pegunungan
yang jumlahnya kira-kira 300.000 penduduk mendiami daerah-daerah pegunungan
Timor Indonesia. Tokoh badan mereka agak berlainan dengan tetangga-tetangganya:
suku Belu-Sabu-Rote dan Kemak Marae. Mereka agak pendek dengan bentuk tengkorak
Brachichepel (tengkorak pendek) dengan warna kulitnya coklat kehitam-hitaman,
rambutnya keriting, sangat mirip orang-orang papua. (cf. ormeling, F.J. Dr. The
Timor problem, 1957 hal. 66-67).
3. Menurut penyelidikan Biljmer, H.J.T. (outlines
of Antropology of the Timor Archipelago, Weltevreden-Batavia, 1929, pg.
92-92-95—97-99), bahwa pada individu-individu suku bangsa Belu nampak ciri-ciri
ras Negroit secara berdampingan atau campur baur. Sedangkan pda suku Atoni
(dawan) nampak ciri-ciri Melanesoit dan Australoid. Dia berkesan bahwa pada
suku Atoni ia tidak rasa lagi bahwa ia di antara orang Melayu. Mereka merupakan
kesatuan. Dia menyelidiki juga suku Manggarai dan mendapatkan adanya ciri khas
tipe semitis pada mereka. Pada suku Ngada terdapat tipe Melanesoid. Pada suku
Adonara (dan Flotim) ada tipe semitis, Negroid dan Papua. Demikian Biljmer.
4. Menurut nona Keers W. (an Antropological Survey
of the estern litllesunda island Mededeelingen no. 74 diterbitkan oleh
Koninklijke verehining indisch institut, Amsterdamtahn 1948) bahwa ciri-ciri
Melanesia agaknya tersebar dibanyak tempat di Timor. Tetapi yang dianggapnya
utama ialah apa yang dinamakan proto Melayu yang besar pengaruh di Timor. Tapi
yang dianggapnya utama ialah apa yang dinamakan Elemen proto Melayu, yang
bear di Timor, dan rasini yang membentuk penduduk sekarang juga. Inilah juga
pendapat Biljmer (1929) dan Lamres (1948) yang memastikan bahwa unsur Melayu
yang lebih muda benar-benar terdapat di daerah Belu selain unsur Melanesia.
5. Mengenai suku Marae dan Kemak, yang ada di Belu
Menurut Grijzen (1904) kira-kira mereka sudah tinggal lama di Belu.
6. Menurut Nona Keers (1948) susku Marae Kemak,
yang ada di Belu berbeda dengan suku Melayu Indonesia karena frekwensi yang
tinggi dan tengkorak kepala yang berbentuk Delichecephalik (tengkorak lonjong)
dan tokoh badan yang jauh lebih tinggi.
7. Menurut Capel (1944) bahwa Buna(bahasa Marae)
mirip sekali dengan bahas-bahasa papua. Sedang menurut Nona Keers 91948) susku
Kemak punya pertalian erat dengan suku Marae. Bahasanya mirip sekali dengan
bahasa Buna (caell 1944).
8. Mengenai suku Rote-Sabu seperti telah di
katakan tadi seasal dengan suku Belu. Mereka datang berkelompok-kelompok, lain
turut Flores lainya lagi via Timor. Tanah asalnya pulau Seram (?) menurut ten
Kate (1849) bahasa dan kebudayaan Rote sama dengan Belu. Hanya Rote mempunyai
unsur Melayu lebih kuat.
9. Terra (1953) punya anggapan bahwa yang
mula-mula punya usaha sawah dan ladang ialah suku Belu.
10. Dalam ENCHIKLOPEDIA VAN NEDERLANDS OOST INDIE
IV LEIDEN, 1921 pda halaman 323, dibahas juga tentang penduduk dari Malaka
melalui Sulawesi-Flores (larantuka) terus ke Timor. Juga tentang adat-istiadat
Belu dan keadaandaerahnya.
11. H.K.J. Cowan (1963) menyelidiki, bahwa bahasa
Buna termasuk salah satu bahasa Irian Barat. Diantara lain menyebut beberapa
kata seperti (n) iri, su, batohul, bi, pana, per, nei, ei, yang mirip betul
dengan kata-kata dalam bahasa Irian Barat. (cf. Eydarg. T.,1. en volk, jgr.
1963, pg 387 - 400) sedang Louis Berthe (1959) dalam penyelidikannya di
Lamaknen mendapat kepastian juga bahwa dalam bahasa Buna terdapat kata-kata
yang mirip dengan kata-kata Melayu purba (Deutero Melayu). (cf. Eydarg. T.,1.
en volk, 1959, pg 336 dan seterusnya).
12. Abdul Hakim (1961), juga memuat karangannya
tentang Timor, di dalamnya dituliskan tentang apa yang didengarnya sendiri
mengenai asal-usul orang Belu yang datang dari Malaka dan adat istiadatnya di
Timor, di Belu khususnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar