SISTEMATIKA PENYUSUNAN KRITIK DAN ESAI SASTRA
OLEH
MUH. HASYIM
Sebuah kritik sastra mempunyai beberapa ciri, antara lain:
1. Memberikan tanggapan terhadap objek kajian (hasil karya sastra)2. Memberikan pertimbangan baik dan buruk sebuah karya sastra
3. Bersifat objektif
4. Memberikan solusi atau kritik-konstruktif
5. Tidak menduga-duga
6. Memaparkan penilaian pribadi tanpa memuat ide-ide.
Sedangkan secara umum, esai memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
- Merupakan prosa. Artinya dalam bentuk komunikasi tertulis berisi gagasan.
- Singkat. Maksudnya dapat dibaca dengan santai dalam waktu yang relatif singkat.
- Memiliki ciri khas. Seorang penulis esai yang baik memiliki karakter tulisan yang khas yang membedakannya dengan tulisan orang lain.
- Selalu tidak utuh. Artinya penulis memilih segi-segi yang penting dan menarik dari objek dan subjek yang hendak ditulis.
- Bersifat subjektif.
Dalam penilaian diri pada pertemuan minggu lalu masih ada peserta didik yang mencentang tidak pada soal nomor 3 dan 5. Baiklah, sebelum kita melakukan literasi tentang sistematika, terlebih dahulu diingatkan lagi tentang π (bentuk kritik dan esai sastra.(3) dan (mengenali kritik mimetik, kritik pragmatis, kritik ekspresif, dan kritik objektif.(5)).
- Kritik mimetik adalah bentuk kritik yang memandang kaya sastra sebagai tiruan aspek alam atau paham yang menganggap sastra merupakan gambaran kehidupan dunia.
- Kritik pragmatis adalah bentuk kritik yang memandang karya sastra sebagai sesuatu yang dibangun dari efek pendengar dan pembaca yang meliputi kesengan, estetis, pendidikan, dan lainnya.
- Kritik ekspresif adalah bentuk kritik yang memandang karya sastra sebagai ekspresi, curahan perasaan, atau imajinasi dari diri pengarang.
- Kritik objektif adalah bentuk kritik yang menggunakan pendekatan atau pandangan bahwa karya sastra memiliki struktur yang utuh. Misalnya pertimbangan baik buruk terhadap kemampuan seseorang dalam menampilkan suatu karya di teater.
Baiklah. Selanjutnya kita bersama melihat RPP berikut iniπ
Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) Bahasa Indonesia
Pertemuan ke1212
Nama Sekolah :SMA Negeri 1 Atambua
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas/ Semester : XII/Genap
Tahun Pelajaran : 2020/ 2021
Alokasi Waktu :2 JP x 10 minggu (20 x Pertemuan)
A. Kompetensi Dasar |
Membandingkan kritik sastra
dan esai dari aspek pengetahuan dan pandangan penulis |
||||
Mengonstruksi sebuah kritik
atau esai dengan memerhatikan sistematika dan kebahasaan baik secara lisan
maupun tulis |
|||||
B. Tujuan Pembelajaran |
Siswa dapat Mengidentifikasi
hasil kritik dan esai sastra |
||||
C.
Materi Pembelajaran |
sistematika penyusunan kritik dan esai
sastra |
||||
D. MetodePembelajaran |
demonstrasi |
||||
Kegiatan Pembelajaran
1. Pendahuluan (15 12Menit) □
Guru
mengucapkan salam saat masuk kelas dan menanyakan keadaan peserta didik □
Guru dan Peserta didik berdoa bersama dan menyanyikan lagu wajib
Nasional □
Guru mengecek kehadiran siswadan memberi motivasi (yel-yel) □
Guru menyampaikan tujuan dan manfaat
pembelajaran tentang topik yang akan dibahas □
Guru menyampaikan garis besar cakupan materi dan langkah
pembelajaran serta memberikan apersepsi entang materi yang
akan dipelajari 2. Kegiatan Inti (60 Membandingkan kritik sastra dan esai
dari aspek pengetahuan dan pandangan penulisMenit) □
Literasi : Peserta
didik diberi motivasi dan panduan untuk melihat, mengamati, membaca dan
menuliskannya kembali. Mereka diberi tayangan dan bahan bacaan terkait materi tentangkerangka tulis kritik dan
esai sastra □
Berpikir
Kritis : Guru memberikan kesempatan untuk mengidentifikasi
sebanyak mungkin hal yang belum dipahami, dimulai dari pertanyaan faktual
sampai ke pertanyaan yang bersifat hipotetik. □
Kolaborasi
: Peserta didik dibentuk dalam beberapa kelompok untuk
mendiskusikan, mengumpulkan informasi, mempresentasikan ulang, dan saling
bertukar informasi. □
Komunikasi : Peserta
didik mempresentasikan hasil kerja kelompok atau individu, mengemukakan
pendapat atas presentasi yang dilakukan kemudian ditanggapi kembali oleh
kelompok atau individu yang mempresentasikan. □
Kreatif : Guru
dan peserta didik membuat kesimpulan tentang hal-hal yang telah dipelajari. Peserta didik kemudian diberi kesempatan untuk menanyakan kembali
hal-hal yang belum dipahami. 3.Penutup (15 Menit) □ Guru bersama peserta didik merefleksikan pengalaman
belajar □ Guru memberikan penilaian lisan secara acak dan singkat □ Guru memberikan penugasan kepada siswa yang berhubungan materi
yang telah disampaikan □ Guru menyampaikan rencana pembelajaran
pada pertemuan berikutnya dan berdoa. |
|||||
E. Alat dan Sumber Belajar 1. Alat/bahan:Papantulis, Spidol, Laptop/computer, LCD Proyektor, Handphone 2. Sumber/media: □ BukuBahasa Indonesia Kelas XII Penerbit Intan Pariwara, Ika Setyaningsih dkk □
Internet http://gg.gg/bindosmansa |
|||||
F. PenilaianHasilBelajar
Z |
Mengetahui, KepalaSMA Negeri 1 Atambua, Drs.Marianus Antoni NIP.196203051994121001 |
Atambua, 3 Februari 2021 Tim Guru Mata Pelajaran Bindo, NIP. 196902071998021003 NIP. 196611231994032006 |
- Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
- Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”— dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
- Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita. Ia tak mengklaim satu makna. Ia tak berarti: tak punya isi kognitif atau tak punya manfaat yang besar.
- Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan. Mungkin sosok itu (umumnya tak bernama) si sakit yang tak jelas sakitnya. Mungkin benda itu sekaleng kecil balsem. Atau selimut—hal-hal yang dalam kisah-kisah besar dianggap sepele. Dalam teater Putu Wijaya, justru itu bisa jadi fokus.
- Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin. Putu Wijaya tak tertarik untuk berbicara tentang lapisanlapisan sosial. Teater Mandiri adalah ”teater miskin” karena ia, sebagaimana yang kemudian dijadikan semboyan kreatif Putu Wijaya, ”bertolak dari yang ada”.
- Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta. Siang hari ia akan bertugas sebagai wartawan. Malam hari, ketika kantor sepi, ia akan menggunakan ruangan yang terbatas dan sudah aus itu untuk latihan teater. Dan ia akan mengajak siapa saja: seorang tukang kayu muda yang di waktu siang memperbaiki bangunan kantor, seorang gelandangan tua yang tiap malam istirahat di pojok jalan itu, seorang calon fotograf yang gagap. Ia tak menuntut mereka untuk berakting dan mengucapkan dialog yang cakap. Ia membuat mereka jadi bagian teater sebagai peristiwa, bukan hanya cerita.
- Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri. Juga teater yang hidup dari tarikmenarik antara patos dan humor, antara suasana yang terbangun utuh dan disintegrasi yang segera mengubah keutuhan itu.
- Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan selalu tersembunyi ketidaksadaran.
- Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”. Saya kira ia salah. Ia mungkin berpikir tentang keindahan dalam pengertian klasik, di mana tata amat penting. Bagi saya Teater Mandiri justru menunjukkan bahwa di sebuah negeri di mana tradisi dan antitradisi berbenturan (tapi juga sering berkelindan), bukan pengertian klasik itu yang berlaku.
- Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan. Sebagaimana dalam puisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang hadir dalam pentas Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi, bukan pesan, apalagi khotbah. Hal ini penting, di zaman ketika komunikasi hanya dibangun oleh pesan verbal yang itu-itu saja, yang tak lagi akrab dengan diri, hanya hasil kesepakatan orang lain yang kian asing.
- Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
- Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak. Sumber: Majalah Tempo Edisi Senin, 27 Juni 2011
SISTEMATIKA |
KUTIPAN TEKS |
PERNYATAAN PENDAPAT |
|
ARGUMEN |
|
PENEGASAN ULANG |
|